Three Billboard Outside Ebbing, Missouri: Tiga Papan Iklan Pangkal Pertengkaran

Asra Wijaya
ISH Review
Published in
6 min readJan 21, 2018

Review Film Three Billboard Outside Ebbing, Missouri (2017)

Rasaku, judul film ini merupakan salah satu yang terpanjang di tahun 2017. Film-film “bagus” yang kutonton tahun lalu sepertinya punya judul-judul panjang. Misalnya Manchaster by the Sea, Killing of the Sacred Deer, sampai Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak. Lady Bird? I, Tonya, Okja adalah kasus khusus. Pemilihan judul Three Billboard Outside Ebbing, Missouri merupakan semacam gaya bahasa sinekdok pars pro toto. Menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Sekilas dari judulnya, tiga papan iklan ini menjadi penanda sekaligus perwakilan jelujuran kisah dalam film.

Tiga papan iklan menjadi pangkal mula cerita. Lantas berkembang menjadi konflik-konflik yang makin kompleks. Jikalau musim pilkada atau pil-pil lainnya, kita akan banyak mendapati papan iklan berisi foto-foto orang berjas. Lengkap dengan nama dan nomor urut masing-masing. Ditambah logo partai juga slogan usang mari bersatu membangun rakyat, menyejahterakan rakyat dan omong kosong lainnya. Di film ini, isi papan iklan itu minimalis sekali. Cuma tulisan hitam berlatar merah.

Film dibuka dengan adegan seorang wanita setengah baya (Frances McDormand) mengendarai mobil sedan melintasi sebuah jalanan lengan. Di tepi jalan ia berhenti kala melihat tiga buah papan iklan usang. Sambil menyigi sela gigi dengan kukunya, terlihat wajahnya galau memikirkan sesuatu. Selanjutnya sang wanita setengah baya, yang cara memperkenalkan tokoh utama ini amat unik, pergi menyewa papan iklan itu. Bukan ingin mengiklankan usaha bisnisnya. Bukan pula ingin memampang foto narsisnya. Wanita tokoh utama kita ini cuma ingin memampangkan beberapa kalimat. Lagu seriosa yang mengiringi opening shot film ini menimbulkan suasana sendu. Framing wajah sang tokoh utama lewat kaca spion di bagian dalam mobil. Memperlihatkan sebuah kesedihan yang dalam.

Menyewa papan iklan di jalan yang jarang dilewati orang? Sebuah keanehan tentu. Sang pemilik biro reklame pun berujar begitu. Cara mengenalkan nama tokoh utama film ini terbilang cerdas. Lewat tokoh lain. Begini. Penonton sedikit dibuat penasaran dengan apa sebenarnya isi secarik kertas yang diulurkan sang wanita kepada si pemilik biro reklame Red Welby (Caleb Landry Jones). Secarik kertas sebagai isi papan iklan itu nantinya. Raped While Dying, Still no Arrest, How Come Chef Willoughby? Kalimat yang juga kita ketahui nantinya berkat pengadeganan bersama tokoh Officer Dixon (Sam Rockwell). Kita benar-benar tidak melihat isi secarik kertas itu. Hanya saja, usai membacanya, si pemilik langsung tahu bahwa si penyewa adalah Mildred Hayes, ibu dari Angela Hayes.

Selanjutnya adegan pemasangan papan iklan pada malam hari bertepatan dengan lewatnya Officer Dixon di sana. Seorang Dixon marah melihat atasannya disindir dengan tiga papan iklan itu. Martabat mereka direndahkan sebagai kepolisian Ebbing. Di sinilah perlahan kepingan demi kepingan cerita mulai menyatu.

Mildred Hayes kehilangan anak perempuannya, Angela Hayes, karena diperkosa lalu dibunuh. Namun pelakunya belum diketahui. Langkah Mildred memasang papan iklan tersebut ialah sebuah teguran keras kepada polisi yang tengah menangani kasusnya. Nama Chef Willoughby (Woody Harrelson) di-mensyen keras di sana.

Letak keindahan film ini salah satunya adalah karakter-karakternya yang multidimensi. Chef Willoughby yang punya penyakit kanker ditampilkan semanusiawi mungkin. Tanpa menjadikan kanker itu sebagai excuse ataupun handicap. Officer Dixon yang rasis juga brutal tetapi seringkali bertingkah konyol lagi lucu. Semua tokoh di film ini manusiawi tanpa label hitam putih.

Karakter-karakter itu tidak melulu jahat bak iblis, tidak juga melulu baik bagai malaikat. Setiap karakter punya persoalan personal masing-masing. Mildred yang terlihat sedang “balas dendam” kepada sang polisi juga dilihatkan peduli kepada kanker yang diderita Chef Willoughby.

Chef Willoughby juga tidak serta-merta hanya ingin membela dirinya sendiri. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menangkap pelaku. Sang Chef juga buntu dalam perkembangan kasus ini. Officer Dixon, dibalik kerasisannya, di belakang cerita aksi penyiksaannya saat menginterogasi orang kulit hitam masih menyimpan lapis humanisme. Kemudian juga si pemilik biro reklame yang dijungkalkan oleh Dixon. Ia tidak membalas ketika justru ada kesempatan emas bagi pembalas dendam. Indah sekali. Adegan di rumah sakit kala Dixon yang di perban sebadan-badan bertemu dengan pemilik biro. Sebuah komedi-tragis.

Jikalau boleh meminjam istilah Mikhail Bakhtin, seorang kritikus sastra dari Rusia, film ini adalah karnaval psikologis manusia di sebuah wilayah yang kecil. Arak-arakan itu bergulir di Ebbing dengan segala lika-likunya.

Di tengah rentetan konflik, banyak berseliweran komedi hitam. Salah satu yang mengena adalah sekembalinya Mildred dari dokter gigi. Ia tertawa tiba di rumahnya. Mendadak terputus begitu melihat seorang pastor bersama anaknya di ruang tamu. Adegan menyipratkan sereal ke wajah anak remajanya untuk memecah suasana juga terasa canggung. Lewat dialog-dialog Officer Dixon, polisi yang agak bloon itu juga, banyak dijumpai sentilan-sentilan lucu. Film ini menghadirkan komedi sekaligus tragedi. Dramawan dan sutradara Irlandia-Inggris Martin McDonagh ini membuat penonton tertawa sambil tercekat. Penonton akan dibawa tertawa tetapi dengan cara yang janggal. Tertawa kemudian di ujung, sesaat sebelum tawa itu usai, ada pikiran yang mengusik dalam kepala.

Film ketiga dari sutradara In Bruges (2009) dan Seven Psychopaths (2012) ini terasa sentuhan khas komedinya. Penulis ingat adegan loncat dari menara dalam In Bruges dan pistol rusak itu.

Tahun 2017 ada beberapa film yang bertema mirip, about seek for justice, soal mencari keadilan. Misalnya The Foreigner dan Wind River. The Foreigner, bercerita tentang ayah yang mencari pelaku pengeboman yang menewaskan anak perempuannya. Jackie Chan memerankan seorang ayah yang murung mencari keadilan. Dibumbui juga dengan aksi-laga. Jackie diceritakan sebagai eks special forces dari Vietnam. Imigran yang mencari keadilan. Sementara Wind River memotret daerah Wyoming nan beku di Amerika. Wilayah bersuku Indian nan kerap diliputi tragedi kekerasan terhadap perempuan. Seorang perempuan ditemukan tewas di tengah salju. Sebelumnya, diceritakan juga anak dari tokoh utama Wind River ini diperkosa dan dibunuh (2 perempuan jadi korban pemerkosaan dalam film ini).

Sisi lain Three Billboard dibandingkan dengan dua film di atas adalah soal detil-detil aksi manusianya. Adegan menolong seekor kumbang yang terbalik di kantor biro reklame misalnya menggambarkan betapapun ketusnya Mildred, dia juga punya sisi manusiawi yang pengasih. Detil memandang ke luar jendela (looking through window) juga salah satu perspektif adegan yang indah dan punya metafor tersendiri. Ketika di ruang kantor biro misalnya Mildred melihat ke kantor polisi di seberang. Demikian pula sebaliknya bila ia di dalam kantor polisi, bisa dilihatnya kantor biro reklame yang memang bermuka-muka itu.

Ebbing, Missouri adalah wilayah kecil nan tenteram. Tetapi begitu ada kejahatan yang mengusik, lihatlah kekacauan demi kekacauan terjadi. Film ini memperlihatkan kepada kita betapa kejahatan telah mengganggu dan mengusik kerukunan warga Ebbing. Sekaligus bila ini adalah kisah nyata pembunuhan yang belum terungkap (Model Memories of Murder), sebagai film, ini juga pemandangan pilu bagi sang pelaku pembunuhan ketika menontonnya.

Three Billboard jauh dari film pembunuhan model Zodiac (2006) ataupun Sherlock Holmes. Ia tidak mengedepankan teka teki petunjuk penyelesaian kasus. Film ini ibarat kepingan perasaan manusia setelah luka lama dibicarakan kembali. Tiga papan iklan itu juga seperti mewakili tiga sisi tokoh Mildred, Willoughby, dan Dixon. Three Billboard film yang amat emosional. Potret jiwa manusia yang serba galau disajikan di tengah konflik lengkap dengan kemungkinan-kemungkinan kelucuan di dalamnya.

Dalam kehidupan bersama, semua suara itu penting. Manusia tidak seperti data dalam ilmu statistika. Di dalam statistika ada isitlah outlier atau pencilan. Di kehidupan manusia tentu tidak. Satu suara itu penting. Luka lama pada diri sesorang dalam kehidupan sosial mungkin mudah dilupakan bersama. Akan tetapi oleh penderita. Jelas beda kasus. Ada suara di dalam yang ingin ke luar. Begitulah yang terjadi kiranya dalam diri Mildred Hayes.

Mildred bukannya tidak merelakan kepergian anak gadisnya itu. Ada gejolak dalam dirinya semacam campuran amarah, kekesalan kepada polisi, penyesalan kepada diri sendiri. Tampak dalam adegan flashback ketika anak perempuannnya meminjam mobil tetapi Mildred tidak mengizinkan. Bahkan adegan itu dimunculkan dalam adu mulut yang keras. “Aku akan berjalan sendiran dan berharap akan diperkosa di jalan”, pekik Angela. Sang Ibu yang penuh amarah juga menjawab, “Aku juga berharap kamu diperkosa di jalan”. Sebuah ucapan spontan yang dikemudian hari menjadi sangat disesali. Angela benar-benar diperkosa dan dibunuh hari itu juga.

Three Billboard luar biasa luwes dan organis dalam menceritakan luka, amarah, penyesalan dan waktu yang terus bergulir. Setelah tahun 2016, Manchester by The Sea melakukan itu dengan sempurna, tahun 2017 giliran Three BillboardOutside Ebbing, Missouri menyajikan sebuah drama komedi di sebuah tragedi.

Eh, bagaimana jika ini adalah sebuah kutukan bagi Mildred Hayes? Bukan cerita tentang balas dendam?

--

--