Ngobrol sama Biondi: Tim Implementasi, pembawa tongkat estafet terakhir untuk ‘user’

Fulca Veda
Jabar Digital Service
5 min readApr 22, 2021

Saat kami harus menangani pandemi dengan teknologi, ada orang-orang hebat yang berperan untuk terjun langsung dalam menyalurkan produk-produk Jabar Digital Service kepada penggunanya. Sayangnya, di tengah masa sulit ini, kami juga harus berpamitan dengan Biondi Sanda Sima— seorang sosok inspiratif sekaligus Koordinator Implementasi Jabar Digital Service yang memotivasi suksesnya implementasi transformasi digital di ranah pemerintahan Jawa Barat.

Sebelum meninggalkan JDS, penulis berkesempatan berbincang kembali dengan Biondi untuk tahu seluk beluk Divisi Implementasi di JDS. Biondi yang kerap dipanggil ‘Supreme Leader’ oleh teman-teman setimnya ini berbagi soal kultur kerja di divisinya yang membuat proses digitalisasi di Jawa Barat jadi sangat mungkin dilakukan oleh anak-anak muda berbakat di Jabar Digital Service. Penasaran? Yuk, baca ulasan obrolan kami di sini!

Halo, Biondi! Boleh ceritakan bagaimana Divisi Implementasi di JDS tumbuh dari seorang Biondi hingga menjadi lebih dari 30 orang?

Biondi (dua dari kiri) bersama Gubernur Ridwan Kamil. (Sumber: Biondi/linkedin)

Tentu! Jadi, pada 2019 saya diminta bantu Gubernur Ridwan Kamil yang baru terpilih pada tahun sebelumnya. Momen dimana ada sosok Gubernur yang sering menyuarakan ‘Digital Transformation’ tentu bisa jadi gak bakal terulang lagi. I said yes! Saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan di Jakarta, dan bergabung di JDS.

Divisi Implementasi bertumbuh dari hanya saya seorang, kini beranggotakan lebih dari 30 orang yang fokus dalam misi mempersempit kesenjangan digital dan merevolusi pemakaian teknologi dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Jawa Barat.

Misinya keren banget! Memangnya, Divisi Implementasi di pemerintahan ngapain aja, ya?

Biondi bersama timnya di Divisi Implementasi JDS. (Photo: Biondi/ Dokumen pribadi)

Mainly, tupoksi Implementasi itu melakukan kemitraan, flagship program delivery, dan stakeholder alignment. Di pemerintahan, we’re not essentially making money, sih, tapi tupoksi kami hampir sama seperti tim bisnis di startup, memastikan produk sampai ke pengguna.

Dalam lari estafet, Divisi Implementasi jadi kelompok yang deliver tongkat paling akhir untuk sampai ke garis finish alias user; mulai dari sosialisasi, mengumpulkan ‘feedback’ dari user, dan rekomendasi iteratif untuk Tim Analisis dan IT Development.

Bagaimana Divisi Implementasi mengukur adopsi digital di ranah pemerintahan?

Perubahan teknologi berlangsung cepat. Sedangkan pemerintahan terbiasa planning tahunan. Meski tidak lumrah, kita coba introduce penggunaan KPI & OKR untuk ubah kultur planning di pemerintahan yang rentangnya terlalu panjang untuk sebuah rilis teknologi, sehingga bisa agile dalam transformasi digital. KPI bantu implementasi dalam tenggat waktu yang lebih singkat (kuartal), tapi tetap menyesuaikan goal atau visi jangka panjang yang ingin dicapai.

Biondi mendampingi Setiaji, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat dalam World Internet Conference di Wuzhen, Tiongkok, 2019 silam. (Photo: Biondi/ Dokumen pribadi)

Kalau istilah Pak Gubernur, ‘long term vision, short term delivery.’ Jadi memang produk teknologi kita langsung dieksekusi pembuatannya dan di delivery kepada end-user, iteratif dikembangkan menyesuaikan kebutuhan pengguna.

Dengan metrik OKR, kita bisa lebih mengukur pola adopsi digital di pemerintahan sudah ideal atau belum; berapa jumlah user yang diakuisisi, berapa active user-nya, fitur mana yang lebih sering dipakai untuk development selanjutnya, dan banyak lagi.

Misal fitur kegiatan RW Sapawarga, itu awalnya ‘kan memang tidak ada di pipeline, namun karena kita sudah kumpulkan saran dari user di lapangan sebagai fitur yang paling aktif dipakai dibanding fitur lain, akhirnya kita developed. Jadi value proposition produknya bisa kita lihat dari analisis dan aktifitas user di produk tersebut.

Sebagai Koordinator IMP, bagaimana cara Biondi meyakinkan tim dan stakeholder untuk proyek digital yang impossible?

Ya, betul bisa dibilang hampir semua flagship project kita cukup ekstrem dikembangkan, seperti bikin 1000 candi dalam semalam!

Biondi ketika memberikan paparan kepada 110 patriot desa untuk Program Desa Digital. (Photo: Biondi/ Dokumen pribadi)

Memang untuk deliver project yang terlihat tidak mungkin, harus bisa motivasi internal dulu. Pertama, untuk internal, kuncinya menurutku saat rekrutmen. Anak-anak yang gabung di IMP JDS, biasanya mereka punya beberapa skill-set ini; self-driven, growth mindset, resilience, user-centrist, critical thinking, project management, sedikit paham ways of working di sistem scrum, mau paham birokrasi dan cukup sadar regulasi. Tim kami biasanya sudah ready-by default karena filtrasi sejak rekrutmen.

Kita tinggal kasih tahu kenapa produk ini penting, tapi harus juga belajar ‘detached from your product’ — kalau anggap produk digital kita sebagai personal belonging biasanya bakal demotivated jika produk yang sudah mereka kenalkan malah ‘mental’ di user. Jadi, anak-anak yang menyalurkan produk ini akan lebih baik kalau benar-benar fokus pada nilai dan goal dari kebermanfaatan produk digitalnya.

Biondi bersama anggota Tim Implementasi saat menerima kunjungan Kok Chin Tay, CEO Smart City Network. (Photo: JDS/ Aulia Rifqi)

Kedua, ada pendekatan interpersonal dengan pemimpin di dinas terkait yang menjadi target usernya. Kita harus lebih berempati apa masalah dan kebutuhan mereka, bagaimana produk JDS bisa bantu mereka. Kalau sudah bisa meyakinkan sampai kesana, mereka jadi bisa lebih terbuka dan mau belajar untuk pakai sistem informasi.

Ketiga, aku rasa kita cukup beruntung karena adanya kemauan dari sistem pemerintahan (political will, red.) yang mendukung transformasi digital. Tidak mudah mengubah pola dan budaya kerja manual menggunakan sistem informasi di ranah pemerintahan, apalagi JDS bisa dibilang masih baru “anak kemarin sore”. Tapi karena level pimpinannya mendorong untuk inovatif, misinya jadi sangat mungkin untuk dilakukan!

Menarik! Di artikel ‘The Four Shifts: 2019 in Retrospect’ yang Biondi tulis tahun 2019 silam, kabarnya bakal planning doctoral di 2021. Berkenan untuk update?

Iya nih, the reason why I’m no longer in JDS, salah satunya karena itu. Aku sedang menyiapkan untuk aplikasi sekolah S3 sembari mengerjakan riset di Bank Dunia dan masih mengajar di Universitas Hasanudin, remotely. Aspirasiku ingin bisa tetap kontribusi di JDS untuk keberlanjutan jangka panjang, meskipun secara fisik tidak ada lagi di JDS.

Wah, berat sekali rasanya ditinggal mentor sekaligus inovator sekelas Biondi. Ada pesan yang ingin disampaikan untuk teman-teman di JDS?

Kalau pesannya biasa-biasa aja, enggak apa-apa, ya? (Tertawa) Remember the reason why! Tanpa lihat circumstances-nya, ada atau tidak ada Biondi tidak akan mempengaruhi fokus teman-teman dalam bergabung dan berkarya di JDS.

Tim Implementasi yang non-hirarkis layaknya teman sejawat, gender parity, dan diverse, punya keunggulan untuk dapat lebih banyak sudut pandang ketika deliver produk teknologi yang inklusif buat semua. Aku percaya orang yang menggantikan posisiku akan bisa memberikan banyak hal, lebih baik daripada aku.

***

Biondi akan tetap berkiprah di tempat yang lebih luas dengan aspirasi dan cita-citanya untuk berinovasi. Misinya untuk bantu mempersempit kesenjangan dan melebarkan pemanfaatan teknologi yang inklusif ke 5.312 desa di Jawa Barat tidak muskil dan akan tetap bisa dilakukan, dengan mempercayakan tongkat estafet selanjutnya di tangan anak-anak muda lainnya di Jabar Digital Service.

Seperti yang telah diungkapkan Biondi dalam Laporan Akhir JDS Tahun 2020 silam, kita bisa mengamini satu hal; jika kita siap secara digital, kita bisa lebih sigap menghadapi hal lainnya di kemudian hari.

--

--