Merayakan Perempuan

Nea Ningtyas
Jabar Digital Service
12 min readMar 9, 2021
Perempuan-perempuan Jabar Digital Service. Searah jarum jam: Isti (UX Research Lead), Fulca (Content Writer), Resty (Project Officer), Nisrina (Data Entry Lead), Shinta (Technical Writer & QA Analyst), Aisyiah (Data Analytics Lead). Foto: Fakhri Lutfi/JDS dan Koleksi Pribadi.

Maret adalah bulan untuk merayakan perempuan. Tepatnya tanggal 8, kita memperingati Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day (IWD). IWD tahun 2021 bertema #ChoosetoChallenge, berarti ‘berani menantang’. Di dunia penuh tantangan, sebuah aksi untuk merespon tantangan tersebut akan membawa perubahan.

Tepat setahun yang lalu, di Indonesia, kita mulai menghadapi tantangan yang belum pernah kita hadapi sebelumnya: sebuah pandemi global. Ketika Covid-19 jadi ancaman yang kita tidak tahu bagaimana menghadapinya, ada perempuan-perempuan yang membantu upaya penanganan pandemi dengan beragam skillset yang mereka miliki.

Tahun ini, UN Women memperingati IWD dengan mengajak kita merayakan peran perempuan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Saat perempuan memimpin upaya untuk pulih dari dampak pandemi, kita juga sedang memperjuangkan kesetaraan gender di masa depan.

Bulan ini, kita bisa bercermin sejauh mana perjuangan-perjuangan itu sudah berjalan. Bulan ini, kita bisa merayakan perempuan-perempuan yang mengupayakan kesetaraan yang kita bahas barusan.

Untuk tulisan ini, saya bicara dengan rekan-rekan saya: perempuan-perempuan hebat di Jabar Digital Service.

Saya ingin merayakan mereka: perempuan-perempuan yang, dengan cara mereka masing-masing, menghalau tantangan di garda terdepan untuk membawa perubahan dalam menghadapi pandemi di Jawa Barat.

Menyoal keterwakilan perempuan.

Soal perempuan dan kesetaraan gender, kita tidak bisa lepas dari bicara soal ‘keterwakilan’. Bagaimana pun, dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, kita perlu visibilitas dan suara perempuan untuk didengar. Perempuan perlu ‘ada’; perlu punya kursi di meja tempat pekerjaan dikerjakan dan keputusan-keputusan dibuat. Maka, tentu saja kita perlu bicara soal keterwakilan.

Perempuan secara umum underrepresented di industri teknologi. Menurut sebuah survei, perempuan cuma memegang 25% pekerjaan di industri ini.

Secara umum, cuma ada 3,3% perempuan di Indonesia yang memegang posisi direktur ke atas. Di industri teknologi, secara global, hanya 5% posisi kepemimpinan dipegang oleh perempuan.

Keterwakilan perempuan di posisi kepemimpinan. Sumber data: Global Gender Gap Report 2020, World Economic Forum. Analisis dan visualisasi data oleh Tim Data Jabar Digital Service.

Sebagai perempuan yang berkarya di industri teknologi, bagaimana pandangan perempuan-perempuan Jabar Digital Service?

Nisrina Rohadatul Aisy (Data Entry Lead):

“Walau hanya sedikit yang berkecimpung di sektor teknologi, tapi yakin deh seorang lead perempuan juga bisa menggerakan impact yang luas. Ini cuma masalah klasik bagaimana cara dunia memandang seorang perempuan. Teknologi, ‘kan, enggak cuma soal laki-laki; teknologi itu tentang orang dan perubahan! Teknologi juga enggak cuma perkara ngoding, supercomputer, server, API; tapi jauh lebih dari itu melibatkan data, informasi, dan komunikasi juga.

Jadi, aku berharap baik di sektor teknologi maupun sektor lainnya, perempuan bisa diberi kesempatan yang sama dengan pria agar kita bisa punya ruang yang lebih luas buat berkarya, menghasilkan warna baru di setiap bidang, dan membuktikan kalau ‘who run the world? GIRLS!’

Fulca Veda (Content Writer):

“Angkanya sedap! Keterwakilan perempuan di tech industry ini, tuh, mungkin bisa berangkat dari fakta kalau perempuan juga masih sedikit yang belajar STEM, ya. Chill, enggak apa-apa. Nanti mungkin ada masanya ketika angka pemimpin perempuan di tech industry kian tinggi, bakal banyak perempuan lainnya yang mengikuti. Tapi, IMO, bisa juga, angka ini akan terus begitu, karena enggak dipungkiri perempuan juga bisa memilih tidak melanjutkan karir profesionalnya (termasuk di tech industry) untuk peran lainnya, misal fokus berumah tangga.”

Resty Asmauryanah (Project Officer):

“Amat disayangkan, padahal, ‘kan, perempuan juga punya chance yang sama dengan laki-laki. Sayangnya, masih banyak persepsi yang kurang baik terhadap perempuan untuk menjadi leader. On one hand, ada persepsi bahwa perempuan cenderung sensitif dan impulsif. On the other, perempuan mungkin sulit untuk fokus di dunia kerja karena harus membagi dengan kehidupan personal sebagai seorang istri atau ibu. Terus, ada persepsi lain di mana perempuan lajang yang berhasil jadi pemimpin mendapatkan citra negatif, misalnya dicap keras kepala.

Harapanku, sih, perusahaan bisa lebih bijak dalam memberikan policy buat semuanya. Contoh sederhananya, memberikan kesempatan kepada karyawan perempuan untuk duduk di posisi leadership atau high-level management dengan penilaian yang objektif tanpa memandang gender.”

Isti Hartini (UX Research Lead):

“Memang kenyataannya begitu, masih banyak yang harus kita perbaiki, terutama untuk opportunity di bidang teknologi: jangan cowok saja yang harus dikasih kesempatan, tapi cewek juga. Contohnya, banyak banget di Indonesia ada lowongan pekerjaan yang requirement-nya “male”. Padahal, pas lihat jobdesc-nya, perempuan juga bisa ada di posisi itu. Selain itu, kalau menurut aku, problem-nya juga ada di kultur. Kultur kita udah terlalu lama masih melihat kalau perempuan itu posisinya harus di belakang pria, harus nurut sama pria. Kultur seperti ini menurutku yang sebenarnya ‘mendidik’ kita buat nggak berani step up.”

Perempuan paling kalah jumlah di bidang engineering.

Angka perempuan di industri teknologi secara umum lebih kecil dari laki-laki, tapi perempuan yang ada posisi teknis jauh lebih outnumbered lagi. Menurut survei TrustRadius, rasio perbandingan engineers laki-laki dengan perempuan adalah 5:1 atau lebih.

Sumber: TrustRadius 2020 Women in Tech Report

Kami menyesali fakta ini, tapi di Jabar Digital Service pun sayangnya masih demikian adanya. Sampai Maret 2021, kami hanya punya satu anggota tim perempuan di bidang IT Development yang masih berkarya di JDS.

Bagaimana pengalaman Shinta Dewi (Technical Writer dan QA Analyst), jadi satu-satunya perempuan di tim IT Development?

Shinta:

“Pengalaman jadi satu-satunya perempuan di antara temen-temen laki-laki engineers, pertamanya dari aku enjoy aja, sih, mungkin karena saat ini masih WFH jadi mungkin enggak terlalu berasa. Tapi terkadang emang terasa sepi kalau enggak ada temen cewek. Namanya perempuan pasti butuh teman deket untuk berkeluh kesah tentang kerjaan kantor maupun pribadi yang enggak bisa disampaikan ke temen cowok, hehe.”

Menurut Shinta, kenapa enggak ada lebih banyak perempuan di bidang ini?

Shinta:

“Menurut aku, kenapa cuma sedikit perempuan yang minat di bidang ini, mungkin kebanyakan perempuan kurang percaya diri dan merasa minder dengan kemampuannya apalagi industri teknologi ini, terutama engineer, harus bekerja menggunakan logika, sedangkan sebagian besar perempuan lebih kuat di simpati dan perasaan. Selain itu, lingkungan kerja yang masih kurang ‘women friendly’ misal enggak ada waktu untuk cuti haid, cuti melahirkan, atau enggak ada ruang menyusui.”

Tantangan baru di masa pandemi buat perempuan

Ketika pandemi terjadi, kita semua harus menyesuaikan diri dengan bekerja dari rumah. Menurut data NordVPN yang dilansir Bloomberg, rata-rata pekerja yang kerja dari rumah melaporkan mereka kerja 3 jam lebih lama daripada saat kerja dari kantor. TrustRadius juga melaporkan kalau dari survei yang mereka lakukan, 62% perempuan di industri teknologi merasa kalau mereka diharapkan kerja lebih dari 40 jam seminggu.

Sumber: TrustRadius 2020 Women in Tech Report

Nisrina adalah orang yang bertanggung jawab untuk data entry kasus Covid-19 di Jawa Barat yang tayang di Pikobar. Load dan demand dari pekerjaan ini pasti luar biasa. Bagaimana Nisrina mengelola beban dan waktu kerja saat kerja dari rumah?

Nisrina:

Jujur, ya, work from home ini seolah shock therapy buat aku. Buat orang yang daily routine-nya udah di-set teratur, rasanya kaya semua hal baru jadi tantangan aja, gitu. Mulai dari belajar time management yang baik, menyeimbangkan antara hidup sehat dan kerja cerdas, sampai ke proses pencarian tipe deliver pekerjaan yang ideal.

Mungkin, enggak sedikit orang memandang ‘data entry’ itu kerjanya ‘cuma’ input data. Big no! Di JDS, data entry itu kayak palugada. Query data? Harus bisa. Sense of analysis? Harus punya. Negosiasi? Harus lihai. Kayaknya kerja overtime semenjak pandemi udah jadi hal yang lumrah, ya. Pernah waktu bulan Ramadan tahun 2020, ngurusin data bantuan sosial dari 27 kabupaten dan kota sambil conference call dari pagi sampai buka puasa, lalu lanjut ngolah data sama tim sampai subuh.

Tapi aku selalu ingat satu kalimat dari stakeholder: “Semoga apa yang kita lakuin bisa bermanfaat buat masyarakat Jawa Barat”. Terharu!

Selain menyesuaikan diri ke WFH dan beban overtime, pandemi jadi tantangan juga buat ibu bekerja.

Perempuan, terutama yang menikah dan memiliki anak, banyak terdampak ketika harus bekerja dari rumah. Menurut survei, perempuan di bidang teknologi 1,5 kali lebih mungkin melaporkan kalau mereka merasa mendapatkan beban mengasuh anak lebih banyak di masa pandemi daripada laki-laki.

Sumber: TrustRadius Impact of Covid-19 on Women in Tech.

Sebagai ibu bekerja di industri teknologi, bagaimana pengalaman Kurnia Sari Aisyiah (Data Analytics Lead) dan Fulca?

Aisyiah:

“Baik pandemi maupun enggak, beban mengasuh anak atau mengurus rumah memang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini sebenarnya ‘dampak’ dari ‘keistimewaan’ yang dimiliki perempuan: multitasking! Sehingga, saat full bekerja dari rumah, khususnya di masa pandemi, aktivitas rumah menjadi meningkat signifikan. Misal, anak sekolah dari rumah dan tidak adanya ART jadi menduplikasi beban domestik. Sehingga satu-satunya pilihan adalah penyesuaian, tidak hanya bagi perempuan secara individu, tapi anggota keluarga dan anggota tim dalam pekerjaan juga harus ikut beradaptasi.”

Fulca:

“Sebagai seorang ibu dari satu orang anak laki-laki yang mau masuk 2 tahun, WFH dan pandemi jelas bikin puyeng; daycare tutup, belum nemu pengasuh anak yang cocok, dan minim liburan anak keluar rumah. Meski lebih banyak, faktanya, selama WFH beban mengasuh anak buat aku dan suami sama-sama meningkat. Kita bisa gantian kerja dan jaga anak, meskipun lebih sering burnout-nya, hehe. Interaksi dengan anak bisa lebih sering, meskipun dibarengi dengan interaksi anak pakai gadget dan media digital. Bikin mainan DIY dan montessori adalah solusi biar anak sibuk tanpa gadget dan kita tetap produktif kerja!”

Selain beban mengasuh anak, beban pekerjaan rumah tangga juga sebuah tantangan bagi perempuan bekerja.

Dari survei Gender Equality at Home oleh Facebook, perempuan Indonesia melaporkan kalau mereka menghabiskan 11,34 jam per hari untuk urusan rumah tangga di masa pandemi, sementara laki-laki melaporkan 8,16 jam.

Waktu yang dihabiskan untuk urusan rumah tangga selama pandemi. Sumber data: Facebook Gender Equality at Home. Analisis dan visualisasi data oleh Tim Data Jabar Digital Service.

Bagaimana pendapat Aisyiah soal ini?

Aisyiah:

“Seperti yang aku sebutkan, selama pandemi beban domestik jadi terduplikasi. Di saat yang sama, sebenarnya laki-laki, dengan fokus terbatas dan tidak lihai multitasking, sudah turut beradaptasi membantu. Tentu saja tidak bisa disetarakan. Untuk aku, kuncinya adalah bekerja sama dengan anak, suami, dan tim [dalam pekerjaan]. Kita jadikan keterbatasan itu adalah sesuatu yang punya ruang. Misal, saat meeting harus hold sebentar buat antar anak ke kamar kecil, atau anak terpaksa screentime saat aku meeting penting. Empati dan ekspektasi adalah dua hal yang harus diselaraskan.

So, do it for myself too. Misal, enggak apa-apa rumah berantakan karena harus prioritaskan pekerjaan, atau harus rela kerja malam dengan mengurangi waktu tidur untuk bisa tenang bekerja saat anak tidur. Proporsional saja, kalau ada yang diprioritaskan pasti ada yang dikorbankan.”

Dibandingkan dulu, sudahkah keterwakilan perempuan lebih baik sekarang?

Kembali soal representasi perempuan di bidang teknologi. 68% perempuan dan 71% laki-laki merasa kalau sekarang ada lebih banyak perempuan di industri teknologi dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

Sumber: TrustRadius 2020 Women in Tech Report

Mungkin benar! Sekarang jumlah perempuan di bidang teknologi semakin meningkat, tapi jumlahnya masih kalah jauh dari laki-laki.

Terkadang dalam meeting, kita menyadari kalau perempuan kalah angka dari laki-laki. Bahkan, dari survei TrustRadius, 4 dari 5 laki-laki mengakui kalau perempuan tidak terwakili dengan setara dalam meeting. Dari survei tersebut, responden melaporkan kalau dalam meeting biasanya ada rasio 3 laki-laki untuk 1 perempuan.

Survei yang sama juga melaporkan kalau hanya 1 dari 10 responden pernah ada di sebuah meeting yang jumlah perempuannya melebihi laki-laki.

Sumber: TrustRadius 2020 Women in Tech Report

Resty, sebagai Project Officer yang kerjanya termasuk external networking dan stakeholders alignment, pasti sering sekali meeting. Bagaimana pendapat dan pengalaman Resty soal ini?

Resty:

“Nah, ini menarik! Aku beruntung sekali assigned ke squad yang jumlah timnya setara, not only by gender but also by quality! Jadi, aku merasa semangat dan tertantang untuk lebih baik lagi dalam berkontribusi dan berkarya.

Di squad dan divisiku, aku ketemu dengan banyak perempuan yang educated dan empowered. Tanpa aku sadari, within a year of my tenure here, mereka-mereka ini (perempuan di JDS) adalah salah satu ‘trigger’ buat aku untuk terus berkembang. Aku belajar banyak banget dari teteh-teteh jagoan ini! I am so convinced bahwa perempuan juga perform sama baiknya, bahkan lebih!

Terus, di squad-ku, persepsi tentang perempuan itu sensitif jadi hilang. Karena kita bisa berpikir logical, straightforward, dan objective. I work with more than one married women and mothers in my squad, and yet aku yang merasa perlu mengejar mereka dari segi kualitas kerja dan performance.

Makanya, aku menyayangkan saat dengar cerita kalau dalam meeting kadang ada komentar tidak mengenakkan ketika yang memberikan pendapat adalah perempuan, kayak ‘Jangan baper, dong!’ atau ‘Biasa, cewek’. For those who always get these comments in the workplace: semangat, yaaa!”

Kita semua pasti setuju kalau perjalanan menuju keseteraan gender, terutama di Indonesia, masih panjang.

Sekarang, Indonesia ada di urutan 85 dari 153 negara berdasarkan Global Gender Gap Report dari World Economic Forum. Skor imparity index-nya 0,7 (range skor 0–1, semakin tinggi skor, semakin tinggi pula kesetaraan gendernya).

Sumber data: Global Gender Gap Report 2020, World Economic Forum. Analisis dan visualisasi data oleh Tim Data Jabar Digital Service.

Namun, di Bulan Perempuan ini, mari kita rayakan satu sama lain.

Perempuan-perempuan di JDS punya peran di bidang masing-masing dalam digitalisasi dan penanganan pandemi di Jawa Barat. Sebagian dari mereka bahkan memimpin project-project tersebut.

Menurut survei TrustRadius lagi, kepercayaan diri perempuan di bidang teknologi juga mulai meningkat. 62% perempuan sekarang yakin akan mendapatkan promosi dalam 2 tahun.

Sumber: TrustRadius 2020 Women in Tech Report

Mereka mencatat kalau perempuan yang tidak percaya diri mungkin meninggalkan industri ini. Sedangkan yang bertahan mungkin terinspirasi dari perempuan-perempuan yang masih berjuang di sini.

Maka, bisa jadi perempuan-perempuan JDS adalah inspirasi bagi perempuan-perempuan yang mungkin masih takut atau ragu untuk terjun ke industri ini.

Berikut adalah refleksi perempuan-perempuan JDS untuk diri mereka sendiri, plus harapan dan pesan mereka buat perempuan-perempuan yang telah dan akan terjun di industri teknologi!

Nisrina:

Dipercaya untuk jadi person-in-charge buat data kasus Covid-19 di Pikobar ini antara senang dan bikin deg-degan. Di satu sisi, pandemi ini bikin aku banyak belajar hal baru, tapi di sisi lain aku adalah orang yang ‘diteror’ pertanyaan terkait data kasus, dari siapapun, tentang apapun, kapanpun, di manapun. Kalo diingat-ingat ke belakang, udah setahun aku dan tim bersama data Covid-19 ini. Masih inget, deh, waktu baru sebulan jalan pandemi, berharap bulan depannya udah selesai. Begitupun bulan berikutnya, sampai sekarang, hehehe. Untuk pejuang data di manapun kalian berada, kalian luar biasa! Percayalah, kita selalu berusaha maksimal untuk memberikan data yang valid, akurat, dan terpercaya. Peluk hangat!

Fulca:

Perempuan, tuh, jago, sih. Sama, kok, kaya laki-laki di tech industry! Butuh lebih fleksibel, butuh waktu, butuh banyak tukar pikiran dengan rekan kerja lawan jenis. Digitalisasi barangkali juga butuh tangan perempuan berbakat seperti dari teman-teman perempuan di JDS. Ngomongin digitalisasi yang inklusif, enggak bisa, dong, ninggalin perempuan di belakang. Tetap belajar dan mencari tempat yang sesuai untuk mengembangkan diri, biar percaya diri kamu bisa tetap punya nilai buat diri sendiri dan sekitar!

Resty:

Aku mau ngucapin semangat untuk semua perempuan yang terus berkarya di industri ini, terutama untuk rekan-rekan aku di JDS. Selama aku kerja di JDS, aku belajar bahwa:

Those who have had meetings with our high-level stakeholders are empowered women; those who have had meetings with one hand on the keyboard and another to hold a baby are empowered women; those who have had meetings with the task-force while doing the dishes at home are empowered women; those who chose to support the others are surely empowered women. You did all of these while taking care of your family! I am a proud colleague.

Aisyiah:

Yang pasti harus percaya sama kemampuan diri, soalnya itu jadi kunci. Jadilah perempuan yang bukan ‘meminta ruang’ tapi justru harus bisa ‘menciptakan ruang’. Contohnya, jika aku ingin punya ruang untuk diterima dalam tim sebagai ibu bekerja, maka aku harus melakukan hal yang sama untuk keterbatasan-keterbatasan yang juga dimiliki oleh rekan lain dalam tim. Karena, sebagai perempuan yang punya anugerah kemampuan multitasking dan ketelitian yang tinggi itu sangat relevan di industri ini! Hanya saja perlu sedikit mengesampingkan dominasi perasaan atau insting yang seringkali menjadi keluhan yang melekat dalam perempuan. Sejatinya perempuan itu multiperan, ‘kan, ya? Jadi harusnya mudah bagi kita berganti peran dengan cepat, berubah sudut pandang dengan tangkas.

Isti:

Setuju banget! Yang penting adalah harus berani. Keluarkan pendapat yang kita punya, keluarkan pengalaman yang pernah kita lakukan, jangan disimpan sendiri. Bagi informasi, berpikirlah kalau kita bisa develop diri dan sesama. Menurutku dengan begitu dampaknya akan dirasakan oleh orang-orang yang kerja sama kita. Menurut aku, sekarang mungkin banget perempuan dapet promosi dalam 2 tahun; asal kita berani mengkomunikasikan, mengeluarkan pendapat, menyampaikan pola pikir, mengedukasi tim, be helpful buat teman-teman kamu. Kalau kamu enggak di-notice, kamu yang minta! Itu bukan sesuatu yang tabu seorang perempuan untuk minta promosi.

Kalau kamu percaya diri, kalau kamu merasa berhak akan promosi, komunikasikan, why not. Biarkan atasan kamu juga berpikir demikian. Jangan pernah takut buat maju, menurutku perempuan yang punya kapabilitas sangat punya kesempatan buat jadi pemimpin di industri teknologi!

Shinta:

Harapan dari aku, perempuan harus mulai percaya diri tunjukkan bahwa sebenernya enggak ada batasan atau tembok antara perempuan dan laki-laki. Kita, tuh, memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama kok, di manapun itu, termasuk di industri teknologi. Dan, semoga makin banyak industri di tanah air yang menerapkan lingkungan kerja yang women friendly!

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Perempuan, rayakanlah dirimu dan perempuan-perempuan di sekelilingmu.

Untuk perempuan-perempuan Jabar Digital Service; yang ada di artikel ini, yang duduk di kubikel sebelah dan belakang saya di kantor, yang conference call dengan saya sekian kali seminggu, yang bangun lebih awal untuk mengurus anak sebelum meeting pagi, yang tidak pernah berhenti belajar di sela-sela kesibukan:

Hari ini, pause sebentar, tengok ke belakang, lihat sejauh apa kamu sudah melangkah, tepuk pundakmu, lalu kembali berjalan. Ingatlah kalau kalian adalah inspirasi buat perempuan lainnya. Teruslah berjuang. You matter. You are remarkable.

--

--