Ndhusel-ndhusel Di Pangkuan Ibu

MasChoi
ISH Review
Published in
4 min readDec 26, 2017

Mengenai Hari Ibu beberapa hari yang lalu, tentu saja saya berani menjamin kalau Ibu saya sendiri “ora pathek-en” (gak peduli) tentang beberapa pengkhususan hari-hari tersebut, karena baginya ya cukup anak-anaknya ngumpul di rumah beliau sudah senang. Gitu thok memang sudah cukup. Lha ya, bagaimana tidak? Lha wong begitu saya datang ke rumah saja sudah tersedia sambel merah, gorengan ikan asin, krupuk rambak, kopi hitam, rokok sukun putih dan segala ubo rampe-nya. Saya yang pemakan setia indomie ini kan terus lemah imannya melihat makanan-makanan demikian. Tentu beliau sangat hafal perihal makanan kesukaan saya ini. Pun akhirnya, ya dengan lahap saya menghabiskan nasi panas yang tersedia di wakul.

Waktu mengantarkan Ibu ke pasar, saya berkesempatan bertemu dengan seorang senior di pondok pesantren dulu. Gayanya sih memang tidak berubah, kopyah hitam yang agak miring, lengkap dengan sarungnya. Dia sedang menunggui istrinya belanja keperluan sehari-hari di pasar. Akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul sembari mengenang masa-masa dulu. Bukan konon lagi, dulu memang orang ini sangat menyebalkan, mungkin juga karena selisih tiga tahun dengan saya sehingga faktor feodal selalu jadi alasan. Saya pernah di ploro macem-macem, misal membelikan bumbu-bumbu yang akan dipakai memasak sore hari akan tetapi dengan duit hasil patungan yang sangat kurang, toh akhirnya saya yang nombok. Tapi saya juga berterima kasih kepada beliau karena dari dialah saya diajari ilmu nakhwu yang untuk otak saya waktu itu sangat mustahil dipahami.

Saya-pun mencium tangan si begajul ini sambil berucap salam, karena bagaimanapun dia adalah senior saya. Ngobrolnya memang masih seperti dulu, walaupun saya agak meragukan kehidupan mlarat membuatnya masih ingin bercita-cita ingin kuliah di Mesir.

“Orang tua itu malati, makane jangan macam-macam.”

Aku yo wes reti su. Babagan ngeniku gak lah mbok warai

Orang tua itu bertuah saya juga udah tahu dari kapan hari. Si begajul ini memang sengaja cerita begini supaya dia dapat pembenaran, akan penolakan terhadap permintaan istrinya yang pindah rumah, supaya dapat pisah dari mertuanya. Alasannya saja, nanti kualatlah karena ninggalin orang tua sendirian, padahal memang dia tidak punya uang.

Aku lak yo hapal .Cerita Malin Kundang-pun yang dikutuk jadi sari roti sudah menjadi hal umum.”

Seakan ingin meyakinkan saya, dia langsung mengintimidasi dengan gerak-geriknya dengen kelakarnya tentang saya.

Ngene lho su, sampeyan arep gembar-gembor tentang penindasan, kapitalisme, komunisme, kapir, opo yo nan sekalian tentang naiknya harga cabai yang bebarengan dengan naiknya harga knalpot, mendem rono rene dan kelakuan sampeyan sek ora genah liyane iku mau, tapi kalau ibune sampeyan nyuruh pulang untuk makan siang dulu, atau ngentasi jemuran yang sebentar lagi mau hujan, bahkan nyuruh ngemong adiknya sampeyan, lak yo sampeyan pasti nurut to? Tur yo nan sampeyan gak kakean cangkem, lak yo gak mungkin ngelawan to? lak yo sampeyan pasti pulang, paling maksimal sampeyan cemberut sambil ngedumel dan cengar-cengir koyo anak bebek sek digiring majikannya pulang to?”

Karena yang ngomong adalah senior saya, jadi saya ya manggut-manggut saja. Dan saya tidak perlu nyari perkara dengan orang yang sudah berkeluarga. Karena sebagaimana kita tahu, mikir kebutuhan sehari-hari saja sudah membuat ngelu ndase.

Saya tidak membantah, saya juga tidak menolak argumen demikian. Lah memang pada kenyataannya saya ini bisa apa kalau Ibu sudah bersabda. Walaupun sedang petentang-petenteng bergaya parlente, kalau Ibu sudah menyuruh balik untuk makan siang saya ya ngangguk-ngangguk saja. Pokoknya bilang A ya A, kadang sih masih mencoba A’, tapi tetep saja dari diri saya sendiri mencoba jadi A. Saya bisa saja mempunyai berjuta alasan dengan pacar saya misalnya kalau menyuruh ini itu, tapi untuk ibu saya kok ya sekali lagi cengar-cengir saja.

Mau ada aksi atau acara semeriah apa-pun juga, kalau Ibu sudah menyuruh pulang ke rumah kok saya gak berani make Teori Kritis Habermas ataupun idealisme Hegel dengan segala tai kucing-nya. Kalau yang saya rasakan ini bukan soal kualat ataupun dikutuk menjadi tempe goreng, bukan itu. Lebih dari itu, hubungan saya dengan ibu bukan semenakutkan itu, sehingga saya ini tidak merasa terancam dan ditakuti akan masuk neraka. Dimensi-nya lebih keterdiaman, dan saya gak berani ngomong macam-macam. Nanti kualat.

Memang ada ketundukan yang menenangkan jikalau saya berhubungan dengan orang tua. Hubungannya mungkin menundukkan, tapi tidak menakutkan. Saya takut ngelawan, bukan berarti seperti saya takut kepada ular karena bisanya. Saya menurut juga bukan seperti saya nurut kepada teman-teman saya yang ingin mentraktir saya makan enak-enak.

Kemarin ketika saya baru saja pulang, sontak Ibu berdiri di depan pintu sambil memandangi saya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Entah apa yang dipikirkannya, saya tak ambil pusing. Kemudian saya cium tangan beliau sambil memeluk dan mencium pipinya. Tentu badan saya lebih tinggi, sehingga mengharuskan saya untuk membungkuk. Cukuplah istirahat bentar sambil ngoceh ngalor-ngidul tentang keadaan perkuliahan yang tak kunjung beres sampai masalah jodoh.

Dan akhirnya saya ndhusel-ndhusel di pangkuan beliau.

--

--