Searching: Menikmati Ketegangan dalam Tangkapan Layar

Atolah Renanda Yafi
ISH Review
Published in
5 min readSep 27, 2018

Di tengah kebosanan menonton film-film thriller, Searching bisa jadi memberikan cara baru untuk menikmati genre film ini. Bagaimana tidak, sepanjang film, kita hanya akan dihadapkan dengan penampakan layar berbagai gawai, mulai dari komputer, ponsel, kamera, hingga tablet. Mungkin ini bisa dikatakan sebagai metode yang janggal untuk menampilkan film, tapi justru hal ini jugalah yang menjadikannya sebagai sebuah tontonan yang menarik bagi khalayak .

Sekilas pembukaan Searching tampak seperti Up (2009) yang dibingkai tampilan Windows XP untuk membuat penonton merasa sedang bernostalgia. Sepasang pengantin, David Kim (John Cho) dan Pamela Nam Kim (Sara Sohn), menjalani kehidupan bahagia layaknya pasangan-pasangan muda umumnya. Segala momen mereka simpan dalam berbagai media di komputernya (foto dan video). Kebahagiaan ini semakin bertambah ketika kelahiran anak mereka, Margot Kim (Michelle La).

Namun semuanya berubah begitu saja ketika sang istri terserang kanker. Kehidupan mereka yang baik-baik saja perlahan menjadi suram. Semua momen yang mereka abadikan selalu berakhir dengan kesakitan sang istri. Kepahitan ini pun memuncak ketika akhirnya Pamela meninggal dunia, menyirnakan angan-angan akan keluarga bahagia dan segala keharmonisannya yang sering kita impikan.

Bertahun-tahun setelah kematian istrinya, David merasa kehidupan keluarganya baik-baik saja. Namun anggapan ini mulai berubah saat Margot tiba-tiba saja menghilang. Sejak panggilan teleponnya di tengah malam tak diangkat oleh ayahnya yang sudah tertidur, tak ada lagi kabar dari Margot kecuali laptopnya yang tertinggal di rumah.

Awalnya David mengira anaknya sedang tidak ingin dihubungi saja. Namun kekhawatiran semakin memuncak ketika David baru mengetahui bahwa hari itu Margot tidak masuk sekolah dan ternyata telah lama meninggalkan kursus pianonya.

David baru menyadari bahwa anaknya adalah orang yang tak seberapa dikenalinya setelah David kehilangan dia. Ia benar-benar tak tahu ke mana dan kepada siapa ia harus mencari Margot. Jalan keluar baru didapat ketika ia berhasil mengakses akun media sosial anaknya di laptop yang ditinggalkannya.

Dari sini barulah diketahui bahwa Margot tidak memiliki teman di sekolah. Beberapa orang bahkan acuh tak acuh atas hilangnya Margot. David pun mengambil tindakan untuk melaporkan kasus kehilangan ini pada pihak kepolisian. Selain meminta bantuan pada polisi, David pun melakukan investigasi digital secara mandiri. Berbagai akun media sosial Margot diselidiki untuk mengetahui kebiasaannya di dunia maya. Berbagai kampanye pun dilakukan secara daring untuk memudahkan pencarian putrinya.

Kabar hilangnya Margot yang menjadi viral sama sekali tak membantu pencariannya. Teman-temannya yang awalnya bersikap masa bodoh tiba-tiba mengaku-ngaku sebagai sahabat terdekatnya. Berbagai kabar tentang David, yang sayangnya tidak membantu, juga muncul di beberapa media sosial. Ia dikampanyekan sebagai “ayah terbaik di dunia” lewat Twitter, tetapi juga dianggap sebagai pembunuh anaknya sendiri di forum-forum macam Reddit.

Sentimen orang Amerika terhadap cara orang Asia mendidik keluarganya coba dimunculkan juga di sini. Semua ini seakan mengingatkan kita bahwa media sosial mungkin dapat membantu kita mengetahui berbagai hal mengenai orang lain, tapi di sisi lain kepalsuan juga dengan mudah dapat ditampilkannya. Tak ada pembeda antara kebenaran dan bualan, semua hanya ditentukan keriuhan masyarakat internet. Semakin tenar kabar itu maka semakin tampak benar ia di mata orang-orang.

Di luar cara bercerita yang memuat banyak elemen Hitchcockian yang semakin membosankan, Searching meyakinkan kita bahwa film thriller dapat ditayangkan dengan cara yang lain. Timur Bekmambetov, sang produser, menyatakan bahwa gaya ini sangat diperlukan oleh film-film masa kini sebab 50% kehidupan kita sekarang sudah berada di dunia maya. Kamera konvensional saja tak cukup untuk menggambarkan kehidupan zaman sekarang. Di sisi lain, generasi di bawah 25 tahun hampir tak mengingat masa di kala internet tidak ada sehingga film bergaya seperti ini dinilai lebih dekat dengan keseharian mereka.

Perbedaan keakraban tiap generasi dengan gawai dan dunia maya sebenarnya tampak pada cara David menggunakannya. Ia hanya menggunakan internet untuk urusan kerja dan berhubungan dengan keluarganya. Satu-satunya situs yang ia pakai untuk mencari anaknya hanyalah Google dan dari sana ia baru mengetahui Facebook, Twitter, Tumblr (yang ia kira botol minum ‘Tumbler’), dan media sosial lainnya.

Konyolnya perilaku David yang kelabakan dengan internet mungkin cukup menghibur kita, tetapi di sisi lain juga memunculkan sebuah ketakutan. Informasi tentang diri sendiri ternyata sering kali kita sebar dengan cuma-cuma melalui internet. David, yang awalnya tak terlalu mengenal anaknya, justru mendapat banyak informasi mengenai Margot melalui media sosial. Bahkan ia dengan mudah mengakses aib teman-teman Margot lewat internet.

Ini sangat berbeda dengan film-film tanpa dunia maya di mana untuk mendapat suatu informasi kita harus membaca buku, bertanya kepada orang-orang, dan pergi ke berbagai tempat. Bisa jadi inilah implikasi ketika masyarakat sudah tak bisa membedakan apakah media sosial merupakan suatu ruang publik atau ruang privat.

Di sinilah keberhasilan Searching untuk memunculkan ketakutan manusia pada dunia (teknologi) ciptaan mereka sendiri. Film thriller yang selama ini identik dengan kelakuan manusia di dunia nyata dengan gerak-gerik misterius, kegelapan di sana sini, dan aksi pembunuhan yang mengerikan diubahnya melalui tampilan yang sama sekali berbeda.

Sebelum menontonnya mungkin susah untuk membayangkan sebuah film tentang hilangnya seorang anak layaknya Prisoners (2013) atau The Lovely Bones (2009). Rasanya seperti bagaimana mungkin kita mendapat kengerian yang memadai melalui tangkapan layar gawai-gawai itu? Namun keraguan tersebut bisa dijawab dengan mudah melalui audio-visual mumpuni yang dimilikinya. Ketegangan berhasil diciptakan Searching melalui detail-detail pada setiap software yang kita gunakan sehari-hari, setiap kali informasi baru muncul ia bisa menambahkan suspense dengan penampakan lambat yang disertai musik yang mengerikan.

Kelihaian Aneesh Chaganty, sang sutradara, dalam membaca perilaku manusia di dunia online bisa jadi faktor pendukung juga. Hal ini bisa dilihat dari pengalamannya bekerja di Google dan membuat sebuah film pendek, Seed (2014), yang sepenuhnya direkam oleh Google Glass. Sejak awal rilisnya di berbagai negara, film ini cukup cepat perhatian publik. Hal ini diraih bukan saja karena metode pengambilan gambarnya, yang sebenarnya sudah pernah dilakukan beberapa film dan serial lain seperti Noah (2013), Modern Family pada episode Connection Lost (2015), dan juga Unfriended (2014) yang digarap oleh produser yang sama.

Searching yang memfokuskan ceritanya pada keluarga Asia-Amerika dirilis pada saat yang tepat, tidak jauh dari keriuhan orang-orang pada Bao (Juni 2018) dan Crazy Rich Asians (Agustus 2018) yang juga berfokus pada keluarga Asia-Amerika.

Dengan gayanya yang cukup berbeda dibanding film-film thriller lainnya, Searching bisa dibilang sukses dalam menampilkan dirinya. Ia menyadarkan bahwa dunia maya, yang awalnya sekadar alat bantu, sudah tak bisa disepelekan dalam keseharian kita.

--

--