Wawancara Eksklusif bersama Jason Ranti

Sebuah obrolan ringan seputar lirik, fenomena internet, sampai filsafat

Muhammad Rushdi
ISH Review
16 min readOct 1, 2017

--

Jason Ranti

Kita sering dibuat melongo oleh anak kecil atas tindakan mereka yang spontan dan polos. Anak kecil seperti menertawakan cara kita melihat dunia. Ucapan dan kata-kata mereka adalah apa adanya, telanjang, tanpa terikat dengan standar-standar moral. Moral yang justru dijejalkan kemudian oleh lingkungan. Perihal bagaimana seseorang mesti bersikap, atau berkata, agar ucapannya tidak menyakiti perasaan orang lain. Mungkin itulah kenapa kita sering mendengar kalimat: “Namanya juga anak-anak.” Karena apa yang mereka katakan seringkali jujur, bahkan terlalu jujur. Mengapa? Karena bagi orang dewasa, selalu ada hal-hal yang mestinya mendekam di dalam kepala saja, tanpa keluar dalam bentuk kata-kata.

Tetapi ada juga orang-orang yang masih mempertahankan ‘kejujuran anak-anak’ mereka sampai dewasa. Setidaknya mungkin sampai remaja. Mereka yang punya segudang cerita atau pengalaman lucu. Kehadiran orang model begini jadi sososk yang paling ditunggu di tempatmu nongkrong. Apa yang mereka katakan selalu menarik. Sampai-sampai terlalu sayang bila dilewatkan dan kau akan menunda bila ada rencana pergi ke tempat lain. Kau mungkin tidak bisa menebak apa yang akan mereka katakan. Hanya satu yang ada di dalam benakmu, Ini lucu, menarik, maka dari itu perlu.

Dua hal ini saya temukan saat pertama kali mendengarkan lagu “Suci Maksimal” dari Jason Ranti. Lirik yang beliau tulis begitu jujur dan ringan. Cenderung bercanda juga jenaka. Meskipun beliau (Jason Ranti) mengaku bahwa ia menulis sesuatu yang serius, kalian akan dihajar bertubi-tubi saat mendengar lirik demi lirik yang akan mengundang senyum, bahkan tertawa sepanjang lagu. Lantas memaksa kalian menunggu celotehnya selanjutnya. Tapi tak sebatas canda tawa saja. Kalian juga akan bersinggungan dengan muatan kritik di dalamnya. Kritik sehari-hari tentang apa yang terjadi di sekitar kita.

Saya berterima kasih pada Senartogok. Lewat beliau, beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk mewawancarai Jeje, sapaan akrab Jason Ranti, di tengah kesibukannya menyelesaikan project bersama Senartogok. Tak hanya soal musik yang Jeje buat, tetapi kami juga membicarakan polemik apakah musik bisa membawa perubahan berarti pada kenyataan, pendapatnya tentang filsafat, sampai fenomena internet. Bagi kalian yang belum tahu siapa Jason Ranti, sebelum membaca tulisan ini, maka bersiaplah untuk mengutuk diri sendiri karena Jeje juga belum menemukan dirinya sejak dulu.

Jason Ranti di Cafe KaKa (27/7)

Dulu kan sempat bikin grup band Stairway To Zina ya? Kenapa sekarang memilih solo karir?

Ya, dulu itu band bareng teman-teman rumah. Gak milih juga sih. Memang jalannya begitu. Pengen nge-band. Tapi dulu teman-teman pada sibuk. Ya sudah gua sendiri aja.

Kalau musik yang Lu buat sekarang ini, apakah Lu menamakannya sebagai genre folk? Karena banyak yang beranggapan seperti itu.

Ngga, kenapa harus gitu? Gua gak ngasih label atau genre apapun ke diri gua. Itu sih orang lain yang mengkategorikan/mengklasifikasikan.

Tapi gak masalah dengan pengkategorian kayak gitu?

Terserah mau dibilang apa juga. Bebas orang mau berpendapat apa. Gua cuma bikin lagu, bikin musik yang menurut Gua enak. Perkara genre-nya apa Gua gak mikirin.

Pilihan bermusik emang mau cari duit dari sana apa sekadar senang-senang doang?

Kalau dulu memang buat fun doang. Tapi ternyata gua gak kemana-mana, too much fun sampai hilang arah (tertawa). Tapi begitu lulus kuliah, ada tuntutan kalau Lu harus mencukupi kebutuhan sendiri. Gak bisa lagi tergantung ke orang lain. Dulu memang pengen kayak gitu (cari duit dari musik), dan idealnya gitu. Gua pikir kayanya asik bisa cari duit dari apa yang gua cintai. Semua orang mikir kaya gitu ya kayanya? Tapi awalnya gua sempat kerja di banyak tempat kaya kantoran dan restoran. Tapi gak pernah lewat dari enam bulan. Dipecat mulu anjir. Trus gua mikir buat fokus aja di musik.

Kenapa Lu memlilih jalur yang bisa disebut “indie” ini?

Gua sebetulnya banyak dibantu teman dalam banyak hal, termasuk bikin album. Terus kata dia (teman Jeje), kalau dibuat seperti sekarang ada positif dan negatifnya dan gua pikir itu masuk akal dan kita jalankan. Yang penting buat gua adalah menyenangkan dan masuk akal. Gua gak berpikir soal indie atau major.

Kalau gue lihat baik di lingkungan tongkrongan gue ataupun di internet, rasanya ada polarisasi antara pendengar musik indie dan musik pop. Dan biasanya yangPP satu merasa lebih baik dari yang lainnya.

Yang satu merasa lebih keren, begitu? Lebih advance, lebih cerdas, lebih beda? Mungkin kalau Lu anak SMA, itu jadi hal yang wajar sekali karena itu bagian pencarian jati diri. Tapi kalau buat gua, musik cuma terbagi jadi musik yang enak dan gak enak. Sesederhana itu.

Sekarang begini, gua rasa membedakan atau mengklasifikasikan adalah kecenderungan manusia. Tapi mungkin juga orang zaman sekarang punya kebutuhan yang besar untuk mengeksplorasi yang berada di luar televisi. Orang mengidentifikasikan dirinya dengan apa yang mereka konsumsi. Lu adalah apa yang lu makan, yang lu dengarkan, yang lu tonton. Terus mungkin ada tekanan tongkrongan atau peer pressure. Tapi memang ada orang yang mencari tawaran estetika yang lain. Gua suka sama Peterpan ya bukan masalah. Mungkin Ariel lebih relatable dengan kehidupan dia daripada Ucok Homicide. Ya gak apa-apa.Tiap orang realitasnya berbeda.

Dalam bikin lagu, banyak referensi atau pengaruh darimana? Ada musisi idola yang mempengaruhi?

Kalau referensi banyak. Banyak hal dari luar musik. Bisa dari bacaan yang gua suka, orang yang gua suka, atau film. Buat musisi idola, justru gua menghindari itu. Maksudnya tiap orang pasti punya idola tapi kalau nantinya jadi kultus individu bisa bahaya juga. Jadi gua gak ingin fanatik ke satu orang tertentu.

Dari bacaan ada pengaruh penulis siapa?

Donald bebek (tertawa). Banyak, misalnya lagu Kafir. Gua sempat berhenti dulu di tengah pembuatannya. Terus gua nonton pengajian Cak Nun tuh di Youtube. Kalau buat gua dia oke banget. Walaupun kadang gua ga paham karena ada bahasa Jawanya.Tapi dari situ gua jadi dapat pemahaman yang sebelumnya gua gak bisa jelaskan dengan rasio. Sering gitu kan? Misal lu gak bisa menjelaskan sesuatu dengan nalar terus lu cari orang yang lebih pintar dari lu atau yang lu kagumi, yang bisa menjelaskan dengan akal sehat. Terus lu pikir: Oh ini nih yang gua rasakan dibahas sama dia.

Di lagu Stephanie Anak Seni, ada lirik yang berbunyi: Aku tegaskan eksistensiku, aku temukan jati diriku. Untuk seorang Jason Ranti, apa itu eksistensi?

Ada kalanya ketika lirik yang gua tulis mengalir begitu saja. Begitu gua rasa pas di hati ya udah jalan aja. Dan ada kalanya gua gak ingin menganalisa lebih lanjut apa yang gua tulis. Tapi kalau eksistensi dihubungkan dengan penghayatan hidup atau pencarian makna, gua lihat ada orang yang memang mencari dan ada orang yang bodo amat dengan itu. Sementara orang yang mencari itu ada yang berhasil dengan pencariannya dan ada juga yang membuat gua bilang: stress deh lu! (tertawa) Lu paham lah ya maksud gua.

Lu termasuk yang mana di antara dua jenis orang itu?

(Menghisap rokok dalam-dalam) Gua rasa sih ada dorongan-dorongan yang terus-menerus. Lu ada gak pertanyaan di diri lu, “Eh gua lahir buat apa ya? Kenapa gua dilahirkan? Fungsi gua apa?”. Ada orang yang bertanya itu dan ada yang tidak .Kebetulan gua bertanya. Gua gak tahu itu disebut filsafat eksistensialisme dengan Jean Paul Sartre-nya atau bagaimana, gua gak ngerti itu. Dan gua rasa filsafat itu menyebalkan sekali, dalam level praktikal gua bingung menerapkannya bagaimana. Karena gua rasa terlalu mengawang-awang kalau lu baca itu. Tidak semua orang bisa membahasakannya dengan ringan dan menjadikannya hal yang riil.

Dan tidak semua filsuf adalah penulis yang baik juga?

Yes! Kalau gua rasa, pencarian akan makna itu yang penting. Bisa jadi lu mendapatkannya ataupun tidak, tapi gua rasa lu tetap harus mencarinya. Karena kadang suka hilang gitu. Misalnya ada yang ngajak nge-baygon bareng kan gak ada maknanya juga. Kalau menurut lu bagaimana soal makna ini?

Gua setuju sama pernyataan lu tadi bahwa pencarian itu yang penting, karena itu yang gua pelajari dari Bang Tarjo (Senartogok). Dia (Senartogok) boleh dibilang seorang pembaca Nietzsche yang khatam dan jawabannya pun mirip dengan yang lu katakan tadi. Gue tertarik sama pernyataan lu kalau filsafat itu menyebalkan. Bagaimana pendapat lu soal ranah kajian filsafat?

Bukannya gak penting. Ada satu orang yang gua suka: Prof. Bambang Sugiharto. Gua bisa memahami apa yang dia sampaikan. Dari pengalaman gua kenal dengan satu dua orang yang senang baca filsafat, pada akhirnya mereka jadi menyebalkan. Ada kalanya lu berbicara dengan orang yang merasa lebih superior dari lu. Orang-orang ini boleh gua bilang gak berguna di hidup gua karena lu gak bantu yang bego. Tapi ada juga orang yang gak baca filsafat, misalnya, tapi berguna seperti petani atau pembantu rumah tangga. Dan gua lebih suka memperhatikan orang-orang seperti itu. Rasanya lebih riil, lebih romantis. Perasaan mereka sampai ke gua. Tidak semua orang pintar perasaanya sampai ke gua. Filsafat sebetulnya perlu, dalam arti itu kan mengajarkan lu cara berpikir juga kan? Untuk, misalnya, melatih lu membaca lingkungan lu. Tapi tetap saja ada hal-hal praktikal dalam hidup yang mesti lu lakukan.

Di lagu Bahaya Komunis dan Doa Sejuta Umat, misalnya, gue rasa banyak kritik atau keresahan yang coba disampaikan dengan lirik yang nyeleneh.

Buat Doa Sejuta Umat, sebetulnya itu doa personal, doa yang ingin terkabul gitu. Tapi gua lihat banyak ormas yang mengatasnamakan umat padahal belum tentu umat ini merasa terwakili. Kaya’ muslim Indonesia. Misalnya lu muslim tapi belum tentu lu merasa terwakili pun dia bukan representasi Islam. Terus gua mikir kenapa gua gak terapin aja ini di kesenian gua. Doa Sejuta Umat, umat yang mana? Gak tau (tertawa). Kalau Bahaya Komunis, dulu kan ada simposium tuh. Terus ada tokoh masyarakat yang bilang patung tugu tani itu komunis dan harus dihancurkan. Ya udah gua respon aja, imajinasi lu gua tambahin deh. Sesederhana itu. Kalau lu bisa lebay gua juga bisa. Kalau tentang lirik nyeleneh, itu ‘kan pendapat orang. Buat gua sih lirik gua serius.

Apakah lu termasuk orang yang percaya kalau musik bisa membawa perubahan di ranah sosial?

Gua ingin sekali memercayai itu! Tapi gua pikir itu terlalu naif. Buat gua, kalo lu bisa sentuh satu orang saja lewat musik lu, itu sudah oke banget! Dan buat gua, kesenian ya sederhana aja yaitu buat menghibur. Untuk mencerahkan atau untuk apa ya bisa saja, tapi itu (menghibur) pun sudah cukup. Sederhana aja. Soalnya kalau lu ingin mengubah dunia lewat musik, agama aja gak bisa selama ratusan tahun (tertawa).

Bukannya gua anti agama tapi sekarang tahun 2017 dan apa dunia semakin baik? Sekali lagi bukannya gua anti dengan ajaran agama. Agama sebagai institusi memang gua pertanyakan tapi gua gak masalah dengan ajaran kebaikannya dan gua mengamini itu (ajaran agama). Tapi kalau agama disebut turun dari langit apakah itu memperbaiki keadaan? Bisa aja gua berargumentasi: Nggak! Malah bikin kacau!

Gua ingat kemarin ada yang tanya kalau dunia hancur dan lu pindah ke planet Mars apa satu benda yang bakal lu bawa? Gua refleks jawab, “Kitab suci! Eh nggak deng. Nanti malah tambah kacau di mars (tertawa). Malah perang tafsir di sana. Ya sudah gua bawa rokok aja sebatang.” Tapi ini pendapat ya, susah kalau ngomongin keyakinan.

Kalau boleh tahu, apakah lu tumbuh di lingkungan yang menganut agama dengan taat?

Nggak. Gua lahir di keluarga Katolik, nggak bisa memilih. Tumbuh di lingkungan yang plural. Tapi gua beruntung bertemu dengan orang-orang yang ok menurut gua seperti Gus Dur atau Pope Francis kalau sekarang. Gua bilang itu Paus paling nge-punk yang pernah ada! Atau misalnya lu ketemu guru agama di sekolah tapi dia bukan beragama. Dia bertuhan dan berkemanusiaan! Dia bisa buka pikiran lu, gak sebatas ini surga itu neraka. Makanya itu pentingnya lingkungan. Kadang orang baik ada di lingkungan jahat jadilah dia jahat. Ada pepatah burung sejenis terbang berkelompok kan?

Dan menurut gue tidak semua orang seberuntung kita yang bertemu dengan orang-orang yang hebat, dalam konteks ini berkeyakinan atau beragama. Banyak orang yang justru terkungkung di lingkungan yang sejenis, yang tidak memungkinkan untuk membuka pikiran mereka.

Jadi memang, kalau gua pikir, istilah kurang piknik itu memang benar sekali. Jalan-jalan itu penting. Melihat orang yang landscape-nya beda sama lu, bahasanya beda, bisa jadi Tuhannya juga beda. Itu sangat membuka pikiran dan pemahaman bahwa dunia ini luas banget dan lu tidak tahu apa-apa dan sebaiknya lu tidak menghakimi apapun. Soalnya ada tuh filsuf muslim, gua lupa namanya, yang bilang, “Kalau ilmu lu sedikit lu berisik luar biasa. Ilmu lu cukup baik lu malah tenang. Kalau ilmu lu benar-benar tinggi lu malah diam”. Nah, kalau yang seperti itu, filsafat orientalis atau filsafat timur, gua lebih tersentuh. Lebih ada feel-nya, ada emosinya. Gak cuma proses berpikir saja, ada proses merasakan, menghayati, berimajinasi.

Tapi kalau filsuf-filsuf barat, nggak tau kalau di masyarakat sana, tapi di realitas gua kurang begitu masuk. Tapi sekali lagi gua bukan ahli filsafat. Gak ada mereka pun (filsuf) kita tetap hidup kan? Maksudnya, lu gak perlu kenal Nietzsche atau siapapun, lu balik ke zaman Majapahit pun ada aja orang kaya gitu kaya Empu Sendok atau Empu Tantular. Lu pergi ke India misalnya pasti ada juga yang seperti itu tanpa lu mesti tahu Derrida atau Nietzsche misalnya (tertawa).

Dan seperti Prof. Bambang Sugiharto menurut gua keren. Dia mengerti dan tidak ada jarak atau hierarki. Soalnya gua sebalnya dengan adanya hierarki itu. Mungkin memang tercipta dengan sendirinya karena ada kesenjangan ilmu. Tapi lagi-lagi apa gunanya kalau lu gak bisa menyederhanakan itu untuk orang banyak. Orang kebanyakan kerja kan? Bukan berpikir. Maksudnya dunia bergerak karena orang bekerja bukan berpikir.

Banyak musisi yang mencoba mengkritik keadaan yang ada, tapi gak sebatas itu, juga ikut masuk ke gerakan-gerakan akar rumput. Gak pernah kepikiran untuk seperti itu (ikut gerakan)?

Kebutuhan dan pencarian tiap orang berbeda-beda. Masalahnya gua gak merasa melakukan kritik sosial tapi cuma ngomongin diri sendiri. Tapi kalau kata orang lain gua ngomong ini itu mana bisa gua kontrol. Kalau gak pernah kepikiran rasanya jadi seperti sesuatu yang direncanakan. Ada kalanya dalam hidup ada tikungan-tikungan takdir yang gak bisa lu hindari. Sebenarnya gua gak ingin dibuat-buat, natural saja.

Ada kalanya saat lu terlibat terlalu dalam, lu gak bisa objektif lagi. Tapi gua gak bilang lu turun ke jalan itu salah. Tapi kadang-kadang, ada posisi tertentu yang memungkinkan lu mengobservasi dengan lebih. Intinya gua gak ingin dibuat-buat aktivisme. Jadi kalau memang gak ada panggilan untuk itu ya gak apa-apa tapi kalau ada ya bagus! Gak semua orang bisa jadi aktivis kan?

Kalau disebut lagu gua merupakan kritik sosial, seperti lagu Kafir, sebenarnya gua ngomongin diri sendiri karena gua minoritas. Apakah gua mengkritik keadaan? Nggak juga. Gua cuma nulis apa yang gua alami.

Bagaiana tanggapan soal Senartogok dan Efek Rumah Kaca yang bisa dibilang termasuk musisi-musisi yang terlibat dalam gerakan?

Senartogok adalah man of idea. Itu penting. Dia juga tahu persis apa yang ingin dia sampaikan. Kalau perkara estetika itu soal selera. Kadang dia juga fals kok saat main gitar dan saat nyanyi. Tapi itu jadi terampuni karena gua ngerti dengan apa yang lu bicarakan dan itu (lagu) relevan dengan gua.

Kalau Efek Rumah Kaca, gua bilang itu band tahan banting. Mereka bisa melewati fase-fase yang sulit seperti Adrian Yunan sakit pun saat Cholil cabut ke Amerika Serikat. Mereka band yang cepat adaptasi dan bisa menyiasati keadaan. Keren dan langgeng sih kalau mereka.

Bagaimana soal musisi yang masuk ke politik praktis seperti Ahmad Dhani atau Pasha ‘Ungu’? Terutama Ahmad Dhani kan kalau dulu boleh dibilang dia jenius dalam bermusik, tapi sekarang sudah berubah jauh.

Gua gak tau niat mereka jadi gua gak bisa hakimi niatnya. Tapi kalau Ahmad Dhani itu gua bilang fucking shit! Apa gunanya?! Buat tentram kagak, damai kagak, mencerahkan kagak, apa gunanya? Mungkin ada momen-momen tertentu dia punya ambisi lain. Tapi yang jelas saat dia seperti sekarang, karya dia jelek kan? Maksud gua, dulu Dewa 19 dengan albumnya Pandawa Lima dan album lainnya, buat gua itu satu album masterpiece semua. Gua gak mengerti apakah ada hubungannya dengan apa yang dia lakukan sekarang.

Pasha juga, gua pribadi meragukan kompetensi dia. Yang jelas, kalau gua jadi warga dia, gua gak menaruh harapan di dia.

Dengan adanya fenomena bunuh diri akhir-akhir ini di kalangan musisi seperti Chester Bennington dan Chris Cornell. Apa tanggapan lu?

Dulu gua punya pemain bola idola namanya Eric Cantona dan saat dia pensiun gua sedih luar biasa. Sejak itu gua janji ke diri sendiri untuk tidak terikat dengan orang lain Kalau bisa se-loose mungkin tapi tetap respect. Kadang kalau terlalu emosional bisa jadi bahaya apalagi berkarya dalam kondisi emosional.

Jadi lu menghindar untuk berkarya dalam keadaan emosional?

Harus ada jarak. Misalnya begini: teman baik lu meninggal terus lu sedih dan berkarya atas itu. Boleh aja gak masalah. Tapi gua akan memilih diam dulu untuk mencerna lalu keluar dengan sesuatu. Jadi harus ada jarak emosional atau jarak estetika biar lebih yang gua buat lebih clear.

Melenceng sedikit dari musik. Waktu kuliah ambil jurusan apa dan di mana?

Psikologi di Universitas Atmajaya.

Kenapa ambil Psikologi?

Karena tetangga, yang juga temen dekat gua, ambil itu juga. Terus dia punya motor sementara gua gak punya dan gak bisa bawa motor. Dan gua pikir buat ambil psikologi aja biar bisa nebeng sobat gua ke kampus bareng.

Bagaimana seorang Jeje sebagai mahasiswa pada masanya?

Payah sih, gak ngapa-ngapain dalam segala sesuatu yang berbau non-akademik. Pokoknya gua cuma tahu orang tua ingin nilai kuliah bagus. Tapi kan kita tahu kuliah gak sekedar nilai? Banyak hal lain, dan hal lain ini gua gak ngerti.

Penting gak sih kuliah menurut lu?

Gua pikir kalau lu punya skill yang berguna buat kehidupan lu, ya gak perlu kuliah. Kecuali lu punya cita-cita tertentu yang memerlukan gelar. Tapi gua pikir kuliah bukan juga suatu keharusan. Tapi kalau lu gak kuliah, mau ngapain? Bikin kaos oke, dagang bakso juga oke.Tapi memang kala kuliahnya betul ya bisa dapat banyak hal. Mungkin bertemu dosen yang mengajari lu cara berpikir, membuat lu kritis, dan sebagainya. Tapi orang seperti itu pun tidak sebatas lu temui di kampus. Di tongkrongan pun bisa.

Di seluruh dunia, khususnya di Indonesia dengan mahasiswanya, pemuda identik dengan simbol perlawanan terhadap penguasa kan? Lu pernah merasakan gak gerakan-gerakan mahasiswa seperti itu?

Kagak sih.Tahun 1998 gua masih SMP. Gua kuliah angkatan 2002. Pas 1998 itu misalnya, ya gua senang aja soalnya sekolah libur. Pas zaman gua di Atmajaya gak ada mahasiswa yang begitu vokal. Rasanya adem-adem aja, kehidupan berjalan dengan santai-santai aja, relatif tenang.

Tapi memang pas 1998 itu ada perasaan mencekam tapi ya gua tahunya cuma libur. Rumah gua di Tangerang dan saat pulang sekolah pun gua gak merasakan keadaan yang gawat banget. Tapi beberapa waktu kemudian memang ada kerusuhan, supermarket dijarah, pembakaran juga. Yang jarah juga teman-teman sendiri, seperti tukang ojek. Terus orang-orang menjarah apapun yang bisa mereka dapat. Ada yang dapat spaghetti, nah terus setelah dimasak kok rasanya hambar. Jadi gua rasa orang-orang pun gak tahu yang mereka lakukan saat itu.

Selama lu hidup, apa momen paling aneh atau paling ganjil yang terjadi di Indonesia?

Lu tahu Pollycarpus? Dia teman bokap gua satu kantor. Terus gua lihat di rumahnya di Pamulang sekitar tahun 2004 itu, ada tulisan: “Pembunuh” pakai piloks. Gua rasa itu ngeri sekali. Kalau sekarang sih makin banyak yang pasti.

Terus tragedi WTC juga, gua pikir mengejutkan juga. Waktu itu belum ada konsep teroris di kepala gua. Dan saat itu gua pikir teroris-teroris itu masih jauh di Amerika Serikat sana dengan Osama Bin Laden-nya. Terus suatu hari gua lewat daerah Cirendeu dekat rumah, gua lihat tulisan di tembok: “Osama Bin Laden Yes!”. Semakin ke sini semakin kacau karena mungkin lu semakin tahu dan mata semakin terbuka. Kalau masih kecil gitu kan lu gak tahu apapun, dunia masih baik-baik saja.

Kalau suatu hari lu mengadakan konser tunggal, siapa yang ingin lu jadikan sebagai opening act?

Kadang gua (berbisik) gak pengen-pengen banget. Merasa malu atau rendah diri karena saat lu bikin konser tunggal pasti ada sesuatu yang lu tawarkan kan? Kadang gua merasa tidak sebegitunya. Gua lebih suka saat gua punya sesuatu, kalau lu mau ya syukur kalau nggak ya gak masalah dan semoga hidup gua baik-baik saja. Tapi kalau harus memilih gua akan pilih band That’s Rockafeller yang jadi alasan gua ngeband.

Kalau dibalik, lu akan memilih jadi opening act-nya siapa?

Jimi Hendrix (tertawa). Gua pertama kali manggung bawain lagu dia sama band gua di acara agustusan.

Dulu pertama dengar Jimi Hendrix dari siapa? Kan belum ada internet tuh, arus informasi belum sekencang sekarang .Atau denger siapa lagi pas zaman dulu?

Dari tante dan nyokap. Nyokap gua koleksi cd sama kasetnya. Gua suka Johnny Winter dan John Mayall sih.The best mereka mah. Yang lain sih standar seperti Radiohead, Beatles, Led Zeppelin.

Soal internet, apa sih bedanya sebelum dan setelah ada internet ini?

Jelas tataran informasi sebelum ada internet lebih terbatas. Hoax pun asalnya dari internet semua. Internet juga membetuk lifestyle seperti merubah keseharian seseorang.Sekarang orang bangun tidur langsung cek handphone. Dulu diri lu adalah diri lu. Sekarang diri lu di kehidupan nyata dan di dunia maya belum tentu sama. Dan sekarang terlalu banyak informasi sehingga lu justru gak dapat apapun. Kalau dulu orang seperti Soekarno atau Tan Malaka bicara lu pasti minder. Tapi sekarang dengan informasi yang semakin mudah sepertinya gak ada tuh yang bisa menyaingi mereka. Mungkin prinsipnya orang akan lebih melejit dengan kondisi terbatas ya? Ketika segala sesuatu jadi berlebihan lu malah tidak bergeliat. Mungkin gara-gara itu juga Israel jadi ok banget. Ini pandangan objektif gua. Ok dalam arti mereka punya banyak hambatan, musuh banyak, yang membuat mereka berpikir untuk tidak santai-santai doang. Mereka harus berpikir bagaimana caranya mengakali keadaan. Hambatan-hambatan itu yang membuat lu melejit.

Atau mungkin karena internet juga, misalnya gua mau belajar filsafat gua baca dari Wikipedia aja. Kulitnya aja yang gue dapat atau bahkan kulitnya pun gak sampai.

Dan mungkin sumber yang lu baca pun gak kredibel juga. Jadi lu gak baca lu gak ada isinya tapi saat lu baca lu salah mengisi, misinformasi. Sekarang kondisinya lebih kompleks. Dulu lu mau nulis buku lu gak boleh sembarangan. Kalau sekarang lu mau buat buku bisa tinggal cari di internet terus lu fotokopi deh. Isinya ya gak tahu. Dan dulu hambatan eksternal besar sekali sehingga dia (penulis buku) mesti menyiasati itu agar bisa melejit. Peradaban sepertinya makin hari makin mundur bukannya maju. Dulu orang buat candi bisa awet sampai sekarang. Nah sekarang ITB ngebangun gedung tiangnya roboh. Orang mana mau tahu itu korupsi atau apa. Reputasinya kan semua orang pintar ada di ITB. Orang awam seperti gua ya kagetlah! Tapi sampai sekarang menurut gua ITB masih keren kok. Gua kenal banyak orang asyik dari ITB.

Kalau bicara internet lagi, belakangan ada fenomena keyboar warrior dimana orang sudah merasa melakukan sesuatu dengan menyukai sebuah kiriman (posting-an).

Karena mungkin teknologi berkembang, zaman berubah, cara-cara perjuangan pun menyesuaikan diri. Itu kan gunanya memunculkan awareness. Tiap orang berjuang dengan caranya masing-masing. Yang gua pahami misalnya si A aktivis sosial media dan si B aktivis jalanan. Kata si A ke B, “Lu ngapain di jalan? Orang-orang gak tau lu ngapain.” Terus si B jawab, “Lu di sosmed doang!”. Malah jadi berantem kan aneh. Kebaikan ada beberapa bentuk dan manifestasinya pun beda-beda baik itu diskusi atau turun ke jalan ya sama-sama penting. Ternyata perang bukan cuma di dunia nyata doang tapi juga di dunia maya. Dan yang terjadi di dunia maya bisa sangat mempengaruhi dunia nyata.

Nah, si keyboard warrior ini pun sering juga menghakimi apa yang terjadi di sekitar mereka dan membawanya ke dunia maya dengan pembelaan standar moral masing-masing. Bagaimana menurut lu? Apakah seorang Jason Ranti seorang moralis?

Gua gak tau secara definitif apa itu moral, moralitas, moralis. Tapi yang gua pelajari, lu gak butuh agama untuk tahu mana yang baik dan benar. Gua gak perlu agama untuk tahu kalau membunuh itu salah.Gua gak butuh iming-iming surga untuk menolong orang miskin yang kelaparan.

Berarti lu percaya kalau manusia itu baik secara naluriah?

Justru gua pikir manusia cenderung jahat. Orang baik akan selalu ada tapi orang jahat pun terlalu banyak. Ada orang bilang yang namanya “suara hati”, kalau gua mengartikannya suara tuhan. Malah agama bisa menjauhkan lu dari nilai-nilai kemanusiaan. Gua gak menyakiti lu karena gua takut berdosa dan akan masuk neraka, tapi sesederhana gua gak enak hati aja. Tapi lagi-lagi bicara moral gua gak tahu.

Kalau boleh tahu, apa yang lagi dikerjakan sekarang?

Ada project bareng Senartogok. Terus ada lagi project sendiri, tapi buat yang ini gua belum bisa bilang banyak. Misalnya gua bilang ini itu terus ternyata gagal nanti (tertawa).

--

--