Psikologi dan pengalaman pengguna dalam produk digital

Zidny Ilmanafia
Jabar Digital Service
5 min readJun 3, 2021
Nita Fitriani (Kiri) & Zidny Ilmanafia (Kanan)

Transformasi dalam menyediakan layanan terhadap publik sekarang telah banyak ke arah digital. Di sektor swasta kalian pasti sudah tidak asing dengan aplikasi Gojek, Traveloka, OVO, Tokopedia dan aplikasi dengan jutaan pengguna lainnya. Pemerintahan pun tidak mau kalah. Buat mempermudah diseminasi informasi dan layanan publik, aplikasi Sapawarga dan Pikobar yang Jabar Digital Service (JDS) kembangkan jadi contoh implementasinya. Nah, di balik semua aplikasi tersebut, ada proses pengembangan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Mulai dari perancangan dan riset secara teknis maupun bisnis hingga proses mengemas produk tersebut kepada pengguna agar bisa diterima.

Semua proses di balik pengembangan aplikasi memiliki tujuan yang sama, yaitu bagaimana pengalaman pengguna bisa menciptakan umpan balik yang positif bagi pengembang dan menimbulkan perasaan setia pengguna terhadap produk. Berbicara soal pengalaman pengguna, istilahnya dalam ranah industri lebih terdengar familiar sebagai UX atau User Experience. Nah, jika ditilik lebih dalam, ternyata UX punya hubungan dekat dengan ilmu Psikologi. Wah, lagi pedekate, maksudnya? Bukan, dong!

Kalau di JDS, ada yang namanya UI Designer dan UX Researcher. Dua posisi ini sangat berkaitan satu sama lain untuk membuat desain produk digital seperti aplikasi yang tepat guna dan user-oriented. Jika digali lebih jauh, peran seorang UX Researcher adalah melakukan riset dan mengumpulkan insight yang dapat digunakan sebagai acuan desain. Sedangkan UI Designer akan lebih fokus terhadap tampilan dan estetika suatu aplikasi.

Ilustrasi proses perancangan UI. Sumber: unsplash.com

Membuat desain produk digital yang user-oriented masih menjadi tantangan tersendiri bagi seorang UX Researcher. Terpenuhinya kebutuhan pengguna melalui sebuah produk digital menjadi kunci dalam penilaian keberhasilan produk. Bisa memahami psikologis pengguna menjadi proses penting dalam penerapan user-centered design. Dengan begitu, kita dapat mendesain produk yang tepat guna.

‘Pandangan pertamayang memunculkan rasa percaya

Ibarat sebuah hubungan, ketika memulainya harus didasari dengan rasa percaya antara satu sama lain. Begitu pula dengan proses pembuatan aplikasi. Seorang pengguna akan melihat manfaat dari aplikasi dalam sekejap dan memberikan penilaian. ‘Apakah aplikasi ini aman dan terpercaya?’, ‘Bisakah aplikasi ini mengakomodir kebutuhan Saya?’, atau ‘Akankah tampilan aplikasi memudahkan atau justru menyulitkan Saya ketika menggunakannya?’.

Sumber: teknologi.id

Menurut Brian Cugelman, seorang konsultan Psikologi Digital dan Desain Perilaku, hubungan antara daya tarik (charm) dan kredibilitas akan menghasilkan kepercayaan dari pengguna. Artinya, suatu produk dengan tampilan yang cantik akan menjadi istimewa di mata pengguna.

Dalam teori Good UI di atas, pada dasarnya, sebuah produk akan dinilai oleh pengguna dalam 1 menit setelah mereka melihat produk tersebut. Penilaian mereka terhadap aplikasi akan menentukan seberapa besar keinginan mereka untuk memakai aplikasi tersebut. Produk yang sama sekalipun dapat memberikan kesan berbeda kepada pengguna ketika melihatnya. Oleh karena itu, sebuah UI yang baik dapat dikatakan sebagai cara pertama untuk membangun kepercayaan dengan pengguna akan produk yang diciptakan.

Sebagai first impression, ada beberapa elemen yang bisa dijadikan panduan dalam pembuatan aplikasi, sehingga aplikasi tersebut dapat ‘memenangkan’ hati pengguna. Kelima elemen tersebut yaitu clean (berikan informasi yang benar-benar relevan), surface appeal (tidak sekedar memberi tahu, tapi juga tunjukkan caranya), likeable (tingkatkan persepsi pengguna untuk percaya), expertise (detail), dan honesty (keamanan dalam menggunakan aplikasi). Bila elemen-elemen tersebut diterapkan dengan baik, maka kepercayaan pengguna terhadap aplikasi akan mudah didapatkan.

Lalu, bagaimana sih proses aplikasi elemen psikologi dalam pembuatan produk digital di JDS?

Melalui user research, resiko gagal pun berpeluang ada. Namun, dengan menggunakan pendekatan design thinking dalam merancang desain produk, kita dapat mengurangi resiko kegagalan dengan melakukan research dan testing terhadap prototipe produk ke beberapa pengguna sebelum fitur tersebut benar-benar diluncurkan. Dengan demikian, kesulitan yang mungkin dihadapi pengguna saat berinteraksi dengan produk bisa segera teridentifikasi dan diperbaiki.

Selain melakukan user research, mempelajari psikologi memiliki peran yang besar dalam mendesain pengalaman pengguna. Mengapa demikian?

  1. Psikologi mempelajari bagaimana manusia secara umum berpikir, bersikap, dan berperilaku. Manusia itu unik dan sangat berbeda satu sama lain, bahkan kembar sekalipun. Sama halnya dengan motivasi pengguna ketika menggunakan aplikasi. Mempelajari psikologi memudahkan untuk menggali aspek motivasi. Sejalan dengan peran dari seorang UX Researcher, yang memiliki tanggung jawab untuk mengumpulkan insights untuk diterjemahkan ke dalam desain.
  2. Adanya Prinsip Gestalt yang mendeskripsikan bagaimana pengelihatan manusia dalam mempersepsikan elemen visual. Suatu gambar yang kompleks cenderung akan dilihat sabagai bentuk yang sederhana oleh manusia. Prinsip ini seringkali digunakan dalam desain produk agar memiliki kesan yang usable dan mudah dipahami.
  3. Mendesain produk yang dapat digunakan secara mudah masih belum cukup. Menyentuh aspek emosi menjadi penting dalam menciptakan impression yang baik. Meskipun UX dan UI sering kali beriringan, namun tetap memiliki sedikit perbedaan. Mudahnya, UI berfokus ke bagaimana detail visual dari suatu tampilan aplikasi. Sementara UX bisa dikatakan melibatkan bagaimana perasaan pengguna ketika berinteraksi dengan suatu aplikasi.
Photo by Leon on Unsplash

JDS tentunya juga menerapkan elemen psikologi sebagai penentu keberhasilan produk-produknya. Salah satu cara untuk bisa memahami kebutuhan pengguna adalah dengan melakukan user research.

Sebagai tim pengembang produk, seringkali UX Researcher terjebak dalam asumsi tentang pengguna dan menebak-nebak apa yang mereka inginkan. Ada kecenderungan untuk menganggap bahwa semua orang memiliki keinginan yang sama. Tentunya hal ini akan menyebabkan bias, karena sebagai orang yang ikut ‘memasak di dapur’, desainer tentu sudah ‘khatam’ dengan ragam menu yang diproduksi. Padahal bisa saja respon dan pengalaman pengguna terhadap desain yang dibuat bertolak belakang dengan yang diasumsikan.

Dalam prakteknya, UX Researcher JDS akan mencari tau tentang masalah yang terjadi, kemudian dilanjutkan dengan proses riset, dan penentuan design scope. UX Researcher akan berkolaborasi dengan UI Designer untuk mencari peserta dengan kriteria tertentu dan melakukan uji coba (usability testing). Setelah melalui proses uji coba, tim JDS biasanya akan lanjut ke tahap berikutnya, yaitu proses ideation, dimana akan menghasilkan prototipe untuk kemudian dilanjutkan oleh pihak UI Designer. Di tahap ini, UI Designer membuat wireframe sketsa gambar tampilan. Jika tampilan dinilai sudah sesuai dengan hasil riset dan target pengguna, dibuatlah visualisasi akhir dalam bentuk high fidelity. Proses ini menggambarkan sebuah desain yang sudah memiliki warna, font, copywriting, dan elemen-elemen yang sudah dibuat secara detail.

High Fidelity Design Web Ekosistem Data Jabar. Sumber: Jabar Digital Service.

Berdasarkan pemaparan di atas, terbukti bahwa JDS menerapkan elemen expertise dan honesty melalui proses panjang dan perekrutan peserta untuk menilai rancangan aplikasi tersebut. JDS ingin memastikan bahwa rancangan telah sesuai dengan keinginan target pengguna, sehingga diharapkan rancangan aplikasi tersebut bisa mengakomodir kebutuhan mereka. JDS juga menerapkan elemen likeable melalui penyesuaian warna, font, copywriting, dan grafis. Ini semua semata-mata dilakukan agar produk dapat bertahan lama dan memberikan manfaat secara terus-menerus. Elemen clean dan surface appeal juga selalu dimaksimalkan untuk terus menjaga dan mengembangkan kepercayaan pengguna terhadap produk-produk JDS.

“The trick is to show sincerity and authenticity” — Brian Cugelman.

Wah, ternyata ilmu psikologi itu berperan penting dalam pembuatan produk digital sehingga produk itu menjadi bermanfaat bagi para pengguna. Saatnya untuk mulai perhatikan elemen-elemen dan strategi psikologi untuk pengembangan produk digitalmu, nih! Semoga berhasil!

--

--