Memindai Data, Perlukah PSBB Dilanjutkan?

Fulca Veda
Jabar Digital Service
4 min readMay 10, 2020
Pembatasan Sosial Berskala Besar telah diterapkan di sejumlah wilayah Indonesia guna mengurangi potensi penyebaran COVID-19. (Sumber: Rifqi Aulia/ Jabar Digital Service)

Berbagai upaya diterapkan Pemerintah Indonesia demi menghentikan pandemi COVID-19. Seorang peneliti dari Center Strategic of International Studies (CSIS) pada sebuah riset bahkan mengingatkan perlunya pemerintah daerah mengukur kinerja penanganan COVID-19 secara berkala demi memastikan setiap keputusan yang dibuatnya berjalan secara tepat, agar kebijakan yang diimplementasikan tidak ada indikasi ‘keluar jalur’.

Dalam riset tersebut, dikatakan ada beberapa indikator yang bisa dilihat untuk memantau metrik kemajuan atau kemunduran penanganan COVID-19 yang telah dicapai oleh suatu wilayah. Misalnya, dengan melihat tren proporsi kasus COVID-19, hingga jumlah tes yang dilakukan untuk mengetahui peta sebaran kasus COVID-19 di suatu daerah.

Dampak PSBB dan Tes Masif Pada Angka Replikasi COVID-19

Kita bisa mulai melihat salah satu strategi penanganan COVID-19 yang dilakukan di Jawa Barat khususnya melalui diberlakukannya PSBB. Tim Data Jabar Digital Service menemukan bahwa rasio pertumbuhan kasus di Jawa Barat secara umum menjadi lebih stabil dan tak begitu fluktuatif.

Mengutip “Analisis Dampak Penerapan PSBB di Jawa Barat” oleh Jabar Digital Service (JDS) per 28 April 2020, penambahan kasus berkisar 40 kasus per hari. Angka replikasi kasus COVID-19 ini mengalami penurunan dari 1.23 (sebelum diberlakukan PSBB) menjadi 1.09 (setelah diberlakukan PSBB, kasus pertama per 28 April). Di Bandung Raya, angka tren kasusnya pun menurun dari 1.17 sejak pertama kali diberlakukan imbauan WFH (pada 15 Maret 2020) menjadi 1.08 setelah diberlakukan PSBB selama sepekan.

Tes Masif COVID-19 diadakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat untuk mengetahui peta sebaran kasus COVID-19. (Sumber: Rifqi/Jabar Digital Service)

Meski angka replikasinya menurun, perlu diketahui bahwa penambahan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 harian di Jawa Barat setelah kebijakan PSBB sempat mengalami pertumbuhan yang stabil, namun kembali fluktuatif setelah terjadi lonjakan kasus pada tanggal 4 Mei sebanyak 182 kasus.

Walau faktor diumumkannya angka kasus hanya bisa dilakukan oleh pusat, perlu diperhatikan bahwa angka kasus terkonfirmasi positif tersebut bisa jadi sangat bergantung pada hasil tes COVID-19 harian yang diberlakukan selama PSBB. Sejak diadakan Tes Masif COVID-19 di Jawa Barat, angka terkonfirmasi positif menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya kemampuan diadakannya tes harian tersebut.

Menurut analisis Jabar Digital Service, lonjakan tersebut mungkin terjadi karena gencarnya pelaksanaan tes masif yang dilakukan. Sehingga, kasus-kasus yang berpotensi menjadi under reported cases (kasus tak terlaporkan) dapat teridentifikasi dan penyebaran selanjutnya bisa dicegah dengan melakukan pelacakan. Hal ini perlu terus dilakukan untuk menghidari terjadinya silent spreading.

Perlu diketahui, mengutip data yang dikumpulkan oleh Our World in Data, ditemukan bahwa jumlah tes COVID-19 per penduduk yang dilakukan di Indonesia ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan negara lain.

Hingga 8 Mei 2020, Indonesia tercatat hanya mempunyai kapasitas tes 0.38 per 1000 orang, jauh lebih tertinggal dari Italia (39.38 per 1000 orang), Korea Selatan (12.77 per 1000 orang), bahkan Malaysia (7.40 per 1000 orang). Menurut CSIS, Indonesia setidaknya membutuhkan jumlah tes 20 kali lebih banyak untuk mencontoh pemberlakuan Tes Masif COVID-19 seperti di Malaysia.

Perbandingan total tes COVID-19 per 1000 penduduk di berbagai negara, 8 Mei 2020. (Sumber: Our World in Data)

Data: Proyek Ambisius Co-founder Instagram, Pemda, dan Sinyal Baik PSBB

Dalam kolom opini New York Times, seorang epidemiologis menyatakan perlunya pengambilan kebijakan yang tidak hanya berbasis pada perhitungan harian dari kasus COVID-19 yang terdata semata, melainkan turut memperhatikan kemampuan penyebaran virus pada orang yang terinfeksi di setiap waktu tertentu (coronavirus’s real time atau Rt).

Secara sederhana, Rt memperhitungkan kapasitas atau kontrol atas penduduk suatu wilayah dalam menangani pandemi, lewat pemberlakuan berbagai sikap seperti karantina, isolasi mandiri, larangan bepergian, penutupan sekolah, jaga jarak, penggunaan masker, dan lain-lain.

Proyek ambisius Rt yang dikembangkan oleh Co-founder Instagram Kevin Systrom dan Mike Krieger ini dinilai banyak epidemiologis lebih adaptif karena mempertimbangkan perubahan perilaku manusia yang mampu mengubah laju reproduksi kasus COVID-19 di tiap titik waktunya.

Founder Instagram, Kevin Systrom dan Mike Krieger membuat proyek Rt.live untuk melacak bagaimana virus COVID-19 tersebar secara real-time pada setiap orang yang terinfeksi di suatu daerah dan waktu tertentu. (Sumber: Tech Crunch)

Seperti dalam laporan yang dikeluarkan Tim Data Jabar Digital Service, garis pertumbuhan kasus COVID-19 di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dominasi kasus di daerah episentrum pandemi seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Disinilah kiranya kita bisa menyimpulkan, bahwa tak hanya pemerintah pusat, peran pemerintah daerah dalam melakukan kontrol atas perilaku penduduk di wilayahnya juga menjadi penting.

Dengan melihat perkembangan kasus COVID-19 yang berpusat di daerah, rasanya tidak salah untuk tetap menerapkan PSBB, mengingat meski kasus positif COVID-19 berpotensi naik setelah dilakukan tes masif, kita tetap berharap PSBB akan mampu menekan kemungkinan replikasi kasus COVID-19 dari mobilitas masyarakat yang tinggi, terutama di Jawa Barat.

Tak perlu menunggu masa inkubasi COVID-19 selama 6 hari, PSBB adalah waktu yang tepat untuk bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah untuk mengurangi potensi transmisi COVID-19 setiap waktunya.

*Penyunting: Kurnia Sari Aisyiah (Data JDS) dan Nea Ningtyas (Comms JDS)

--

--