Melawan pandemi di era teknologi

Nea Ningtyas
Jabar Digital Service
6 min readApr 1, 2020
Di dalam Ruang Commander, Jabar Command Center, yang selama pandemi COVID-19 ditetapkan sebagai pusat informasi dan koordinasi. Foto oleh: JDS/Mukhammad Fakhri Luthfi

This article is also available in English here

Tahun 2020 baru saja mulai saat seluruh dunia dibuat kewalahan oleh wabah COVID-19 yang mengglobal. Aktivitas sehari-hari menjadi lumpuh karena infeksi novel coronavirus ini menyebar dengan sangat cepat dan untuk menekan laju penularan, pemerintah-pemerintah di dunia mengimbau warganya untuk diam di rumah agar menghindari tertular dan menulari virus.

Imbauan yang disebut “social distancing” (pembatasan sosial, kalau dalam Bahasa Indonesia. Walau belakangan ahli kesehatan masyarakat di WHO berpikir sebaiknya kita sebut imbauan ini sebagai physical distancing/pembatasan fisik saja) ini berarti kita diminta untuk menghindari keramaian dan membatasi interaksi fisik dengan orang lain—karena belum ada orang yang imun kepada strain baru coronavirus ini, semua orang berisiko terinfeksi. Saat kita punya kesadaran kolektif untuk menuruti imbauan ini, kita akan sama-sama “melandaikan kurva” penularan virus.

Grafik diadaptasi dari CDC oleh The Economist. Diproduksi ulang oleh JDS.

Pembatasan sosial ini berarti orang-orang harus menghindari pergi ke tempat umum di mana pasti ada kontak fisik dengan sesama. Pemerintah di berbagai belahan dunia, termasuk Jawa Barat di bawah pemerintahan Gubernur Ridwan Kamil, telah menutup sekolah, membatalkan acara ber-massa besar, serta mengimbau badan pemerintahan dan perusahaan untuk memberlakukan kebijakan kerja dari rumah. Karena adanya teknologi, keberlanjutan aktivitas sehari-hari ini bisa tetap berjalan.

Sebelum COVID-19 mewabah, kita telah menggunakan teknologi untuk beraktivitas secara virtual tanpa atau dengan sedikit kontak fisik saja. Namun, pandemi ini telah mendorong lebih banyak manusia untuk memindahkan aktivitas mereka ke dunia maya karena adanya imbauan untuk diam di rumah. Guru mengajar lewat kelas daring, kita berbelanja kebutuhan lewat aplikasi ponsel, bahkan rapat pemerintahan dan konferensi tingkat tinggi internasional pun dilakukan lewat telekonferensi.

Terima kasih kepada teknologi seperti ruang rapat virtual, aplikasi telekonferensi, platform manajemen proyek daring, e-commerce, serta media penyimpanan dan bagi pakai berbasis cloud, skema ‘kerja-dan-belajar di rumah’ darurat ini akan jadi keseharian yang lumrah buat beberapa waktu ke depan—sampai kita melewati puncak pandemi.

Tentu saja kita tidak bisa melupakan fakta kalau tidak semua orang punya kenyamanan untuk diam di rumah selama pandemi. Banyak profesi yang jasanya belum bisa digantikan oleh teknologi seperti personel keamanan, pengemudi kendaraan umum, dan pedagang makanan. Namun, jika kita yang bisa diam di rumah menuruti imbauan pembatasan sosial, kita bisa bantu kurangi risiko terinfeksi virus untuk para pekerja tersebut.

Yang terpenting, dengan mempraktikkan pembatasan sosial, kita membantu para dokter dan tenaga kesehatan agar tidak kewalahan dalam menangani kasus infeksi COVID-19 di rumah sakit. Beberapa waktu lalu, dokter-dokter di Indonesia berkampanye di media sosial untuk meminta kita tetap berada di rumah agar menghindari kemungkinan menulari atau tertular virus, sehingga mereka dapat dengan optimal merawat pasien terinfeksi.

Banyak dokter juga membuka jasa konsultasi daring gratis (disebut juga telemedicine/telekonsultasi) melalui akun media sosial mereka untuk memberi pesan kepada masyarakat untuk tidak pergi ke rumah sakit bila mereka merasa memiliki gejala ringan yang mirip COVID-19.

Perusahaan startup teknologi di Indonesia pun ikut andil dalam mempromosikan telekonsultasi selama pandemi; termasuk Go-JEK yang berkolaborasi dengan Halodoc dalam menyediakan platform konsultasi gejala COVID-19 secara daring dan Prixa yang mengembangkan fitur periksa mandiri lewat bantuan kecerdasan buatan.

Penggunaan inovasi teknologi teranyar sebenarnya bukan hal baru dalam mencegah penyebaran virus. Pada 2011, Cambridge merilis aplikasi FluPhone yang digunakan untuk melacak infeksi virus flu. Namun, di saat pandemi seperti sekarang, rasanya masih asing melihat negara-negara mengambil tindakan untuk menggunakan teknologi dalam upaya menekan penularan infeksi coronavirus.

Kita bisa berkaca dari Korea Selatan dan Singapura dalam melihat peran teknologi selama pandemi. Kedua negara tersebut tangkas dalam mengambil tindakan yang menggunakan inovasi teknologi untuk ‘melandaikan kurva’ atau mencegah meledaknya angka infeksi yang akan membanjiri sistem pelayanan kesehatan sehingga dapat menekan angka kematian.

Pemerintah Korea Selatan mengirimkan update kasus COVID-19 secara real-time kepada warganya lewat SMS, situs web, dan aplikasi mobile. Kementerian Dalam Negeri dan Keselamatan Korea Selatan mengembangkan aplikasi “Corona 100m” (Co100) untuk mengirimkan peringatan kepada penduduk yang telah menginstal apabila mereka memasuki area dengan radius 100 meter dari tempat yang pernah dikunjungi oleh pasien terinfeksi. Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko penduduk untuk terinfeksi dengan menghindari “tempat-tempat yang berpotensi bahaya tanpa perlu melihat riwayat perjalanan pasien terinfeksi”.

Namun, warga Korea Selatan bisa melihat riwayat perjalanan pasien terinfeksi COVID-19 lewat situs web Coronamap.

Corona 100m. Sumber: The Guardian. “10 Covid-busting designs: spraying drones, fever helmets, and anti-virus snoods

Singapura juga telah meluncurkan “TraceTogether”, sebuah aplikasi mobile yang memungkinkan pemerintah memonitor penularan COVID-19 di negara mereka. Aplikasi ini meminta izin penggunanya untuk melacak pergerakan mereka serta menggunakan Bluetooth di ponsel mereka untuk mendeteksi kedekatan lokasi dengan pengguna lain. TraceTogether akan memberikan peringatan kepada penggunanya bila mereka ada di lokasi yang dekat dengan pasien positif COVID-19 dan, dengan meminta izin, aplikasi ini akan mengirimkan data pengguna ke pemerintah yang kemudian memandu mereka untuk menjalani tes.

Langkah Korea Selatan dan Singapura dalam melakukan intervensi lewat teknologi yang lumayan ekstrem ini tentunya telah mengundang kekhawatiran soal keamanan privasi. The Guardian melaporkan bahwa SMS peringatan yang dikirim Pemerintah Korea Selatan telah mendorong stigma sosial dan menganggu bisnis.

Sementara itu, TraceTogether milik Singapura banyak disebut sebagai ‘aplikasi surveilans teknologi tinggi milik negara’. Namun, Menteri Kesehatan Singapura telah meyakinkan bahwa identitas pengguna dan data lokasi hanya disimpan di ponsel masing-masing pengguna secara terenskripsi.

Di Indonesia, bahkan tanpa aplikasi pelacak lokasi, dua pasien kasus positif pertama COVID-19 mengalami kebocoran data pribadi serta menjadi korban disebarkannya informasi bohong mengenai mereka di media sosial.

Memang sulit untuk memutuskan seberapa jauh langkah pemerintah dalam menggunakan teknologi demi mempercepat tindakan untuk melawan COVID-19 di tengah pandemi global ini, di mana semua orang nampaknya kewalahan dengan cepatnya virus ini menyebar. Saat ini, kritikus kebanyakan mengungkapkan kekhawatiran akan bagaimana dampak penggunaan teknologi dalam melawan coronavirus ini kepada kekuasaan negara terhadap data-data kita di masa depan dan apakah setelah pandemi berakhir surveillans terhadap penduduk akan dinormalisasi.

Mengesampingkan isu sejenak, negara dan organisasi lain di dunia sepertinya siap mengikuti langkah Singapura dan Korea Selatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dilaporkan telah meluncurkan aplikasi Android, iOS, dan situs web bernama ‘WHO MyHealth App’ pada 30 Maret. Versi awal aplikasi ini, yang dikembangkan secara open-source dan bisa dipantau perkembangannya di repositori GitHub ini, akan menyediakan tips, berita, dan peringatan yang akan membantu pengguna tetap terinformasi selama pandemi COVID-19.

Walaupun Indonesia belum terlihat akan meluncurkan aplikasi skala nasional dan masih mengandalkan SMS peringatan dan banyak situs web, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, telah meluncurkan aplikasi mobile dan situs web dari Pusat Informasi dan Koordinasi COVID-19 yang bernama “Pikobar” pada 20 Maret.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama istri, Ketua Penggerak PKK Jawa Barat Atalia Praratya, memperlihatkan aplikasi Pikobar yang baru diluncurkan di Jabar Command Center kepada wartawan. Foto oleh: JDS/Mukhammad Fakhri Luthfi

Pikobar dikembangkan oleh tim inovasi dan digital Jawa Barat, Jabar Digital Service, secara open-source. Lewat Pikobar, warga bisa memantau data harian skala lokal, nasional, dan global serta menyediakan peta sebaran infeksi dan visualisasi data lainnya. Aplikasi ini, berkolaborasi dengan startup teknologi kecerdasan buatan Prixa, juga memungkinkan pengguna untuk melakukan periksa mandiri bila mereka merasa memiliki gejala mirip COVID-19.

Berharap untuk jadi hub bagi kolaborasi publik-privat serta mendorong keterlibatan publik selama pandemi, Pikobar juga menjadi wadah untuk mengumpulkan donasi serta relawan dari bidang pengembangan IT, tenaga medis, analis kebijakan publik, atau tenaga logistik yang ingin membantu pemerintah melawan COVID-19.

Pikobar bisa diakses juga di pikobar.jabarprov.go.id

--

--