Langit, Angin, Bintang, dan Puisi: Enam Puisi Yun Dong-ju
Pendahuluan
Ingin tidak memiliki
setitik pun rasa malu
Menatap langit sampai tiba ajalku,
sansai aku, bahkan manakala angin mengacaukan dedaunan.
Bersama hatiku yang bernyanyi buat bintang-bintang,
Mesti kukasihi segala makhluk yang bakalan mati
Dan mesti kulintasi jalan
Yang telah dibentangkan kepadaku
Malam ini, lagi, bintang-bintang
Dibasuh oleh angin
Salju
Tadi malam
Salju gugur berlimpahan:
Di atas atap,
Pada jalan setapak, di ladang-ladang.
Mungkin ia sehelai selimut
Yang melindungi kita dari beku.
Sebab itulah
Luruhnya cuma di puncak musim dingin
Jangkrik dan Aku
Jangkrik dan Aku
Saling bercakap
di pekarangan.
Kami janji
untuk tak bilang siapa-siapa
untuk menyimpan dalam hati
Krik ! Krik !
Krik ! Krik !
Jangkrik dan Aku
Saling bercakap
saat malam dan bulan bersinar terang
Potret Diri
Dalam kesendirianku di bukit batu,
Kucari sumur terpencil demi mengintip secuil,
Di dalam sumur: Bulan benderang, awan berarak,
Langit terbentang. Angin berembus. Musim gugur.
Ada juga sang pemuda.
Entah kenapa, aku merasa benci kepada pemuda ini.
Lantas tiba-tiba, mulai kasihan aku padanya.
Aku kembali melihat lagi.
Di sana dia, masih di sana, seperti sebelumnya
Lagi aku merasa aku benci, kemudian berlalu pergi.
Menjauh, aku menyadari sesuatu. Aku rindu pemuda ini.
Di dalam sumur: Bulan benderang, awan berarak,
Langit terbentang. Angin berembus. Musim gugur.
Seperti dari relung keping kenangan, di sini juga, sang pemuda.
Membilang Bintang-bintang Pada Malam Hari
Di atas sana di mana musim lalu lalang,
Langit berpenuh musim gugur.
Dalam keheningan tak terjamah ini
Nyaris terbilang olehku bintang-bintang musim gugur.
Kenapa tak sanggup aku menyisipkan
Barang satu dua bintang itu di dadaku
Sebab fajar segera merekah,
Dan malam-malam lainnya masih setia,
Dan tentu masa mudaku belumlah binasa.
Sebuah bintang untuk kenangan,
Sebuah bintang bagi cinta,
Sebuah bintang untuk nestapa,
Sebuah bintang bagi kerinduan,
Sebuah bintang untuk puisi,
Dan sebuah bintang buat Ibu.
Ibunda! Kucoba memanggil tiap bintang dengan kata-kata rayuan, nama anak sekolah yang denganku semeja berdua, nama gadis desa seperti Pai, Kyunh, Ok, nama gadis yang sudah menjadi ibu-ibu, nama tetangga yang hidup dalam kemiskinan, nama burung seperti merpati, nama anak anjing, keledai, kelinci, rusa, dan nama-nama penyair seperti Francis, Jammes, dan Rainer Maria Rilke.
Mereka alangkah jauhnya
tak terjamah seperti bintang-bintang.
Ibunda!
Kau juga jauh di Utara sana.
Merindukan sesuatu,
duduk aku di atas bukit di mana bintang-bintang jatuh,
Kutuliskan namaku di sana
Kutimbun dengan tanah.
Sebenarnya, kerik serangga
sepanjang malamlah yang berduka atas namaku yang memalukan itu.
Tetapi musim semi bakalan tiba di bintang-bintangku sehabis musim dingin yang tertunda,
Menghijaui tanah-tanah makam ,
Kemudian bukit yang mengubur namaku itu
Bangga lagi memakai baju rumputnya.
Tidak ada esok [Sebuah pertanyaan dari gumaman seorang pemuda]
Berulang ulang mereka bilang, “ Besok, besok.”
Aku bertanya ke mereka, “Kapan datangnya?”
Dan mereka menjawab, “Ketika fajar, besok tiba.”
Kucari hari-hari baru sendiri.
Ketika aku bangun dan memandang sekitar
Tak kutemukan besok.
Malah kutemukan hari ini
Yang telah datang
Sahabat
Tidak ada esok!
Yun Dong ju lahir di Myeongdongchon(명동촌) 30 Desember 1917. Beliau dikenal karena puisi lirik dan puisi perlawanannya. Dong ju wafat di usia 27 tahun, 16 Februari 1945. Kisah hidupnya difilmkan dalam DongJu: The Portrait of a Poet (2016).