Senandung Cinta J Alfred Prufrock

Puisi Terjemahan : T.S. Eliot

Asra Wijaya
ISH Review
4 min readSep 2, 2017

--

(Terjemahan Puisi The Love Song of J Alfred Prufrock karya T.S. Eliot)

Senandung Cinta J Alfred Prufrock

Mari pergi, berdua kita,

Kala malam merebak melintang angkasa

Seperti pesakit telentang atas meja bedah: terbius ia;

Mari beranjak, menjejak sepi jalan setapak,

Racauan kalah

Dari malam-malam gelisah di hotel melati kelas rendah

Dan pada bar berserbuk gergaji tambah cangkang-tiram

Jalanan yang menjejak seperti dalih-berbelit

Dari maksud tersembunyi

Membawamu ke satu tanya penuh ragu

Oh, jangan kau tanyakan,”Apa gerangan?”

Mari lekas pergi, selesaikan lawatan ini.

Di dalam bilik, sang wanita bolak-balik

Bertopik Michelangelo ia berbisik

Kabut kuning menyeka punggungnya di jendela kaca,

Asap kuning mengusap moncongnya di jendela kaca,

Menjilatkan lidahnya ke penjuru malam, ia

Bersitahan pada kolam yang terus terkuras,

Membiarkan hantam punggungnya: jelaga jatuh dari cerobong,

Tergelincir di teras, tetiba meloncat

Dan menemu kini: lirih malam Oktober ,

Mengeliuk sekitar rumah, lantas terlelap pulas.

Dan tentu akan tiba masa

Bagi asap kuning yang mengalun sepanjang jalan,

Menyeka punggungnya pada jendela kaca;

Akan tiba masa, akan datang waktu

’Tuk persiapkan paras bertemu rupa yang kau jumpa;

Akan tiba masanya merusak dan mencipta,

Dan masa kerja juga musim menyemai

Yang angkat-hempaskan tanya di atas piringmu;

Waktu bagimu, juga bagiku,

Dan bagi ratusan kebimbangan

Dan pandangan juga ramalan,

Di hadapan sajian sarapan.

Di dalam bilik, sang wanita bolak-balik

Bertopik Micheangelo ia berbisik

Dan tentu akan tiba waktu

Untuk meragu, ”beranikah aku ?” dan,“beranikah aku?”

Waktunya kembali dan turuni tangga,

Dengan sepetak botak di tengah kepala —

[Mereka ‘kan berkata: “Betapa menipis rambutnya”]

Mantel pagiku — kerahnya menyesak hingga dagu

Dasiku mewah dan sederhana, namun dikait peniti biasa —

[Mereka ‘kan berkata: “Namun betapa kurus lengan dan kakinya!”]

Beranikah aku

Menentang semesta?

Demi putusan dan tinjauan yang sekejap jumpalitan.

Aku telah mengenal mereka, kenal mereka semua:

Telah kenal malam, pagi, petang,

Dengan sendok kopi, ini hidup telah aku timbang;

Kenal aku pada suara sekarat seperti sakaratul maut

Di balik musik dari bilik jauh.

Jadi bagaimana mesti kuduga?

Dan telah aku kenal sang mata, kenal mereka semuanya —

Mata yang memakumu pada metafora,

Dan ketika aku terperangkap, ditancap pasak,

Ketika aku terpaku dan menggeliat di dinding,

Lalu bagaimana mesti kumulai

Untuk ludahkan segala sisa hari-hari dan jalan-jalanku?

Dan bagaimana mesti kuduga?

Dan aku telah kenal lengan-lengan itu, kenal mereka semuanya —

Lengan bergelang, putih dan polos

[Tapi di bawah cahaya lampu: dibingkai rambut cokelat terang!]

Apa harum dari gaun

Yang membuatku melantur-tertegun?

Lengan yang terkapar atas meja, juga tersaput selendang

Dan mestikah aku menduga?

Dan bagaimana mesti kumulai?

Mestikah kuungkap, telah pergi aku pada petang hari melintasi jalan sempit

Dan menyaksikan asap merabung dari pipa cerutu

Lelaki kesepian tak bermantel, bertelekan pada jendela

Mestinya aku sepasang cakar usang

Lintang-pukang di dasar laut tenang.

Dan sang senja, sang malam, terlelap tenteram!

Dibelai jemari panjang,

Lelap…lelah…atau sekedar berpura,

Telentang ia di lantai, di sisi kita berdua.

Mestikah aku, selepas kudapan kue, teh, dan es batu,

Sanggup memaksa masa menuju mercu?

Namun meski telah meratap aku, berpantang, puasa, serta berdoa tersedu,

Meskipun sudah kusaksikan kepala ini (rontok dan botak) diseret ke atas piring,

Aku bukan nabi dan itu bukan soal;

Telah kulihat masa jayaku terang-redup,

Dan telah kusaksikan pelayan meraih mantelku dan terbahak

Dan sekilas, aku cemas.

Dan akankah itu bernilai, pada akhirnya,

Setelah cangkir, selai jeruk, teh,

Di antara porselen, di antara secuap dua pembicaraan kita,

Akankah itu berharga,

Menyusutkan masalah bersama senyuman,

Memejalkan semesta menjelma bola

Demi geleserkan ia menuju tanya penuh ragu,

Demi berkata: “Akulah Lazarus, bangkit dari kematian,

Bangkit untuk wahyukan ke kalian, mesti kukabari kalian semua” —

Bila seseorang, letakkan bantal di belakang kepalanya

Katakanlah : “Bukanlah itu yang aku maksud.

Bukan, sama sekali bukan

Dan akankah itu bernilai, pada akhirnya

Akankah itu bernilai,

Selepas surya tenggelam dan pekarangan dan jalan setapak,

Selepas roman, setelah cangkir teh, dan rok yang menghela sepanjang lantai —

Dan ini, dan banyak lagi? —

Tak mungkin ‘tuk ungkapkan yang kumaksud!

Tapi seolah-olah lentera-ajaib lemparkan ragam gelisah pada layar:

Akankah ini bernilai

Bila sesorang, meletakkan bantal atau melempar selendang,

Dan berpaling pada tingkap, berkatalah :

“Bukan itu,

Sama sekali bukan itu”

Tidak! Aku bukan Pangeran Hamlet, tak juga bermaksud jadi dia;

Aku pelayan Tuhan, orang yang akan,

Melakon alur, memulai satu dua adegan,

Menasihati sang pangeran; tanpa keraguan,

Penuh hormat, senang diperalat,

Bijak, teliti, juga cermat;

Sarat ucap melangit, namun acap juga lalai;

Terkadang, konyol —

Terkadang tolol.

Aku menua… bertambah tua..

Mestinya kubalun bawah celana.

Mestikah kucampakkan rambutku ke belakang ? Bernyalikah aku mengunyah persik?

Mestinya kukenakan celana flanel putih, dan berjalan menyusur pantai.

Telah kudengar putri duyung bersenandung, ke sesamanya

Rasaku, takkan bernyanyi mereka untukku.

Telah kupandang-lekat mereka melaut-mengombak

Menyisir rambut putih dari punggung-ombak yang terempas

Ketika angin mendesir, air menghitam, buih memutih

Kita tinggal-tetap di bilik lautan

Dikerumuni gadis laut bertatah ganggang merah dan cokelat

Hingga suara-suara manusia membangunkan kita, kita tenggelam.

--

--