Lucky: Atheis Tua yang Tak Kunjung Mati

Asra Wijaya
ISH Review
Published in
3 min readJan 13, 2018

Review Film Lucky (2017)

“Friendship is essential to the soul,” ungkap Paulie.

“It doesn’t exist,” balas Lucky.

“Friendship?” Paulie minta kejelasan.

“The soul!” sahut Lucky.

Tahun 2017 ada 3 film yang sekilas seperti trilogi: Logan, Logan Lucky, dan Lucky. Padahal ketiga film ini tidak ada hubungannya. Lucky adalah film tentang manusia di usia hampir 2 abad. Di umur 90 tahun, Lucky (Harry Dean Stanton) menjalani rutinitas kesehariannya. Bangun pagi, peregangan dan olahraga ringan, gosok gigi dan minum susu dari kulkasnya (kulkas yang hanya berisi kotak-kotak susu), serta mengisi TTS.

Berlatar di padang gurun Arizona, seperti dalam film western, Lucky memakai topi dan sepatu koboy, baju kemeja kotak-kotak lengkap celana jinsnya berjalan pelan di bawah terik matahari. Dari rumah ke coffee shop langganannya. Di sana bertemu dengan Loretta (Yvonne Huff) yang menanyakan perihal kesehatan Lucky. Loretta si pelayan di coffee shop itu seperti anak perempuan Lucky, lalu menjadi teman sebatnya (merokok).

Malam hari Lucky akan pergi ke bar dan bertemu dengan orang yang jauh muda darinya. Bicara dengan pemilik bar Elaine (Beth Grant) dan suaminya Paulie (James Darren). Mereka lalu akan berdebat soal filsafat, agama, moral sampai soal hobi. Lelaki atheis nan panjang umur ini juga bertemu dengan rekan veteran Perang Dunia II lainnya di bar itu. Juga mendengarkan Howard (David Lynch), yang kehilangan kura-kuranya. Seekor binatang yang konon bisa hidup sampai 200 tahun itu bernama unik: Roosevelt.

Rutinitas yang dijalani Lucky di usia lanjut tersebut suatu kali berubah, ia mengalami blackout sehingga pergi ke dokter. Lalu alur film mulai masuk ke lorong yang lain. Jika awalnya kita selalu ditemani karakter Lucky yang komikal bersama kaos singlet putih dan celana pendek membungkus tubuh ringkihnya. Selanjutnya Lucky jadi lebih reflektif soal kesepian dan kematian.

Pertemuan-pertemuan Lucky dengan tokoh lainnya menjadi penggerak cerita lewat dialog-dialog yang diperhitungkan dengan bijak oleh Drago Sumonja dan Logan Sparks (penulis skenario). Film debutan John Caroll Lynch, aktor yang beralih jadi sutradara ini, mantap memilih pengadeganan, warna, tone sampai kadar emosinya. Hal itu menjadikan Lucky sebagai tontonan segar yang menyenangkan.

Ketimbang sebuah renungan kontemplatif soal kematian di ujung usia, secara keseluruhan Lucky terasa lebih kepada soal menghadiahkan sesungging senyum kepada kehidupan. Makin ke ujung, Lucky makin tenang, makin bersahaja. Adegan ketika Lucky secara spontan menyanyikan lagu Spanyol terasa jujur dan amat menyentuh. Percakapan di akhir tentang segala yang bisa rusak, dan pergi, dan matipun menjadi dialog penutup nan manis.

Humor-humor yang disisipkan dalam Lucky juga tidak mengocok perut aka bikin ngakak, cuma ketawa ringan tetapi cerdas mengena. Khas lontaran bijak dari seorang manusia yang sudah lebih dari kenyang makan asam garam kehidupan. Misalnya diam karena kagok lebih baik ketimbang percakapan basa-basi yang tak perlu. Ucap Lucky kepada salah seorang pengunjung coffee shop yang canggung menyapanya.

Menonton Lucky kita juga disuguhkan kemungkinan yang dialami oleh manusia di hari lanjutnya. Permainan kata alone dengan all one ketika Lucky membahas soal diri dan kesepian juga detail dari sebuah kecerdasan sekaligus kebijaksanaan tersendiri.

Soal scoring, musik dari harmonika yang sayup-sayup dan dimainkan oleh Stanton itu cukup untuk meniupkan roh ke dalam gambar-gambar panorama Lucky.

Film ini menjadi film terakhir yang dibintangi Dean Stanton, bulan September lalu(sebelum Lucky rilis komersil), Dean Stanton sudah wafat di usia 91 tahu. Lucky layak disebut sebagai hadiah dari Dean Stanton bagi dunia perfilman sekaligus kehidupan.

--

--