Bagaimana Klaster Perkantoran Terbentuk?

Fulca Veda
Jabar Digital Service
3 min readAug 6, 2020
Karyawan melakukan aktivitas di pusat perkantoran Jakarta, (8/6/2020). Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja

Meski pandemi belum mereda, banyak bidang pekerjaan mengharuskan karyawannya untuk kembali bekerja di kantor. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyatakan bahwa roda perekonomian harus berjalan, sehingga dunia kerja tidak bisa selamanya dibatasi.

Pada aturan yang dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/328/2020, dikatakan, bahwa perkantoran diperbolehkan beroperasi dan beraktivitas kembali selama pandemi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Sementara itu, mengutip Media Indonesia, disebutkan munculnya istilah klaster perkantoran mencuat pada masa relaksasi setelah ditemukan adanya kasus di sejumlah perkantoran dan kawasan industri. Meski begitu, hal ini dibantah oleh Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan SDM Kesehatan, dr. Mariya Mubarika

Memahami istilah klaster

WHO sendiri menggambarkan pola penularan dengan kategori kasus sporadis, kasus kelompok (klaster), dan transmisi komunitas.

Kasus sporadis diartikan sebagai sebagian kecil kasus yang terdeteksi secara lokal. Kasus klaster mengacu pada penularan yang terkonsentrasi di daerah yang sama pada saat yang sama. Sedangkan transmisi komunitas diartikan sebagai penyebaran yang lebih besar dari transmisi lokal dan dengan pendekatan yang berbeda.

Protokol kesehatan dijalankan di wilayah perkantoran. Sumber: VulcanPost SG

Dr. Mariya Mubarika menolak mengatakan bahwa data kantor-kantor yang muncul pada beberapa waktu lalu adalah klaster baru COVID-19. Dalam keterangannya, Ia mengatakan, jika sektor perkantoran benar-benar menjalani protokol kesehatan, maka penularan bisa jadi terjadi di luar kantor. Beberapa kasus yang terindikasi terinfeksi dari data yang disebutkan sebelumnya, diketahui belum pernah mendatangi kantor (atau bekerja di rumah-WFH), sehingga sangat dimungkinkan penularan terjadi ketika salah seorang karyawan berada di ruang publik ataupun transportasi umum.

Jika benar terjadi penularan di perkantoran, bisa jadi, memang ada protokol kesehatan yang dilanggar. Sehingga, mengurangi kontak erat dengan penderita, penting untuk dilakukan. ⁣

Mewaspadai kemungkinan terbentuknya klaster perkantoran

WHO telah menyatakan bahwa transmisi COVID-19 dapat terjadi melalui udara. Bila penularan COVID-19 melalui percikan ludah (droplet) seperti tetesan kecil air liur atau cairan dari hidung membutuhkan kontak langsung antara penderita dengan orang lain, transmisi airborne dinilai lebih berbahaya karena tidak membutuhkan kontak fisik dengan penderita.

Jika penderita berada dalam suatu kawasan perkantoran dengan area padat manusia dan ventilasi ruangan yang buruk, virus akan mudah terbawa melalui hembusan napasnya.

Indeks Risiko COVID-19. Sumber: COVID RECoVERY Consulting

Indeks risiko COVID-19 yang dikeluarkan oleh COVID RECoVery Consulting menyatakan bahwa risiko penularan bekerja di kantor di tengah pandemi pun termasuk moderat-tinggi. Dikatakan berisiko karena berlokasi di dalam ruangan (indoor), kemungkinan menyentuh permukaan benda tinggi, hingga potensi berkerumun dan kontak jarak dekat dengan rekan kerja.

Mengutip Kompas, protokol Ventilasi-Durasi-Jarak (VDJ) yang dikenalkan dalam kanal diskusi pandemictalk di Instagram, dikatakan pentingnya perkantoran dalam mengadaptasi protokol kesehatan ini.

Menurut laporan ilmiah, udara di ruangan tertutup dan ber-AC ternyata mempertinggi risiko penyebaran COVID-19. Ventilasi membantu resirkulasi, sehingga akan mampu mendispersi virus di ruangan tertutup.

Virus yang keluar dari mulut ataupun hidung ketika berbicara, bernafas, batuk ataupun bersin berisiko menularkan seiring dengan lamanya (durasi) interaksi antar sesama. Inilah mengapa, masker menjadi hal yang sangat penting untuk diterapkan di lingkungan perkantoran.

Menghindari kerumunan dan menerapkan jaga jarak sejauh 1 hingga 2 meter penting untuk memperlambat penyebaran virus. Bila semua protokol kesehatan ini diterapkan, potensi penularan bisa diminimalisir dan aktivitas perkantoran bisa tetap beroperasi.

Jika terdapat klaster perkantoran, lakukanlah langkah-langkah strategis seperti menerapkan 3T (Tracking, Tracing, Testing). Hal inilah yang menjadi fokus Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat saat ini. Aggressive testing, dilakukan dibanyak tempat untuk mengetahui keterpaparan kasus khususnya di unit perkantoran pemerintahan. Mengurangi intensitas tatap muka dan menggalakkan WFH turut menjadi kunci tetap produktifnya sektor-sektor perkantoran. Dukungan bagi rekan kerja yang terpapar pun perlu terus diberikan agar semua bisa pulih kembali.

--

--