Percakapan dengan Ibrahim Ukrin, Project Officer Sapawarga, soal suka duka mengajak RW gunakan teknologi digital

Nea Ningtyas
Jabar Digital Service
7 min readAug 6, 2020
Dua Ketua RW Jabar mencoba aplikasi Sapawarga di sebuah pelatihan. Foto oleh: Fakhri Luthfi/Jabar Digital Service.

Digitalisasi tata kelola dan layanan publik mungkin kini sedang jadi perhatian semua institusi pemerintahan. Bagi Jawa Barat, impian mengadopsi inovasi teknologi untuk melayani warga ini langsung dihadapkan kepada rintangan menantang dalam realisasinya: masyarakat Jawa Barat, populasi terbesar Indonesia, kebanyakan tinggal di daerah rural yang aksesnya kepada teknologi dan literasinya dalam menggunakan inovasi digital mungkin masih sangat terbatas.

Jawa Barat memiliki demografi yang cukup beragam. Bandung dan kota-kota satelit Ibukota Jakarta—Bogor, Depok, Bekasi—misalnya, tidak punya masalah dalam mengakses internet dan berbagai inovasi teknologi lainnya. Namun, Jawa Barat juga punya 5.312 desa tersebar di seluruh wilayahnya; di antaranya terdapat desa di mana belum tersedia fasilitas semudah, sebanyak, dan secanggih yang ada daerah urban.

Ridwan Kamil bercita-cita Jawa Barat menjadi sebuah Provinsi Digital; yang diterjemahkan dengan misi untuk mentransformasi layanan publik dan komunikasi dengan masyarakat secara digital. Namun, dengan kesenjangan digital antara wilayah rural dan urbannya yang nyata, tentu saja muncul pertanyaan: jika banyak wilayah Jawa Barat belum memiliki fasilitas dan literasi digital yang memadai untuk mengakses dan menggunakan teknologi, bukankah layanan publik digital akan menjadi semakin tidak inklusif?

Program “Sapawarga” yang dijalankan oleh Jabar Digital Service di bawah naungan Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat menjadi langkah awal untuk memastikan digitalisasi pemerintahan tidak justru memperparah kesenjangan yang sudah terjadi. Sapawarga menjajal konsep portal komunikasi dan layanan publik satu pintu melalui pengembangan aplikasi dan pemberian hibah ponsel pintar bagi Ketua RW se-Jawa Barat.

Pengembangan aplikasi, sederhana atau canggih, bukan bagian paling menantang dalam dijalankannya program Sapawarga. Jabar Digital Service punya talenta IT yang tidak kalah saing di tengah riuhnya persaingan pasar sumber daya manusia di masa meriahnya startup digital dewasa ini. Namun lain cerita soal implementasi program ini di lapangan—cerita suka duka mengajak target pengguna kita, para Ketua RW dari berbagai wilayah dengan karakter berbeda-beda di seluruh penjuru Jawa Barat.

Di tengah kesibukan para penggerak Sapawarga yang semakin padat di masa pandemi, penulis sempat berbincang dengan Project Officer Jabar Digital Service yang bertanggung jawab menjalankan program ini di lapangan: Ibrahim Ukrin.

Berikut transkrip percakapan kami.

Coba perkenalkan diri kamu ke Sobat JDS yang sedang baca!

Ibra: Halo namaku Ibra, Project Officer di JDS untuk program Sapawarga. Sekarang sedang berkolaborasi banyak dengan Nea dan teman-teman lain di program Jaring Pengaman Sosial, khususnya verifikasi data calon penerima Bantuan Sosial Provinsi lewat aplikasi Sapawarga.

Ibrahim Ukrin, yang bertugas di Jabar Digital Service untuk mengimplementasi program Sapawarga di seluruh penjuru Jawa Barat. Foto: Koleksi Pribadi.

Waktu pertama kali diberi tanggung jawab untuk eksekusi Sapawarga di lapangan, apa ekspektasi Ibra tentang tantangan dalam implementasi program ini?

Ibra: Menantang banget. Pertama, demografi user kita kan Ketua RW di Jawa Barat—kita tahu banget nggak semuanya familiar dengan internet dan aplikasi mobile, terutama yang tinggal di wilayah rural.

Contoh, deh. Belakangan, ‘ kan, kita implementasi Sapawarga buat verifikasi data penerima bantuan sosial. Yang melakukan Ketua RW sama Admin di Desa atau Kabupaten/Kota.

Digitalisasi masif dengan target 100% di awal kebijakan ini ‘nggak make sense, ‘kan? Tapi sejujurnya I have no idea about it at first, seriously. Aku pikir waktu itu dalam keadaan terdesak orang akan lebih mudah beradaptasi [dalam menggunakan teknologi digital]. Tapi, ternyata dari tiga tahap bansos yang sudah berjalan, dalam konteks implementasi, bansos tahap 1 itu cuma pengenalan kembali [penggunaan Sapawarga]. Karena banyak juga RW yang belum log-in kembali ke Sapawarga.

Menggerakan kembali sosialisasi Sapawarga setelah sempat dormant beberapa bulan, plus melobi pihak-pihak yang ‘nggak kenal Sapawarga untuk percaya sama kita dalam proses pendataan bantuan sosial itu tantangan besar banget.

Waktu itu aku ditanya sama supervisor, “Menurut kamu Sapawarga bisa dipakai buat proses mendata bantuan sosial ‘nggak?” Karena terlampau excited program ini bisa dipakai buat bantu penanganan masalah ekonomi COVID-19, waktu itu sih optimis-optimis aja dan bilang “Ya!”. Tiba-tiba langsung ‘nggak tidur bener selama 3 bulan. Hahaha.

Sapawarga, kan, punya demografi target pengguna yang cukup unik: Ketua RW yang biasanya paruh baya, kurang familiar dengan teknologi, dan kebanyakan dari daerah rural yang mungkin punya akses terbatas ke teknologi/internet. Gimana strategi yang dilakukan dalam mengajak dan mendampingi RW menggunakan teknologi yang nggak familiar buat mereka ini?

Ibra: Well, dalam waktu yang sangat terbatas kita melakukan banyak jenis strategi. Tapi, intinya adalah memberikan informasi dan melakukan persuasi.

Memberikan informasi dilakukan melalui kampanye media sosial, pesan Whatsapp, atau menanggapi keluhan via hotline. Kami juga membuat membuat buku panduan dengan gambaran visual serta beberapa video. Pesan-pesan yang kami sampaikan juga mengadaptasi penerapan ilmu perilaku, supaya idenya DIBELI oleh pengguna. Dalam membuat konten-konten tersebut kami kolaborasi dengan tim komunikasi Jabar Digital Service, yang juga bekerja sama erat dengan Biro Humas Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

Aksi persuasi juga tidak kalah penting, hal ini dilakukan dengan melakukan pelatihan secara berjenjang (yang sebenarnya sudah dilakukan sebelum Sapawarga jadi platform pendataan bantuan sosial untuk terdampak pandemi COVID19). Para Ketua RW dilatih oleh Pendamping Lokal Desa dan Perangkat Desa, yang sebelumnya telah dilatih oleh Dinas Komunikasi dan Informatika. Di sanalah Ketua RW biasanya mengalami first hand experience mereka dengan aplikasi Sapawarga. Melalui bimbingan langsung dari Pendamping Lokal Desa dan Perangkat Desa yang tidak kenal lelah inilah banyak Ketua RW yang tadinya tidak bisa menggunakan gawai kini dapat menggunakan aplikasi digital.

Seorang Ketua RW yang membantu Tim Sapawarga di JDS untuk mengetes usability aplikasi Sapawarga. Foto oleh: Fakhri Luthfi/Jabar Digital Service

Berdasarkan pengalaman, sampai titik implementasi saat ini, apa yang menurut Ibra paling menantang dalam acquire Ketua RW sebagai pengguna Sapawarga?

Ibra: Sebenarnya hal paling sulit itu menebak mengapa sesuatu tidak berjalan sesuai rencana. Karena, kadang waktu untuk merancang rencana kita cukup singkat, jadi kita bisa saja baru sadar di tengah-tengah bahwa, oh ternyata kita salah. Proses ini memang butuh kelapangan dada menerima kesalahan dalam waktu cepat dan segera setelahnya memutar otak dan mencari solusi atas nasi yang sudah jadi bubur. Iterasi dan AB testing adalah teman setia dalam menjawab tantangan ini.

Menurut Ibra, kesulitan dan tantangan dalam ngajak RW beradaptasi dengan teknologi itu ‘worth the hassle’ nggak sih?

Ibra: Kalau denger cerita Pendamping Lokal Desa, tuh, kadang bikin terharu. Perjuangan mereka segitu beratnya dalam membimbing agar Ketua RW ini bisa beradaptasi teknologi. Maksudnya, aku jadi tahu bahwa hal ini penting dan aku ‘nggak berperang sendirian, teman-teman Pendamping Lokal Desa ini kadang sampai jadi orang yang sabar banget menanggapi ketidaktahuan Ketua RW soal teknologi; yang kadang mungkin ketidaktahuan mereka buat kita itu simpel banget sebenarnya. ‘Nggak semua orang ternyata terbiasa untuk klik-klik layar handphone, masalah memori penuh, atau bahkan tentang email. Bahkan, beberapa di antara mereka ada loh yang bantu memperbaiki handphone Ketua RW, seriusan!

Tapi, kalau denger para Ketua RW aktif di fitur ‘Kegiatan RW’ di Sapawarga atau aktif berkomentar di fitur Info Penting, senang bahwa ternyata teknologi ‘nggak mengenal batasan umur; semua bisa belajar, asal ada kemauan.

Secara umum, Ketua RW lebih resisten atau semangat, sih, buat menggunakan teknologi ini?

Ibra: Hihihi, mungkin bukan resisten, ya, tapi memang butuh kesabaran aja. Alias kadang ada yang udah ‘nggak nyaman atau pesimis duluan. Secara growth pengguna aplikasi, untuk mencapai 50% saja butuh waktu 6 bulan. Tapi, senengnya, Ketua RW yang semangat, ya semangat banget buat mencoba Sapawarga.

Tadi udah sempat dibahas; di tengah pandemi, Sapawarga tiba-tiba jadi wadah partisipasi publik dalam pelaksanaan jaring pengaman sosial. RW punya peran krusial dalam pendataan penerima bansos yang terdampak ekonominya akibat COVID-19. Boleh diceritain bagaimana Ketua RW berpartisipasi dalam program ini?

Ibra: Berbeda-beda, sih. Ada yang patriotik banget, senang dengan tanggung jawab ini. Ada yang merasa direpotkan; dan menurutku itu manusiawi. Di sini memang akhirnya skill persuasi dan komunikasi kita sangat diuji sekali untuk memastikan mereka siap menerima peran tersebut. Makanya, tidak hanya Ketua RW saja sebenarnya yang berperan; ada PLD, ada Perangkat Desa, Puskesos, dan Karang Taruna juga turut serta. Idealnya, sih, mereka bahu-membahu dalam menyelesaikan permasalahan bansos bersama-sama. Tapi, memang pelaksanaannya berbeda-beda di setiap tempat.

Seorang Ketua RW di Kecamatan Cicendo, saat kami tanya pendapatnya mengenai penggunaan Sapawarga untuk melakukan verifikasi data penerima bantuan sosial untuk warga terdampak COVID-19. Spoiler: beliau bilang Sapawarga sangat membantu efisiensi proses ini! Foto oleh: Fakhri Luthfi/Jabar Digital Service.

Dari pengalaman mengawal penggunaan Sapawarga buat pendataan bansos, yang bisa dibilang kita “dipaksa” untuk convince RW menggunakan Sapawarga, apakah kamu mendapat pencerahan soal bagaimana ke depannya usaha kita acquire dan maintain user RW?

Ibra: Hmm, ada beberapa insight yang aku dapat, kira-kira begini:
(1) Bagaimana cara kita mengapresiasi setiap Ketua RW agar mereka betah di dalam ekosistem Sapawarga, termasuk bagaimana cara kita untuk mendengar keluhan mereka agar kualitas layanan bisa meningkat.

(2) Bagaimana kita mampu menggaet dinas-dinas untuk dapat berkolaborasi dalam menyediakan layanan digital yang relevan di masyarakat.

(3) Bagaimana kita mampu membuat persuasi melalui kampanye ramah biaya yang kreatif dan menarik (di zaman COVID-19 ini harus berhemat anggaran, tapi ngga boleh miskin ide).

(4) Mungkin kita harus buat virtual event untuk Ketua RW, eksperimen kita mengundang Ketua RW ke acara TechUpdate kemarin mungkin bisa jadi pilot project kita untuk melaksanakan ide ini.

(5) Tapi, virtual event-nya mungkin tidak harus yang boros kuota, bisa juga dengan kompetisi posting memanfaatkan fitur Kegiatan RW.

Begitulah percakapan kami, rekan-rekan pembaca.

Digitalisasi memang selalu menjadi gagasan yang diperdebatkan, terutama soal bagaimana memastikan transformasi ini inklusif; tidak meninggalkan siapa pun dalam prosesnya. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dunia, kita perlu menyamakan ritme langkah pengambilan keputusan agar tidak tertinggal, tapi juga tidak meninggalkan—dan mungkin, daripada kebingungan dan menghindari gagasan ini, baiknya kita fokus mencari cara bagaimana digitalisasi bisa nikmati semua kalangan di tengah berbagai kesenjangan; seperti apa yang sedang dilakukan Ibra dan rekan-rekan JDS di Jabar lewat Sapawarga!

--

--