Front End Developer JDS: Tak Sekedar Teknis, Rancang UI dengan Empati

Fulca Veda
Jabar Digital Service
6 min readSep 13, 2021
Tim Front End Developer JDS ketika melakukan design sprint di Ruang Mini Theater Jabar Command Center. (Photo: JDS/Yoga H.)

Sobat JDS, tahu tidak? Unit pemerintahan yang bergerak untuk akselerasikan transformasi digital di Jabar, alias JDS — punya satu tim khusus yang secara kreatif bisa membuat tampilan antarmuka setiap produk digital JDS jadi lebih menarik!

Front End Developer, adalah orang-orangnya! Tim yang beranggotakan 9 orang ini berbagi cerita dalam mendesain berbagai user interface aplikasi dan website di JDS, yang tentunya, punya tantangan dan impact berbeda dibandingkan dengan Front End Developer di lapak lainnya!

Penasaran? Baca obrolan ringan penulis dengan rekan-rekan Front End Developer JDS, di sini!

Halo, akhirnya kita ngobrol sama Tim Front End JDS, nih! Siapa saja sih punggawa-punggawa Front End Developer JDS?

Adrian: Halo! Front End Developer di JDS ada 9 orang, termasuk saya: 2 orang Senior Front End Developer dan 7 orang Junior Front End Developer. Sekarang tim kita lagi sibuk di 3 proyek besar, lho! Ada Integrated Portal Jabar (IPJ), Pikobar Ecosystem, dan Jabar Design System. Proyek lainnya mengikuti, sih…

Wah, jelang akhir tahun sibuk juga! Boleh tahu enggak, sebenarnya, apa sih tugas utama seorang Front End Developer?

Adrian: Boleh, dong! Tugas Front End di JDS sebenarnya cukup spesifik, ya. Kami merancang spesifikasi teknis user interface untuk aplikasi/software yang akan digunakan oleh end user. Dibalik itu, kami melakukan dokumentasi aset desain, pengkodingan, code review, riset, dan memastikan pengguna dapat dengan mudah menggunakan ragam produk digital JDS.

Front End bekerja dengan semua role di IT Dev: dengan Back End Engineer kita bicara soal manajemen data dan user-nya; dengan Dev Ops/SRE kita bicarakan bagaimana manajemn sebuah aplikasi hingga dirilis; dengan QA Analyst, kita testing ragam interface design dari aplikasi untuk di-deploy; pokoknya banyak role yang bersinggungan dengan pengembangan user interface kita, enggak terkecuali dengan UI Designer.

Kabarnya Tim Front End JDS unik, ya? Apa sih yang membuat Front End (FE) Developer JDS berbeda dengan FE di tempat lainnya?

Ida Wedagama: Secara teknis rasanya sama, sih. Tapi memang yang membedakan, kalau di JDS kita punya keinginan besar buat developed design system sendiri, ya. Design System ini nantinya bisa dipakai buat teman-teman OPD dan developer lainnya untuk desain interface yang punya khas tertentu dan secara teknis mempercepat proses developing interface produk mereka.

Code review yang dilakukan oleh Tim Front End Developer JDS. (Photo: JDS/Yoga H.)

Adrian: Betul! Technically, Front End Developer di tempat lain bisa saja menggunakan teknologi yang sama. Tapi, spesialisasinya berbeda. Di tempat lain, Front End harus paham bahkan fokus pada, tak hanya teknis perancangan antarmuka aplikasi, tapi juga membuat desain interfacenya.

Berbeda dengan di JDS, Front End Developer di sini lebih mengejar idealis teknisnya. Sementara teman-teman UI Designer-lah yang punya andil untuk mendesain interface-nya. Kami saling melengkapi antar role, tujuannya sama, untuk mendesain aplikasi yang ramah pengguna.

Jadi, apakah teman-teman Front End di JDS tidak dituntut untuk punya ‘skills’ desain yang mumpuni?

Ida Wedagama: Saya pribadi sebagai Front End di JDS tidak dituntut untuk punya kemampuan desain yang kuat, tapi mengetahui sisi estetika sebuah desain produk adalah poin bagus. Tetap, secara teknis, kita wajib tahu apa yang akan kita implementasikan, sudah cukup delivered ke user atau belum.

Adrian: Jelasnya, desain yang statis ataupun dinamis setelah diulik secara teknis adalah ranah kami. Front End Developer JDS dituntut untuk bisa lebih mengedepankan sisi empathetic ke pengguna produk. Apalagi, produk yang kita rancang memang ditujukan buat Wargi Jabar yang beragam. Tampilan antar muka aplikasi harus memudahkan end-user. Sehingga, pada akhirnya kita bisa memberikan judgement; apakah bahasa pemrograman dan framework user interface (UI) ini sudah cukup mengakomodir kebutuhan pengguna atau perlu disempurnakan lagi.

Adakah tantangan dalam merancang UI yang ‘accessible’ untuk Wargi Jabar?

Adrian: Tantangan delivery user interface ini cukup banyak, seperti: bagaimana user bisa mengakses aplikasi di lokasi yang accessibility-nya belum stabil, apakah bisa diakses oleh segmen user tertentu seperti lansia dan penyandang disabilitas, apakah bisa disesuaikan tampilan mukanya dalam keadaan tertentu, dan banyak lagi.

Tantangan proyek tahu bulat (dadakan, red) pun, mau tidak mau, kami harus maklumi. Kami menghadapi kebutuhan untuk delivered sesuatu dengan cepat, jadi tak lagi ambil pusing memikirkan ego atasan. Kami dituntut memikirkan kebutuhan pengguna dalam urgensi waktu tertentu.

Pikobar Oksigen Masyarakat Jabar, salah satu fitur yang dikerjakan oleh Tim Front End Developer JDS untuk kebutuhan emergency. (Sumber: Pikobar)

Misalnya, kami diminta untuk merancang Pikobar OMAT atau Fitur Oksigen saat kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya di Jabar. Tentu, kami tak Asal Bapak Senang!

“Kami berkompromi, antara: kita mengikuti best practice secara teknologi, namun akan memakan waktu; atau tetap delivered tepat waktu dengan perbaikan yang sebelumnya terlewatkan di kemudian hari.“ Adrian, S.T, Senior Front End Developer JDS.

Nah, sayangnya, inilah PR kami. Tidak jarang, sulit bagi tim untuk membuat ragam code based yang ideal, mengingat proyek digitalisasi yang dinamis di lingkungan Pemprov Jabar.

Yoslie: Betul, pembangunan proyeknya sendiri kadang sudah rilis, namun ada integrasi dengan aplikasi lainnya, atau penambahan fitur di aplikasi tertentu. Mobilitasnya tinggi, kami harus menyesuaikan dengan rancangan desain aplikasi lainnya.

Adrian: Ya, disamping urgensinya, delivered interface aplikasi juga harus lihat kerumitan dari sisi developed-nya. Jadi perlu banyak pertimbangan juga.

Melihat urgensi pengembangan produk yang tinggi, boleh diceritakan, skills apa saja yang harus dimiliki seorang Front End Developer untuk bisa rancang produk digital di JDS?

Front End Developer bersama seluruh Tim IT Dev JDS. (Photo: JDS/Yoga H.)

Yoslie: Basic skills seperti HTML, CSS, Javascript, itu perlu dimiliki. Penggunaan framework masih bisa dipelajari, seiring waktu berkarir di JDS.

Adrian: Secara teknis seperti itu. Tapi selain teknis, karena kita menggunakan metode agile, developer di JDS juga dituntut untuk mengukur seberapa lama sebuah proyek bisa dirancang. Kita diminta untuk memberikan judgement, berdasarkan pengalaman yang kita punya, berapa lama atau berapa besar bobot pengerjaannya, karena itu akan mempengaruhi sprint yang akan berjalan.

“Setuju! Skills untuk berpikir kreatif dan menemukan jawaban untuk pertanyaan ‘what can you do for your product’ — itu bisa memberikan impact dalam mengukur keberhasilan produk-produk digital di JDS.” —Yoslie, S.T, Junior Front End Developer.

Ida Wedagama: Menambahkan. Untuk Front End pemula, dia harus mau belajar dan secara teknis bisa gunakan structure code based yang rapih. Meskipun akan banyak code review dengan peers lainnya.

Adrian: Betul, sekarang telah tersedia berbagai template atau styling User Interface Library di internet. Tapi, belum tentu library ini bisa menjawab kebutuhan user. Jadi tidak melulu harus fokus di hal teknis, tapi tetap harus punya sense of empathy untuk desain interface yang cocok dengan ekspektasi pengguna.

Yoslie: Ya, Sapawarga misalnya. Ekspektasi banyak orang ingin secara teknis desain aplikasi ini dibuat modern. Di sisi lain, karena usernya unik, dalam arti, tidak semua literasi digitalnya sesuai, alhasil kita tetap harus menyesuaikan, dong. Jadi kita usahakan tampilan aplikasi ini familiar dan tetap mudah bagi pengguna.

Boleh tahu, benchmarking Front End Developer untuk build-up produk digital JDS?

Simulasi ‘design sprint’ yang dilakukan Tim Front End Developer JDS. (Photo: JDS/Yoga H.)

Adrian: Macam-macam ya teman-teman di sini referensinya. Saya sendiri banyak melihat best practice dari artikel medium, aplikasi e-commerce kenamaan, juga GDS UK.

Untuk rekrutmen sendiri, adakah karakter yang diharapkan sehingga teman-teman di luar sana bisa join bareng Tim Front End Developer JDS?

Adrian: Ya, sebenarnya skill teknis tidak bisa kita nilai saat rekrutmen, karena itu akan terlihat ketika sudah kerja bareng, ya. Semangat untuk growth yang kita perhitungkan, sih. Hal ini akan terlihat dari isu-isu yang mereka sampaikan ketika menggunakan teknologi tertentu. Passionnya di bidang coding pun akan terlihat dalam proses rekrutmen.

Bangun Bagustapa: Setuju dengan Kang Adrian. Berbagi sedikit, saya pribadi background-nya akuntan. Secara teknis diasumsikan bisa, tapi enggak jago sekali. Waktu untuk belajar di JDS sangat banyak, jadi memang kemauan untuk berkembang yang diperhitungkan oleh rekruter JDS.

Adrian: Betul, teman-teman Front End Developer datang dari latar pendidikan beragam, ada yang Elektro, Teknik Industri, Akuntansi. Asal skills yang diminta memenuhi, semua bisa jadi Front End Developer. Soal teknis bisa dibahas belakangan, karena tantangannya bakal ditemui ketika mengerjakan proyek bareng-bareng. Jadi, kita harap, teman-teman tidak asal bekerja, tapi juga berkarya.

*****

Kalau kamu berminat bergabung bersama Adrian dan rekan-rekan Front End Developer lainnya, kamu bisa daftarkan diri untuk jadi bagian dari DigiTeam JDS. Kunjungi laman Karir JDS: https://digitalservice.jabarprov.go.id/karir/

--

--