Menyenandungkan Ketidakpastian bersama Duo “Backyard Lullaby”

Catatan Mendengarkan Mini Album “Backyard Lullaby”

Haris W
ISH Review
4 min readSep 25, 2017

--

Photo: Backyard Lullaby-Courtesy of ISH Museum of Art and Literature

Saat menonton Backyard Lullaby (BL) live di space ISH Tiben dalam panggung kecil SEC (Sunken Court Echo Chamber, panggung dan diskusi musik asuhan Tiben dan Apres!) Aku mencari kata tepat untuk merangkum kehangatan penampilan mereka, “Mocca, eh?” sampai seorang kawan melintas, bertanya sambil lalu, “Itu yang nyanyi manusia?”

Pertanyaan kawan satu itu dapat dipahami. Penyanyian Arra (vokal), yang kata Asra (CEO ISH Review) terasa riang-kekanakan, mengundang siapapun untuk duduk manis menyimak. Ditambah iringan gitar Edo yang lincah dalam bermacam-macam mood, duo akustik ini menyelimuti ruangan Tiben yang berdinding triplek itu dalam suasana riang sekaligus meneduhkan. Nak-anak Tiben yang biasanya cengengesan dan pecicilan dibuat(dibuai) tenang seperti anak-anak Taman Kanak-kanak diceritakan fabel.

Keempat lagu yang dibawakan sore itu terkumpul dalam mini album self-titledBackyard Lullaby” yang mereka luncurkan sendiri tahun lalu. Di empat lagu itu, kita ditempatkan pada skenario-skenario ketidakpastian. Pengalaman tercemplung dalam situasi yang tidak menentu disajikan dalam kombinasi permainan musik yang fleksibel serta narasi-narasi konkret yang membuat gelisah namun tetap nyaman. Ceritanya, BL sempat vakum setelah merilis mini album tersebut tahun lalu gegara Arra yang menjalani pertukaran pelajar. Sekembalinya ke Indonesia, Arra mendengar radio memutar lagi lagu mereka, “Mary”. Kisah perjalanan pulang itu berdampak positif bagi duo ini dan mendorong mereka untuk manggung dan berkarya lagi.

Saat menunggu di tempat janjian dan yang dinanti belum juga datang, kita bisa sabar saja. Kadar toleransi bisa ditambah jika dia mungkin the one. Seperti dalam “10 O’clock”, ketidakpastian kedatangannya dibiarkan mengalir sembari mengaduk-aduk milkshake yang sudah tidak dingin lagi. Jam 11 dan belum juga ada kabar, Kita lanjut menikmati pemandangan sekitar atau refleksi, “Maybe i’m a fool”. Ritme pelan yang dimainkan BL di lagu ini menemani kita sampai larut walaupun si dia tidak membalas teks, “ It’s almost twelve/ I have to sleep/ on a sweet time and dream/ I know I will meet you again someday.”

Di lagu “Mary”, situasi genting dimainkan dengan musik yang mengajak kita menari. Adalah seputar Mary yang jatuh cinta “kepadamu”. Narator mengabarkan bagaimana ceritanya perlahan-lahan supaya Kau tidak kaget. Gumam “Syalalalala” dan gemericik fingerstyle gitar Edo seakan mengisi jeda saat Kau melambung tersipu mendengar detil kabar tentang Mary. Dan kalau sudah sampai “It didn’t take anytime for her to know/ When she met your eyes/ She knows”, apalagi yang Kau tunggu?

Kegentingan dalam lagu itu makin intens di hopping and playful music-nya “Oh Mama”. Saat mendapati bahwa dia pergi dengan “another girl”, Kau mungkin jadi panik atau kebakaran jenggot seperti saat kaput ekonomi. Namun Kau tak mau buru-buru mengambil kesimpulan. Permainan ritmik vokal dan gitar pada lagu ini seakan menunda dulu berbagai emosi yang berkecamuk, dan bertanya lagi, “Where is this going?”. Dalam versi rekamannya, lagu ini diperkaya liuk-liuk lengking harmonika seperti sebuah adegan koboi mendobrak masuk ke sebuah salon dan mengacungkan pistol. Tentu situasi di lagu ini tidak sedramatis itu, cukup mempertimbangkan keputusan “maybe you should go”.

Sehabis keringatan dalam panik, kita bisa melanjutkan lamunan — yang sudah dipupuk di lagu pertama — bersama “Will I ever”. Kita dibawa kontemplatif — yang juga diiringi denting piano dalam versi rekamannya— setelah maraton dan sprint perasaan di lagu-lagu sebelumnya. Ada atmosfer romantisisme yang mengendap di dasar lagu ini dari mula cerita “the doors are closed” yang dilanjutkan dengan rekoleksi pada luka-luka di lagu-lagu sebelumnya, sampai gerah itu tak tertahan dan runtuh dalam penutup “when will i be free?”

Namun cerita tidak selesai di sana. Terdapat satu lagu lagi di mini album BL yang awalnya terasa out of place. Lagu satu ini terasa berbeda, selain berlirik bahasa Indonesia, ia dimainkan dalam nada-nada afirmatif seakan kita diajak mengamati keempat lagu sebelumnya dari atas. Sayang sekali lagu ini tidak diperdengarkan di SEC sore itu.

Sepanjang lagu penutup ini, Aku merasakan semua rindu dalam “Will I ever” bisa lepas seluruhnya seperti “Jejak kaki di tanah/ tinggalkan suara derap/ tanpa risau menunggu beban/ kuterima”. Di sepanjang lagu, kita terlempar dalam regangan waktu yang berlalu. Terdapat denyut permenungan dalam “hidup menunggu abu/ hanya sekedar rindu/ atas ketidakpastian”. Dan kerelaan itu bisa diiyakan sepenuhnya sebab kita bisa “hadir memberi/ lalui hati terkunci” sampai kita bisa nyenyak “menutup mata”.

Tema ketidakpastian dalam mini album Backyard Lullaby merambah pengalaman-pengalaman keseharian sederhana yang begitu dekat, tidak jarang juga mengecewakan.

Lalu ketika Backyard Lullaby membawakannya dengan nuansa folk dan country yang kental, kita bisa menari di atasnya atau setidak-tidaknya merelakannya. Seperti Rilke dalam inisiasi kumpulan puisi The Book of Images, “Dan seperti kata, tetap matang dalam diam/ Dan seperti kehendakmu Ia mencapai makna/ Dengan lembut matamu merelakannya”.

--

--