Selayang Pandang Film LBGT Pada Masa Orba dan Setelahnya

Asra Wijaya
ISH Review
Published in
5 min readMar 2, 2018

Tragik Pemeran LGBT di Film Indonesia

Pasangan Rudi dan Dani mati tragis di film Fiksi. (2008). Toni mati terbunuh oleh kekasihnya, Niko, dalam Istana Kecantikan (1988). Lantas di film Jang Djatuh Di Kaki Lelaki (1971), Sinta juga tewas karena kecelakaan mobil begitu tahu pacarnya, Sumiyati, kembali ke pelukan sang suami. Hanya Betty, tokoh waria yang diperankan Benyamin Sueb yang mengalami nasib beda. Betty ditolong Pak Haji ketika diganggu orang usil di film Betty Bencong Slebor (1978). Ending film menjadi salah satu momok bagi pembuat film dalam mengantisipasi sensor. Akhir kisah yang tidak bahagia di atas muncul akibat keseragaman stigma LBGT yang disengaja oleh kekuasaan orde baru.

Isu LBGT tampil dalam film Indonesia dari tiga dekade lalu. Adalah Akulah Vivian (Laki-laki Menjadi Perempuan) 1977, menjadi pembuka jalan. Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata seorang transwanita. Di Tahun 1973, Iwan Rubiyanto Iskandar, terbang dari Surabaya menuju Singapura untuk operasi kelamin. Lima bulan kemudian permohonan untuk diubah statusnya menjadi perempuan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Iwan berganti menjadi Vivian Rubiyanti. Beberapa tahun berselang, tahun 1988, di RS Dr Soetomo Surabaya, Dedi Yuliardi Ashadi menghilangkan “penis kecilnya”. Kelak Dedi dikenal dengan nama Dorce Gamalama. Bunda Dorce, sebutan akrabnya itu, lalu menghiasi layar kaca. Ia menjadi presenter dan penyanyi dan membintangi beberapa film.

Kontrol Negara terhadap Seksualitas Sebelum dan Sesudah Orde Baru

Negara yang konon dibentuk demi mengurusi publik rupanya diam-diam bernafsu ikut campur mengatur seksualitas nan privat. Foucault dalam buku Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas menjelaskan bahwa seks adalah matriks pendisiplinan dan berbagai asas regulasi yang dikendalikan oleh negara. Seks diawasi dan dikendalikan sedemikian rupa hingga batas tertentu menimbulkan mikro kekuasaan atas tubuh . Sementara itu Muria Endah Sokowati dalam buku Tentang Sebuah Orde (baru) menulis bahwa negara diam-diam menolak seksualitas non heteroseksual dan secara tidak langsung mengekslusikannya dalam wacana negara bangsa. Seks lantas menjadi patokan untuk mendefinisikan seseorang secara sosial dan moral. Negara kemudian berperan sebagai orang tua yang mengatur perilaku seksual masyarakat sebagai anak-anaknya.

Selanjutnya demi mengeksekusi ide ini, negara mendisiplinkan dan mengatur tubuh dengan seperangkat aturan-aturan. UU №1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi produk kekuasaan orba demi mengontrol wacana seksual. Hubungan homoseksual dianggap menyimpang dan abnormal karena tidak sesuai dengan ideologi negara. Tidak berhenti di situ, pemerintah kemudian membuat program KB melalui BKBBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Lewat ini, keluarga dikukuhkan sebagai relasi heteroseksual yang normal, sesuai dengan kehendak negara.

Akhir Juni 1997, acara “Potret” di SCTV dan “Buah Bibir” di RCTI diprotes keras oleh Anggota DPR RI Lukman Hakim. Kedua acara TV itu dituding membesar-besarkan topik yang hanya merupakan ekses kehidupan, antara lain homoseks, perselingkuhan, dan kebebasan seks. Menteri Penerangan yang baru, Jenderal (Purn.) R Hartono mengimbau agar jaringan TV swasta menahan diri dalam menayangkan berbagai acara talkshow, seperti “Buah Bibir” dan “Potret”. Namun Menpen absen dalam memberi alasan rinci. Hanya disebutkan bahwa beliau pernah merasa resah mengenai berbagai acara seperti itu. Beliau khawatir acara-acara macam demikian bisa memberikan contoh buruk kepada yang lain.

Kedua acara yang fokus kepada seksualitas dan penyalahgunaan narkotika itu masih tetap ditayangkan. Mereka menolak menghentikan tayangan tersebut. Melalui Humas RCTI, Eduard Depari, Pihak TV berjanji akan lebih menyeleksi tema, mengurangi tema-tema kontroversial. Selain itu beliau juga menegaskan bahwa permasalahan yang diangkat mestinya merupakan problem sebagian besar masyarakat. Dengan demikian jelas, topik LBGT, yang minoritas, tak akan pernah dimunculkan lagi.

Kondisi perfilman Indonesia membaik pasca Orde Baru. Sejak jatuhnya Soeharto tahun 1998, film Indonesia seperti lahir kembali. Begitu ungkap Ben Murtagh dalam bukunya Gender and Sexualities in Indonesian Cinema: Constructing gay, lesbi and waria identities on screen (Routledge, 2013).

Kualitas, kuantitas, juga variasi tema dan isu film Indonesia bertambah. Isu sensitif seperti LBGT misalnya turut menyemarakkan dunia film nasional. Perubahan sosial-politik pasca orba menjadi medan unjuk ide yang terbuka bagi para pembuat film. Hal ini berbeda dengan masa orba. Film yang mestinya menjadi ruang ekspresi kreatif malah dikekang negara. Film dijaga agar sejalan dengan hegemoni kekuasaan. Upaya sistematis yang dilakukan orba dengan menempatkan orang-orang pemerintahan di Badan Sensor Film tahun 1973–1974. Kebijakan sensor diperjelas lagi dalam PP no. 7 tahun 1994 yang digunakan untuk menggunting setiap adegan bermuatan seksual sebagai pertimbangan aspek sosial budaya (Sasono, dalam Jurnal Perempuan 2004: 79–80)

Demi merayakan kebebasan yang diraih pasca reformasi muncul beberapa nama-nama seperti Nia Dinata, Lucky Kuswandi dan Joko Anwar. Mereka berkolaborasi menggarap film-film bertema LBGT. Nia Dinata menjadi pelopor film LBGT pasca orba lewat Arisan! (2003). Film yang diproduseri dan disutradarai sendiri oleh Nia ini berkisah tentang gambaran kehidupan manusia 30an di Jakarta. Arisan menjadi ajang pamer bagi kemapanan diri anggotanya. Namun di balik itu, masing-masing tokoh punya masalah pribadi yang coba di tutupi. Seorang gay menutupi identitasnya dengan terapi ke psikiater untuk menipu ibu dan teman-temannya. Arisan! mengubah stereotipe gay yang biasanya berkutat pada profesi feminim kepada figur lelaki perkasa nan terpelajar. Akan tetapi bila dibandingkan dengan film Remaja di Lampu Merah (1979), Arisan! masih kalah intim. Kisah cinta homoseksual di Remaja di Lampu Merah cenderung lebih sugestif ketimbang Arisan!. Pasca Arisan! Muncul pula film-film lain seperti Detik Terakhir (2005), Berbagi Suami (2006), Coklat Stroberi (2007), Kala (2007), Madame X (2010), Arisan!2 (2011), Lovely Man (2011), Taman Lawang (2013), sampai Selamat Pagi, Malam (2014).

Arus Balik Film LBGT

Di tengah makin terbukanya peluang untuk mengeksplorasi tema LBGT dalam film, serentak muncul pula aksi penolakan terhadap LBGT. Kehadiran film yang menjadikan penonton terdidik memahami LBGT di waktu yang sama juga menimbulkan gelombang kewaspadaan beserta kecaman. Pemboikotan Festival Film Q! tahun 2010 oleh FPI misalnya jadi contoh nyata. Sentimen negatif terhadap LBGT sudah menghapus fakta bahwa setiap warga negara sepatutnya memperoleh perlindungan dan rasa aman tanpa kecuali.

Meskipun representasi LBGT dalam film meningkat pasca orba, namun filmnya sendiri masih enggan melakukan eksplorasi adegan seksual. Ketika banyak karakter heteroseksual pamer seksualitas mereka lewat fragmen adegan mesra sampai aktivitas seksual yang intim, film bertema LBGT justru masih harus tunduk kepada aturan sensor yang ketat. Selanjutnya apabila film-film Indonesia ke depannya masih mengekor kepada stigma LBGT di masa orba, maka inilah arus balik film-film bertema LBGT.

--

--