Untuk Tidak Duduk: Catatan Atas REHEARSE

Haris W
ISH Review
Published in
9 min readJun 6, 2018

Minggu lalu, dua teman mengajakku datang ke “REHEARSE: Sebuah Peristiwa Metateater.” Karena sudah tidak beranjak kemana pun dalam tiga bulan terakhir, Aku sambut ajakan tersebut tanpa pikir panjang.

Sebelum masuk ruangan, tiap pembeli tiket diberikan bekal sesajen untuk dipersembahkan kepada seonggok tubuh yang terbaring pada salah satu sisi instalasi di tengah ruangan. Kita mendengar sebuah pengumuman dari sutradara agar mengambil tempat duduk di jajaran kursi di sekeliling instalasi, dengan tambahan, bahwa kita disilakan berkeliling atau duduk di tengah. Tambah suara tersebut, karpetnya bersih. Aku mengambil kursi bagian belakang. Terlihat dinding kain tergantung tinggi-tinggi di seputar ruangan, menangkap citra-citra dari sejumlah proyektor. Di sini terdengar beragam bunyi malang-melintang.

Kita tidak tahu kapan pentas atau peristiwa ini dimulai. Sekonyong-konyong kita sadari, entah sejak kapan, seorang petani hilir-mudik di sekitar kita. Ternyata derit sayup-sayup itu adalah kerjanya menggaruk-garuk ubin dengan garpu yang biasa digunakan pada jerami.

Masih terdapat cerita dalam peristiwa ini. Kita punya Mamat, seorang pemuda yang tidak pernah kerasan. Memang dia tidak pernah ke mana-mana. Ia mengeluh soal penerangan kepada kru yang tersebar di ruangan. Meskipun sudah ditawari cahaya matahari atau bulan, tetap saja ia tidak puas. Ujungnya penerangan dibatalkan, Ia pun legowo dengan kondisi awal.

Mamat tinggal di belakang pembaringan seonggok tubuh yang kita sembah tadi, di dalam rangka kubus kecil, berlantai jalinan temali yang paling tidak bisa menopangnya duduk atau berdiri. Dalam perbincangan sengit dengan seorang kru, Ia tenggelam di dalam tempurungnya. Bukannya tersedak lalu mati seketika, ia malah megap-megap. Terdengar bunyi air diobok-obok. Saat itu, citra air terproyeksi ke dinding, dengan cahaya yang melintasinya, secara bersamaan bayangan Mamat yang sesak napas jatuh di dinding. Kejadian yang luasnya lebih dari rentang pandangan itu membuatku mencari-cari dimana sedang terjadi apa. Dalam silang lintas citra dan suara, mata dan telinga terasa berebut tempat. Untung tidak tertukar.

Setelah kejadian brutal tersebut, kita lihat Mamat pulih lalu melanjutkan kegiatannya yaitu duduk scrolling berita sepakbola dalam bahasa Perancis. Layar laptopnya terproyeksi lebar-lebar di dinding. Sepanjang peristiwa, kita hanya melihat Mamat bangkit — berdiri di atas dua kaki, menyembulkan kepala dari tempurungnya — saat sedang terjadi sesuatu yang menyangkut Vivienne, seorang perempuan yang ia ragu untuk ajak berkomunikasi.

Vivienne Pham hidup di atas sebuah kubus putih tak jauh dari tempat tinggal Mamat. Lantainya memiliki tinggi setidaknya sejajar dengan bibir sarang yang dihuni Mamat. Vivienne tidak tinggal di sana sejak awal, ia datang dari sebuah batu. Ia di sana untuk mengenakan mengenakan pakaian lain, dan bersama sebuah melon, berselancar informasi destinasi liburan di Indonesia dalam bahasa Perancis pula. Layar laptopnya tak tanggung diproyeksi lebar-lebar.

Dalam sebuah video call dengan sutradara, kita ketahui bahwa Vivienne adalah orang Vietnam. Sutradara berbicara dengan suara google translate. Namun Vivienne tidak mengerti apa yang sutradara katakan. Selama peristiwa, Ia bersikeras hanya berbicara dalam bahasa Perancis. Suatu kali, Vivienne turun dari kubusnya untuk mengajak para pembeli tiket menyanyikan Ça plane pour moi bersama. Setelah beberapa kali diajak karena malu-malu, mereka pun ikut. Aku pasrah, kesal di tempat duduk. Lalu datang penyelamat. Hamdalah.

Si petani yang sedari tadi menggaruk-garuk ubin akhirnya berbicara di atas sebuah tangga kecil. Ia menodong salah satu pembeli tiket tentang pemahaman atas ucapan Vivienne sepanjang hari. Pembeli tiket yang malang menjawab tidak mengerti, dengan cara mirip seorang narasumber wawancara di televisi. Namun si petani tetap bersikeras, mengapa tidak ditanya langsung? Salah seorang kru turun tangan menyediakan layanan video call lewat smartphone-nya. Muka si pembeli tiket yang cengar-cengir itu terpampang lebar-lebar di dinding. Ia dan vivienne diam-diam lama. Tak ada percakapan lalu Video call selesai.

Permainan proyeksi percakapan real-time REHEARSE, dalam citra dan suara, adalah satu moda komunikasi signifikan antara Mamat dan Vivienne. Dengan sebuah lompatan iman setelah membahas kegamangan batinnya perihal Vivienne bersama kru dan sutradara, Mamat akhirnya memberanikan diri. Percakapan terjadi dari tempat tinggal mereka masing-masing. Di dinding terpampang wajah Mamat, juga cengar-cengir, lebar-lebar. Suara mereka terdengar sayup dari jajaran kursi dan sekaligus tersuar bersamaan lewat pengeras suara.

Permainan dari penggunakan teknologi di dalam hubungan sosial yang bersangkutan tampil secara brutal di luar. Usaha menyimak bagi kita menjadi percuma saat pendengaran dan penglihatan tidak mampu mencerap satu hal sama yang disiarkan dalam sejumlah proyeksi, belum lagi bahwa rentang kejadian fisik melampaui lingkup penginderaan. Kita dibuat menoleh ke sana kemari, tidak bisa menetap. Saat satu bagian kejadian belum saja selesai, sepertinya sudah ada satu di tempat lain yang sedang berkembang. Hasrat akan keutuhan terus-menerus selalu batal. Di sana cabang-cabang linimasa menyebar. Kelelahan, kita simpulkan setiap bagian kejadian tidak mengacu pada sebuah sumber sehingga kita tidak bisa berfokus pada salah satu.

Penggunaan gawai dan alat-alat canggih menjembatani jurang pemisah muda-mudi tersebut. Di lain pihak, si petani dan sosok di pembaringan tetap pada tempatnya di tanah. Kita bersamanya, memandang Mamat dan Vivienne dari jauh. Namun dengan begitu terbuka lah kemungkinan kontemplasi bagi para pembeli tiket atas kehidupan mereka berdua — yang di luar ruangan adalah suatu kebosanan yang lazim dalam keseharian kita. Jenis kehidupan kusam seperti itu menjadi tidak sepenuhnya klise lewat keberadaan dua tokoh di dunia bawah.

Para pembeli tiket berkontemplasi lebih intens dalam keheningan ketika keempat tokoh sibuk dalam kesunyian masing-masing. Di tempat duduk, mereka tidak memiliki apapun untuk diperhatikan. Para kepala celangak-celinguk mencari apa yang bisa dipandang nanap-nanap — sesuatu yang tidak serta merta lolos saat mereka menoleh. Kesadaran yang senantiasa mencari tempat duduk dibuat gelisah gentayangan.

Tidak ada kejadian yang disebabkan para pembeli tiket padahal celah-celah eksplorasi terbuka begitu lebar. Mamat duduk di kubusnya tak terlindung oleh sekat apa pun dan laman media sosial Vivienne terpampang luas di dinding. Tidak satu dari kita repot-repot iseng untuk sejenak mengiakan perkembangan cerita bahwa di ruang peristiwa tersebut kita bukan lagi orang seperti Mamat dan Vivienne.

Keadaan berkembang makin rumit dengan kebangkitan sesosok tubuh yang kita sembah di awal cerita. Ia berlatih menyanyikan sebuah lagu berbahasa Sunda yang ia sendiri lupa, diiringi permainan piano yang kadang melantun kadang melamun. Ia kemudian berdiri, memberikan ceramah dalam bahasa Sunda dan Inggris. Nampaknya tentang cinta. Monolog tersebut terbang ke berbagai arah, tidak ada lawan bicara yang pasti. Ucapannya seperti datang dari belahan waktu yang lain, entah lampau atau akan. Bahasa sehari-hari kita yang “receh” ini pun terbata-bata. Dan memang tidak satu dari kita yang merespon.

Dari percakapannya dengan si petani, arwah purba ini ternyata bernama Pohaci, nama lain ibu bumi. Ia tidak pernah meninggalkan pembaringannya agar si petani dapat terus mengabdikan diri kepadanya. Alangkah kalut dan cemas si petani saat sang arwah kembali sehabis ceramah. Ia bersalin. Ia hendak pensiun dan keputusannya sudah bulat.

Ia berkeliling dengan pakaian biasa, seperti manusia umum hari ini. Demi si petani, dengan nada seorang ibu, dia meminta tolong adakah orang yang rela menggantikan perannya. Soal tugas pokok, katanya, adalah semudah berbaring saja. Mungkin sepanjang zaman, ditambah bernyanyi sebagai tugas sekunder. Kita lihat pakaian Pohaci tergeletak di pembaringan. Perannya yang terhapus mengamplifikasi rongrongan permohonannya kepada orang-orang di dalam peristiwa. Namun di sisi para pembeli tiket, kekosongan sebuah peran yang sejak awal tidak begitu signifikan kecuali menyentil rasa penasaran nampaknya tidak cukup mengganggu para pembeli tiket. Tidak ada yang sudi, mereka tersenyum geleng-geleng.

Entah berapa orang yang sudah Ia mintai tolong. Akhirnya kru dan operator membantunya dengan menunjuk para pembeli tiket secara acak. Gagal. Kemudian mereka menyarankan nama-nama. Alhasil ada seorang pemuda yang menyanggupi. Setelah membantu si pemuda berbaring dan mengenakan pakaian purba itu, Pohaci berjalan pergi, lenggang kangkung ke pinggir ruangan.

Pengganti Pohaci awalnya betah sejenak di pembaringan beberapa menit namun ia akhirnya mulai iseng berpose ria. Beberapa temannya dari kursi para pembeli tiket mengambil beberapa gambar lewat smartphone. Apa pendapat petani dengan pergantian Pohaci sementara di dalam pikirannya hanya ada satu Pohaci yaitu yang bernyanyi, yang memberikan petuah-petuah soal menjaga kesucian bermacam hal. Tidak ada. Ia harus puas pada yang minimal, setidaknya pakaian purba pohaci terisi. Sejak itu, si petani harus membiasakan diri dengan suasana baru tanpa bisa pilih-pilih.

Saat waktunya tiba untuk beranjak, tubuh kita tidak siap, lembam di kursi.

Pergantian pemain seakan sulit terjadi. Para pembeli tiket sejak awal adalah penonton (di dalam) sebuah peristiwa. Mereka duduk. Kursi melekuk sumbu horizontal tubuh dalam posisi kontemplatif. Posisi ini memanggil ingatan pada apa saja yang biasa dikerjakan di dalamnya. Sejak sekolah dasar, entah saat orde baru atau setelahnya, kita bernama murid, diajarkan tenang dan patuh mendengarkan dengan tangan terlipat di atas meja. Kebiasaan ini mungkin diperketat sampai dewasa di ruang-ruang kantor juga waktu santai menonton layar lebar di bioskop. Agak jauh, kita bayangkan Pohaci yang baru saja pensiun meminta patung Le Penseur karya Auguste Rodin untuk berlatih berbaring dan bernyanyi. Tidak. Sang pemikir tetap diam di batunya, berpikir tentang makna pensiun Pohaci.

Kehadirannya sejak awal, meskipun ia penting bagi para pembeli tiket lewat pemberian sesajen, tidak hadir sesignifikan cerita keseharian Mamat dan Vivienne di dunia maya. Sejak awal, Pohaci hanya bangun sesekali dan bernyanyi. … Walaupun belakangan diketahui bahwa Mamat nampaknya terhubung dengan si petani, Pohaci baginya adalah dunia lama yang dilupa. Lalu seorang kru, dalam sebuah percakapan, menyindir keasyikan Mamat berkomunikasi dengan Vivienne sedangkan keluarga di kampung tidak pernah ia hubungi. … Kudapati ceramah dan kepergiannya adalah titndakan penghabisan sebuah dunia lama yang tidak lebih dari bayangan bisu dan tak bertubuh. Meski begitu, keberadaannya tidak bisa ujug-ujug ia abaikan. Kematian sudah berlalu namun si petani itu masih menginginkan arwah tersebut pada tempatnya. Di sisi lain, para pembeli tiket mungkin sungkan untuk menerima peran seseorang yang ia sembah sendiri di awal.

Saat masih berpikir, sang pemikir kehilangan tempat duduknya namun tidak terjatuh. Ia masih dalam keadaan duduk di udara. Tubuhnya masih kokoh di alam kontemplasi. Bayangan tentang berpose secara berbeda menghantuinya. Jika itu terjadi, sebuah teritori baru terbentang di dalam dirinya. Ini berbahaya. Ia bisa kehilangan kendali atas susunan dunia yang sudah susah payah ia rangkai. Ia tidak siap untuk bergiat dengan cara berbeda, tubuhnya sudah ia bentuk sedemikian untuk menopang pemikiran. Berbaring dan bernyanyi akan membuat otot dan persendian pikirannya melemah, layu dan mati.

Tata letak para pembeli tiket pada kursi REHEARSE sejak awal menempatkan mereka sebagaimana layaknya penonton yang bertugas sebatas berkontemplasi dan menikmati pikirannya. Pergantian pemeran yang diminta Pohaci hanya mungkin lewat perubahan posisi. Saat berbaring, kendali luluh seketika tubuh terpapar menghadap langit. Pergeseran yang terbilang mudah dilakukan di ruang pribadi ini menjadi tugas sulit dimana ingatan sepanjang pendidikan yang pernah dialami sedang membayang-bayang pekat di atas. Kita protes dalam diam. Bahwa masuk sebagai pemeran pengganti yang mampu mengikuti rehearsal dalam peristiwa menjadi hampir tidak mungkin dalam kondisi tersebut. Menggantikan sebuah peran yang disadari tak tergantikan mensyaratkan tenaga begitu besar. Tuntutan REHEARSE terlalu berat bila ia ingin para pembeli tiket secara penuh merembes dari luar.

Dalam tuntutannya. REHEARSE dapat dilihat sebagai sebuah peristiwa pengajaran. Ia berlalu dari ruangan tersebut lewat pengumuman banjir di Jakarta oleh sutradara, disusul penundaan dengan dalih istirahat ibadah sore. Dengan begitu tirai pembatas dalam dan luar sudah tersingkap. Kita kembali ke ruang masing-masing. Pohaci baru hanya bertahan sebentar. Tidak terjadi apa-apa selain keterpisahan besar-besaran di antara Mamat, Vivienne, kita para pembeli tiket, si petani dan Pohaci baru. Kita berpencar di sana, dengan sebuah pertanyaan yang terngiang di telinga sampai kita keluar ruangan peristiwa. Sampai kemudian. Cerita ditangguhkan sampai jauh setelah instalasi dibongkar, sampai kini kita sudah melaju pada linimasa masing-masing.

Sungguh sansai situasi yang jatuh pada para pembeli tiket. REHEARSE membuka kemungkinan keterlibatan di akhir namun menyudahinya saja. Bukankah mungkin terjadi sesuatu? Dalam situasi demokratis dunia luar peristiwa, kita bisa mengajukan ketidaksetujuan pada Pohaci baru. Kita bisa menggelar pemilihan umum. Atau sebaliknya setuju dengan segalanya berkembang otomatis. Dengan monotoni yang sarat dalam ceritanya sebagai pentas, menunggu lagi sepanjang durasi yang sudah dihabiskan bukanlah perkara sulit. Demi percobaan-percobaan lebih lanjut. Bukankah penundaan tersebut adalah peruntuhan atas apa yang sudah susah payah dibangun?

Tetapi jika kita mengingat Pohaci si petani, yang walaupun sepanjang perannya hanya berbaring dan bernyanyi, pergantian pemeran antara kita akan terjadi perulangan tak terhingga. Hal itu hanya akan melahirkan karikatur-karikatur baru semata.

REHEARSE sebagai sebuah peristiwa ditulis dengan tinta air yang segera kering namun kadung membekas. Para pembeli tiket tidak pernah benar-benar masuk ke sana. Ia terjadi sejak masa immemorial yang belum lagi bergerak. Linimasa ini tertunda, menyinggung linimasa kita dan dalam sekejap mata menendang tempat duduk kita. Tepat saat itu kekosongan peran kita ditetapkan. Dan kita tidak punya pilihan.

Misalkan kita sadari REHEARSE sebagai apa adanya, satu-satunya jalan adalah menanggung kagok saat latihan berjalan atau berbaring dengan kaki tertekuk. Bahwa ia bukanlah latihan untuk kesempurnaan sebuah penampilan melainkan perelaan untuk dilalui sebuah peristiwa dari luar. Menjadi aktif setelahnya adalah belajar membiarkan sumbu tubuh merenggang. Entah tegak atau telentang.

--

--