Bukan Kurir Paket Biasa, Ini Cara Project Officer JDS Sampaikan Produk Digital di Jabar

Fulca Veda
Jabar Digital Service
8 min readOct 7, 2021

Mengantarkan produk digital inovasi Jabar Digital Service (JDS) untuk penerima manfaat di Jawa Barat, tak semudah antarkan paket kilat sekali jalan. Tidak main-main, 10 Project Officer JDS diminta untuk antarkan kemudahan teknologi buat 50 juta pengguna di Jawa Barat — yang prosesnya membutuhkan waktu bertahun-tahun implementasi. Paket digital ini adalah program unggulan Gubernur Ridwan Kamil bernilai besar & impactfull dengan misi persempit kesenjangan digital di Jawa Barat! Keren, ‘kan?

Meski jumlah punggawa yang harus membawa misi ini tak sebanding dengan total sasaran di Jawa Barat, penulis berkesempatan ngobrol bareng beberapa Project Officer JDS untuk tahu kiat-kiat berkomunikasi ala ‘kurir paket plat merah’ yang membuat proses delivery produk digital di Jabar jadi lebih cepat dan sangat mungkin dilakukan.

Ada 3 Project Officer panutan JDS, nih! Boleh kenalan, dong!

Rizi: Halo, aku Rizi, Project Officer JDS yang sedang pegang proyek Desa Digital dan Pikobar Pelaporan bareng Jimy.

Jimi: Aku Jimy, sekarang lagi handle project Pikobar, mainly. Ada Pikobar Health System, Treatment Support, BOR Dashboard, dan Jabar Coding Camp bareng Mbak Mega.

Mega: Ya, aku Mega! Aku sekarang pegang proyek Miliaran Rupiah, haha… Bercanda, sekarang aku pegang 3 proyek juga. Ada Sapawarga, Portal Jabar, dan Jabar Coding Camp.

Sebenarnya Project Officer dari institusi ‘plat merah’ itu kerjanya apa?

Salah satu mitra Program Desa Digital, Habibie Garden, menggunakan teknologi dan aplikasi untuk optimasi pertanian di desa-desa Jabar. (Sumber: JDS)

Rizi: Aku cerita, ya. Jadi PO tuh kerjanya dari awal dan akhir. Jadi kalau project ‘kan scoopnya besar; ada manajemen produk, data, konten, dan proyek. Di awal inisiasi product, PO JDS biasanya handle partnership dimana kita bermitra dengan pihak internal dan eksternal.

Di lingkup internal, kita buat trust dan kerjasama dengan stakeholder terkait untuk developed suatu produk, misinya untuk transformasikan tata kelola pemerintahan lewat teknologi.

Selanjutnya, baru deh kita konsolidasi dengan teman-teman developer dimana kebutuhan teknis terkait produk, aplikasi, dasbor, dan sebagainya akan dikelola oleh Product Manager. Di akhir, kita berperan lagi untuk sampaikan produk digitalnya ke end-user.

Berarti Project Officer (PO) JDS dituntut bisa “jual” produk digital ke atas dan bawah, ya? Tapi, apa tujuannya?

EFishery, salah satu mitra Program Desa Digital yang menggunakan kemudahan teknologi untuk bidang perikanan di Jabar. (Sumber: JDS)

Mega: Ya, kalau di perusahaan lain PO lebih ke business oriented, how to gain profit. Kalau di JDS orientasi kita ga pernah kesana, tapi lebih ke gimana project ini kemudian bisa ngasih impact secara luas untuk well being-nya masyarakat. Sasaran transformasi kami bukan hanya masyarakat umum, tapi stakeholder di Jabar, biar tata kelola pemerintahan dan layanan publik bisa lebih prima lewat teknologi.

Rizi: Unik sebenarnya pekerjaan kita. Kita dititipi proyek unggulan di Jabar yang nilainya bukan main, dan ini institusi plat merah yang mana kita bisa kasih lebih banyak pengaruh. Bukan profit yang kita cari, tapi membawa benefit untuk orang lain.

Jimi: Kalau dari perspektif saya, nih. JDS bisa “jual” produk digital dari atas ke bawah dengan lebih cepat. Berbeda dengan environment di start up yang sama-sama driven by innovation tapi belum tentu bisa implementasikan project sesuai di lapangan, kita punya positioning selaku bagian dari pemerintahan untuk lebih dituntut meyakinkan publik pakai produk kita untuk tingkatkan taraf hidup masyarakat.

Environment di start up sama-sama driven by innovation, tapi belum tentu bisa implementasikan project sesuai di lapangan. Kita punya ‘positioning’ selaku bagian dari pemerintahan, dituntut bisa yakinkan pakai produk digital untuk tingkatkan taraf hidup masyarakat.

— Jimy Gunawan, Project Officer JDS.

Sesulit apa deliver project di Jabar, sementara PO JDS hanya 10 orang?

Rizi: Idealnya ya, lebih banyak Project Officer, delivery bisa lebih cepat, ya? Sekarang, memang disesuaikan dengan kemampuan SDM dan anggaran kita. Karena ketika berbicara soal delivery project, itu ga segampang teriak “Paket!”.

Biondi Sima, Ex-Koordinator Implementasi JDS yang membawahi Project Officer di Jabar Digital Service menerima kunjungan tamu di Ruang Commander, Jabar Command Center. (Photo: JDS/Fakhri)

Ada tembok-tembok birokrasi multistakeholder yang harus didobrak untuk tujuan transformasi. Sekali kita berkoordinasi, itu bisa berhubungan dengan puluhan pemangku kepentingan & pengambil kebijakan yang harus 1 mindset sama kita. Menggiring pemikiran itu teh butuh waktu, butuh kita bikin hubungan supaya ada engagement. Gak jarang pertama kali kick off meeting ada persepsi “Ih, JDS mah budak leutik, udah weh pakai manual ulah teknologi,” (JDS masih seperti anak kecil, sudah pakai manual saja tak perlu teknologi, red). Tapi setelah kita banyak diskusi dengan sasaran, akhirnya kita bisa menyesuaikan.

Delivery project tak segampang teriak “Paketttttttt!”

Ada tembok birokrasi multistakeholder yang harus didobrak untuk tujuan transformasi. Sekali berkoordinasi, bisa berhubungan dengan puluhan pemangku kepentingan yang harus 1 mindset sama kita.

— Rizi Advista, Project Officer JDS.

Jimi: Setuju, cukup sulit. Tapi kita selalu optimis bisa permudah masyarakat gunakan teknologi, makanya di awal kita ada project charter semacam proposal yang mendetailkan siapa saja orang yang terlibat, bagaimana kita strategi komunikasinya, tahapan, dan instrumen apa yang bisa digunakan. Itu mau tidak mau membutuhkan waktu dan harus ditekuni oleh PO dan squad yang terlibat.

Mega: Betul, delivery product dengan hanya 10 orang harus menyasar 50 juta orang, sulit, tapi bukan tidak mungkin. Project yang didelivered juga tidak bisa serta merta sempurna. Setiap project yang diantarkan bisa terus dioptimalkan, diupgrade. Kita juga concern dengan project life cycle-nya.

Project Officer JDS ketika memperkenalkan aplikasi Pikobar kepada relawan kesehatan secara virtual. (Photo: JDS/Fakhri)

Rizi: Ya, project di Jabar ga bakal beres-beres. Project bisa berlanjut, bisa juga datang project yang baru. Siapa tahu nanti ada Pikobar versi Ramadhan! (tertawa)

Mega: Haha iya! Masalah di masyarakat ‘kan dinamis, ya? Tinggal gimana kita pintar untuk sesuaikan kebutuhan masyarakat dengan pengembangan produk di JDS.

Bagaimana cara PO JDS komunikasikan kebermanfaatan produk ke masyarakat?

Program-program unggulan di Jawa Barat untuk transformasi digital menyasar beragam level masyarakat, termasuk lansia dan penyandang netra. (Photo: JDS/Fakhri)

Rizi: Secara teknis, kita harus tahu Wargi Jabar itu beragam. Beda sasaran, beda strategi komunikasi. Project Officer harus jago problem solving, jadi memang kita bekerja dengan bahasa masyarakat. Lakukan demonya, pendekatan dengan success story, ceritakan specs product-nya. Memaksa, dalam tanda kutip, untuk membuat warga yang sudah nyaman sebelum hadirnya teknologi itu sulit, makanya bangun engagement di awal itu penting banget. Kita juga dibantu teman-teman UX Researcher untuk tahu karakter target usernya. Kalau user kita berusia 50 tahun, kita harus bisa protoyping seperti pengguna lanjut usia.

Memaksa, dalam tanda kutip, untuk membuat warga yang sudah nyaman sebelum hadirnya teknologi, itu sulit. Bangun engagement di awal penting banget! Dibantu UX Researcher di JDS, kita jadi tahu karakter user. Kalau user berusia 50 tahun, kita harus bisa protoyping layaknya pengguna lanjut usia.

Rizi Advista, Project Officer JDS.

Mega: Setuju, strategi komunikasi harus kuat. Kalau aku sering ngobrol ke Jimi, PO itu udah kayak sales. Jual produk harus relevan sama pengguna. Misalnya gadget ini ada fitur kameranya, sekian mega pixel. Pengguna lansia mungkin gak paham sekian mega pixel itu gunanya apa. Kebanyakan sasaran kita bukan tech savvy.

Disrupsi buat sasaran kita ga hanya mau menggunakan, tapi bisa ahli untuk manfaatkan teknologi. Itu butuh waktu, ga cukup 1–2 tahun, mungkin bertahun-tahun. Pun dengan target stakeholder atau OPD terkait, meskipun mereka sudah punya sebuah solusi, kita tawarkan digitalisasi supaya solusi yang diproduksi jadi jauh lebih cepat & akurat.

Apakah ‘political will’ cukup bantu PO JDS untuk antarkan produk digital ke masyarakat?

Mega: Rizi, nih jagonya soal politik di Jabar!

Jimi: Iya, nih. Calon Gubernur! (Tertawa)

Rizi: Haha, ngaco! Ya, keberpihakan pimpinan itu ibarat SIM buat pengendara transportasi. Sebelum ada regulasi, strategi komunikasi, support pimpinan itu nomor 1. Keberpihakan itu bisa dilihat dari, mungkin realisasi kampanye di program unggulan, dan tentunya, itu bisa dipantau oleh tim monitoring.

Nah, Project Officer JDS itu ga bisa asal kerja, asal delivered produk digital tanpa fabrikasi & standarisasi. Kita diawasi ketat, lho, ada pertanggung jawaban ke inspektorat, ke struktural. Hal ini, ga bakal berjalan kalau ga ada political will, gitu.

Tenaga kesehatan di Jabar menggunakan teknologi sebagai salah satu bentuk respon yang diinisiasi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat untuk percepat penanganan pandemi. (Photo: JDS/Fakhri)

Jimi: Setuju, ibaratnya, PO JDS itu harus bisa menerjemahkan rencana-rencana kepala daerah itu lewat project-project strategis. Ketika iterasi project kita dirancang, itu harus sesuai dengan rencana tersebut, tidak bisa melenceng, meskipun semenjak pandemi akhirnya kita bisa belajar dan agile, ya. Semua sangat dinamis, menyesuaikan dengan kondisi di lapangan.

Mega: Ya, Penting untuk beri kebermanfaatan bagi orang lain bukan dengan materi, tapi dengan kekuasaan. Ketika pemegang kuasa sudah memberikan kuasa/setuju atas sebuah proyek yang ada manfaatnya buat masyarakat, akan lebih mudah jalannya untuk dikerjakan oleh bawahannya.

Semesta mendukung, gitu. Tapi kalau dari awal tidak ada keberpihakan dari pimpinan, jelas akan sulit. Sekarang kita sangat dimudahkan dengan inisiasi pimpinan yang memang menggaungkan teknologi untuk kebermanfaatan orang banyak, jadi lebih optimis untuk proyek ini bisa berhasil.

Penting untuk beri kebermanfaatan bagi orang lain bukan dengan materi, tapi dengan kekuasaan. Ketika pemegang kuasa sudah memberikan kuasa atau setuju atas sebuah proyek yang ada manfaatnya buat masyarakat, akan lebih mudah jalannya untuk dikerjakan oleh bawahannya.

— Mega, Project Officer JDS.

Kalau diibaratkan kurir paket, project delivery PO JDS termasuk jenis paket kargo atau ekspedisi, ya?

Project Officer JDS ketika melakukan implementasi proyek Desa Digital di Kec. Cisarua, Kab. Bandung Barat. (Photo: JDS/Fakhri)

Mega: Kalau diibaratkan jenis paket, project delivery PO JDS bisa masuk ke paket kargo ataupun ekspedisi. Menurutku PO JDS harus bisa handle proyek di jenis delivery apapun; pengiriman produk dan sasaran yang besar ataupun kecil, menggunakan ragam strategi komunikasi, dan waktu pengiriman yang variatif. Karena untuk berhubungan dengan end-user di jenis paket ekspedisi kita ga bisa jadi kurir paket kargo. Mau tidak mau, kita harus menyesuaikan user. Seorang Project Officer harus bisa menjadi manusia adaptif juga!

Kalau diibaratkan jenis paket, project delivery PO JDS bisa masuk ke paket kargo ataupun ekspedisi, harus bisa handle proyek di jenis delivery apapun. Mau tidak mau, kita harus menyesuaikan user.

— Mega, Project Officer JDS.

Rizi: Setuju, strategi komunikasi dan negosiasi bisa beragam; bisa formal, bisa informal, menyesuaikan kebutuhan. Menambahkan, enggak cuma komunikasi, tapi sebenarnya PO JDS harus punya 4 faktor; strength dan problem solver untuk keluar dari masalah; agility, ketangkasan dan kelincahan di lapangan; intelligence, pengetahuan untuk bisa keluar dari kondisi tertentu; spirit, semangat untuk bisa deliver proyek yang beragam di kondisi yang variatif.

Jimi: Ya, selain harus adaptif dengan pengguna, kita harus melihat partner sebagai kolaborator. Lihat apa manfaatnya buat mereka, enggak cuma manfaat buat kita. Ketika itu bisa dibangun, sisi komunikasi dan trust mulai terbentuk, project life cycle bisa berlanjut.

Terakhir, harus resilience dari sisi emosional untuk tangani project, tidak lengah kalau di tengah-tengah ada kendala. Perlu refleksi, lihat metode yang dipakai, banyak iterasi, agility secara spontan untuk memutuskan & menempatkan keputusan yang bermanfaat untuk kedua belah pihak.

--

--