Photo by Marten Newhall on Unsplash

Apa yang Tubuhmu Sukai Dari Nonton Film Horor

Sucia Ramadhani
Jadi Bagaimana?
Published in
11 min readOct 25, 2020

--

Kita mungkin pernah bertanya-tanya mengapa ada orang yang gemar sekali dan dengan sengaja mau menghabiskan waktu dan uangnya demi menonton sebuah film dengan sosok makhluk menyeramkan, lalu menjerit-jerit saat menontonnya, dan ketakutan setelah menontonnya. Tapi entah kenapa, film horor tak pernah sepi peminat. Semakin menyeramkan sosok hantunya, semakin menakutkan ceritanya, semakin mencekam setting tempatnya, dan semakin ‘berdarah’ adegannya, maka akan semakin antre pula penontonnya, belum lagi didukung dari segi komersialnya seperti siapa artis dan sutradara dibaliknya.

Film horor selain memiliki sisi magisnya tersendiri sepertinya juga memberikan semacam efek lainnya berupa pleasure, kesenangan, atau sensasi tersendiri bagi para penggemarnya yang barangkali juga sensasi semacam ini tak ditemukan pada aktivitas lain. Dalam bukunya yang berjudul Dark Dreams: A Psychological History of The Modern Horror Film, Charles Derry mengatakan bahwa secara garis besar film horor terdiri dari 3 sub-genre yakni horror of personality, horror of armageddon, dan horror of the demonic:

Horror of Personality

Dalam film horor yang dikategorikan sebagai horror of personality, antagonis atau sosok yang ditakuti dalam film ini bukanlah berupa sosok hantu atau iblis, melainkan manusia biasa yang menyimpang kepribadian dan psikologisnya, yang biasanya juga diikuti karena faktor trauma masa kecil, masa lalu yang buruk, dendam, terlibat sekte sesat atau ilmu hitam, memang punya hasrat yang jahat, dan lainnya. Tokoh manusia biasa yang kadang tak disangka merupakan antagonis dalam film tersebut kemudian digambarkan bagaikan sosok iblis, monster, atau psikopat yang tak ragu membunuh dan menyakiti banyak orang. Contohnya misalnya seperti si kanibal Hannibal Lecter dalam film The Silence of The Lambs, si psikopat Jason Voorhes dalam Friday The 13th, begitu juga antagonis dalam film Orphan, Get Out, dan Memoir of A Murderer.

Horror of Armageddon

Sesuai namanya, horror of armageddon merupakan genre film horor yang menceritakan tentang sesuatu yang keberadaan atau kedatangannya membawa kehancuran bagi dunia, bencana, kiamat, dan dapat membinasakan umat manusia. Antagonisnya dapat berupa makhluk asing menyeramkan yang menginvasi bumi, serangan monster purba atau monster hasil eksperimen, zombie, bencana alam (meteor, tsunami, tornado, gunung meletus), atau malah gabungan dari semuanya. Contohnya misalnya seperti film Aliens, Predator, A Quiet Place, dan World War Z.

Horror of The Demonic

Sedangkan sub-genre yang ketiga ini nampaknya adalah sub-genre yang paling digemari karena antagonis utamanya adalah sosok-sosok supranatural atau fantasi seperti segala jenis hantu, setan/iblis, vampir, jelmaan spirit atau evil force, dan lainnya. Bisa ditebak, bagaimana cara-cara mengerikan antagonis ini meneror, merasuki, menyerang, menyiksa, dan membunuh manusia merupakan adegan paling menakutkan, tapi juga sekaligus menjadi daya tarik utama dan paling dinanti-nanti oleh penontonnya. Genre film ini terus tumbuh subur dan begitu juga para penggemarnya, seperti franchise The Conjuring, Hereditary, Pet Sematary, Pengabdi Setan, Keramat, Beranak dalam Kubur, dan banyak lagi.

Meskipun begitu, di zaman sekarang ini dan dengan semakin kreatifnya para sutradara dan tuntutan penonton, banyak film horror dan thriller yang telah berkembang genre-nya dan tidak terbatas pada genre itu-itu saja.

Pada dasarnya semua genre film horor memiliki inti yang sama: sosok menakutkan, adegan mengerikan, serta jalan cerita yang mencekam dan tak mudah ditebak. Lalu kenapa banyak orang menggemarinya?

Ada faktor ketegangan, relevansi, dan ketidaknyataan (Tension, Relevance, Unrealism)

Dalam penelitiannya yang berjudul, Understanding the Popular Appeal of Horror Cinema: An Intergrated-Interactive Model”, Glenn Walters mengemukakan bahwa ada tiga sebab utama mengapa seseorang bisa begitu tertarik pada film horor, yaitu karena faktor tension, relevant, dan unrealism.

Penonton biasanya menyukai film horor karena jelas memberikan ketegangan (tension) dari awal sampai akhir film yang dapat membuat jantung berpacu, seperti kemunculan hantu yang tiba-tiba, jalan cerita yang tak diduga, tegang melihat adegan perseteruan, dan lainnya. Tentunya hampir semua jenis film memberikan unsur ketegangan, tapi dalam film horor, tension yang dirasakan bisa bercampur aduk dengan rasa takut, rasa jijik ketika melihat adegan yang berdarah, terkejut atau shock karena hal tak terduga, perasaan “alert” atau “warning” karena merasa ada bahaya yang akan muncul, rasa ngeri dan mual ketika melihat penyiksaan, tapi juga bercampur dengan rasa penasaran dan antusias yang dapat membuat jantung berdebar-debar tapi sekaligus juga memberikan rasa senang dan semakin membuat kita tidak mau beranjak dari kursi bioskop atau layar TV.

Film horor juga memberikan relevansi, atau orang-orang suka menonton film horor karena merasa ada hubungan antara dirinya atau hidupnya dengan apa yang terjadi dalam film itu. Misalnya, sama-sama takut hantu, takut ke tempat gelap, takut sendirian, atau mungkin relevansi lainnya yang bersifat universal seperti berkaitan dengan pengalaman hidup, sosial, lingkungan, agama, dan lainnya.

Dan terakhir tentu saja, namanya juga film, pasti ada unsur ketidakrealistis (unrealism) atau ketidaknyataan di dalamnya. Semenakutkan apapun, kita tahu bahwa sosok hantu itu hanyalah seorang artis yang didandani, segala efeknya adalah hasil editan, adegan penyiksaan dan pembunuhannya telah diatur sedemikian rupa dengan darah palsu, namun tetap disajikan dengan apik sehingga semua adegan fake itu tetap membuat kita bergidik dan tertarik untuk menontonnya, dan kita juga tidak merasakan ketakutan yang sebenarnya. Selain itu, di film horor juga banyak adegan yang tidak diduga dan sulit ditebak. Misalnya seperti ketika para tokoh memasuki sebuah rumah atau hutan yang jelas-jelas tampak angker, sengaja melakukan sesuatu yang melanggar atau membuat marah si hantu, malah mematung ketika bahaya datang dan bukannya lari, dan adegan-adegan serupa lainnya yang membuat kita gemas, tak habis pikir, tapi sekaligus dag-dig-dug menanti kelanjutannya.

Memancing reaksi hormon adrenalin dan dopamin dalam tubuh

Tubuh dan otak manusia dilengkapi dengan hormon-hormon yang akan muncul seiring dengan berbagai reaksi, pengalaman, dan perasaan yang kita rasakan selama hidup. Ketika kita melakukan berbagai aktivitas dan merasakan perasaan senang, sedih, takut, bersemangat, lelah, ada hormon-hormon yang juga ikut berperan.

Dalam konteks melakukan aktivitas menantang dan menakutkan seperti menonton film horor yang dilengkapi dengan adegan-adegan menakutkan dan jalan cerita mencekam, ada pengaruh dari hormon adrenalin dibaliknya. Seperti yang kita tahu, segala aktivitas yang bersifat menantang, menakutkan, dan menguji nyali semuanya melibatkan adrenalin. Adrenalin adalah suatu hormon dalam tubuh kita yang otomatis akan diproduksi oleh kelenjar adrenal setiap kali kita merasa terancam, ketakutan, atau berada dalam bahaya. Otak tidak bisa membedakan stimulus ketakutan tersebut, apakah itu ketakutan yang nyata ataupun yang kita rasakan melalui film.

Ketika kita melakukan aktivitas apapun yang bersifat menantang, mengancam bahaya, dan merangsang rasa takut, amygdala yang terletak di bagian lobus temporal otak otomatis akan mengaktifkan hipotalamus, yang memerintahkan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon adrenalin, sehingga tubuh kita bereaksi, bersemangat, jantung terpacu yang membuat darah dan oksigen yang diangkutnya mengalir lebih deras, keringat mengucur, bahkan terkadang disertai rasa mual, karena otak benar-benar merasa kita berada dalam bahaya.

Semua reaksi antara otak dan adrenalin ini juga dapat menimbulkan respon fight, flight, or fright bagi kita, sehingga akan menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap rasa takut dan bahaya itu, apakah kita akan menghadapinya, apakah kita akan kabur, atau malah pingsan. Bagi para adrenaline junkie, mereka sangat menggemari sensasi semacam ini, makanya kerap mencari berbagai penyalurannya ke aktivitas-aktivitas menantang adrenalin seperti olahraga berbahaya, naik wahana ekstrem, menonton film horor, dan lainnya.

Ilustrasi Perjalanan Neuron

Ketika kemudian tubuh menyadari bahwa sensasi ketakutan itu tidak nyata, semata-mata kita dapatkan dari film dan bukannya dari situasi yang benar-benar mengancam nyawa, sistem syaraf parasimpatetik kita akan me-reversed adrenalin dan menurunkan detak jantung menjadi normal kembali.

Selain adrenalin, ada juga hormon lainnya yang ter­-trigger ketika kita menonton film horor, yakni dopamin, sebuah neurotransmitter yang diproduksi ketika kita merasa senang, positif, ataupun ketika kita melakukan aktivitas yang mendebarkan. Banyaknya kadar dopamin yang dikeluarkan juga akan mempengaruhi seberapa candunya (addicted) kita berada dalam situasi berbahaya, menantang, dan penuh risiko. Namun, menurut pakar neurosains bernama Professor David Zahl, kadar dan respon seseorang akan dopamin tersebut bisa berbeda-beda tiap orangnya. Ada yang begitu terpengaruh oleh dopamin ini sehingga juga menganggap menonton film horor sebagai sesuatu yang menyenangkan, tapi ada juga yang tidak terpengaruh dan lama-kelamaan memprosesnya sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan. Efek dopamin juga mempengaruhi setelah kita selesai menonton film horor, kita akan merasa excited, lega, serta percaya diri karena berhasil menaklukkan suatu pengalaman menegangkan dan penuh risiko, sehingga ini juga dapat meningkatkan self-esteem kita. Mengagumkan rasanya bagaimana seseorang dapat merasakan ketakutan, ketegangan, dan kesenangan sekaligus ketika menonton film horor.

Pengaruh kepribadian high sensation or thrilled-seeking

Selain dari faktor tubuh seperti hormon dan otak, ada penjelasan ilmiah dari sisi psikologis yang mengungkapkan kenapa beberapa orang menggemari film horor. Dilansir dari Healthy Aging, seorang profesor psikologi dari University of Delaware bernama Marvin Zuckerman, Ph.D. mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki hasrat akan petualangan, tantangan, dan sensasi seru (thrill-seeking) sesungguhnya merupakan bagian dari ciri kepribadian (personality trait) high sensation-seeking miliknya. Dikutip dari Psychology Today, sensation-seeking personality trait menurut Marvin Zuckerman, Ph.D. adalah:

“Sensation-seeking, or also called thrilled-seeking is a personality trait defined by the search for experiences and feelings that are varied, novel, complex, and intense, and by the readiness to take physical, social, legal, and financial risks for the sake of such experiences.

Thrill-seekers aren’t motivated by danger. They’re driven to conquer new challenges and soak up every experience life has to offer — and they simply don’t let danger dissuade them.”

Penelitian juga menunjukkan bahwa kepribadian high sensation-seeking mempengaruhi selera seseorang terkait aktivitas, hobi, musik, film, serta hiburan dan kegiatan lainnya, inilah sebabnya mengapa ada orang yang menganggap aktivitas-aktivitas menantang seperti bungee jumping, panjat tebing, balapan motor, serta menonton film horor sebagai hiburan dan ada juga yang tidak. Jika kamu tertarik ingin mengetahui lebih lanjut tentang sensation-seeking personality trait dan mencoba alat tesnya yaitu Brief Sensation-Seeking Scale (BSSS) yang juga dibuat oleh Zuckerman, kamu bisa klik disini.

Efek dari teori “Uncanny Valey” oleh Sigmund Freud

Sigmund Freud, seorang pakar psikoanalisa yang terkenal akan teori-teori psikologinya yang berkaitan dengan alam bawah sadar memperkenalkan konsep “uncanny” dalam penelitiannya yang berjudul “The Uncanny” (Das Unheimliche). Freud mendefinisikan uncanny sebagai

“Something that is familiar but incongruous and, due to this paradox, creates cognitive dissonance”

Atau bisa diartikan sebagai adanya suatu kondisi keterbatasan akal dan intelektual dalam memahami suatu objek, bentuk, situasi, atau kejadian, sehingga menimbulkan perasaan yang menakutkan pada diri kita terkait hal tersebut dikarenakan manifestasi dan asosiasi pikiran kita sendiri. Terkait dengan itu, Freud sendiri mendefinisikan horor sebagai:

“A manifestation of the uncanny reoccurring thoughts that are lying in our consciousness by repressed by our ego, but is not familiar to us.”

Efek uncanny yang kita rasakan inilah kemudian yang “dimanfaatkan” oleh para pembuat film horor untuk membuat filmnya menarik bagi banyak orang, dengan menghadirkan sosok yang tampilannya menakutkan, memberikan musik latar bernuansa mencekam yang mendukung adegan horor, setting tempat yang ditampilkan angker, efek darah dan menjijikan, dan banyak lagi. Tanpa merasakan uncanny ini, maka film-film horor dan sosok-sosok seram tak akan ditakuti lagi.

Freud meyakini bahwa efek uncanny bisa dirasakan seseorang bahkan dari objek atau sesuatu dari kehidupan kita yang awalnya biasa saja, tapi kemudian menjadi sosok atau sesuatu hal yang menyeramkan dan kita menjadi takut terhadapnya. Efek uncanny ini juga terkadang dibahas sebagai “uncanny valley”, dan memiliki konsep yang cukup luas, dan dapat menjelaskan beberapa fenomena ketakutan yang dirasakan seseorang, misalnya ketakutan terhadap badut, boneka manusia, serta daya tarik dari film horor.

Dalam kasus badut, misalnya. Ada beberapa orang yang biasa saja ketika melihat sosok badut, ada yang menganggapnya lucu, tapi ada juga yang takut ketika melihat badut, terutama anak kecil. Ini karena efek uncanny yang dirasakan seseorang terhadap badut, ketika melihat sesuatu yang tampak seperti manusia, tapi sesungguhnya bukan. Ini tentang bagaimana akal dan persepsi kita memprosesnya. Kita biasa-biasa saja ketika melihat boneka beruang, boneka karakter kartun, atau boneka puppet yang dibuat dari kaus kaki, tapi ketika melihat boneka anak perempuan berambut panjang dengan bibir merah dan mata yang mirip sekali dengan sosok manusia, atau robot android yang betul-betul menyerupai wajah manusia, atau bahkan badut yang tampak seperti manusia tapi dengan hidung merah, wajah dicat, disertai ekspresi yang poker face tapi terkesan creepy dan aneh, kita akan merasa ganjil sendiri. Semua itu bukan manusia, tapi dibuat semirip mungkin menyerupai wujud manusia, sehingga otak kita akan menciptakan persepsi tersendiri terhadapnya.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, fenomena uncanny valley yang kita rasakan inilah yang “dimanfaatkan” para pembuat film horor. Badut dan boneka kemudian dijadikan tokoh jahat yang membunuh manusia dalam film, seperti di boneka Billy dalam film horor legendaris Saw, Chucky: Child’s Play, Annabelle, badut Pennywise dalam It, Poltergeist, dan Joker, sehingga semakin banyak orang yang mengasosiasikan badut dan boneka dengan rasa takut, meskipun awalnya badut dan boneka hanyalah sosok biasa yang lucu.

Film horor juga selalu didukung oleh banyak faktor pendukung yang menambah rasa seram, seperti tempo musik yang tiba-tiba senyap lalu tiba-tiba mencekam, angle yang pas menyorot adegan seram, lightning yang redup dan kelap-kelip, latar tempat yang gelap dan terkesan angker, dan faktor-faktor lainnya, sehingga menambah efek uncanny yang kita rasakan. Banyak film horor yang mengambil latar di malam hari karena orang mengasosiasikan malam hari yang gelap dan sepi lebih menyeramkan dibanding siang hari, meskipun kemudian ada juga Midsommar, sebuah film horor yang membuat gebrakan dengan berlatar di siang hari dan saat festival bunga. Kita mungkin awalnya biasa saja ketika melihat bayangan di jendela, mendengar tangisan bayi tetangga, atau melewati sebuah pohon tua, tapi efek uncanny dapat membuat kita mempersepsikan semuanya sebagai sesuatu yang seram.

Nah, selain berbagai faktor diatas, masih ada banyak lagi faktor-faktor lainnya yang mendorong orang untuk menonton dan menikmati film horror atau thriller, seperti sebagai pelampisan dari masalah hidupnya yang pelik, karakteristik masyarakat Indonesia yang memang menyukai hal-hal berbau spiritual dan gaib, kecenderungan seseorang untuk merasakan sensasi thriller tapi tidak mau (atau tidak berani) benar-benar berada dalam bahaya dan pergi ke tempat keramat, ingin melihat pengungkapan misteri, perjuangan, dan tindakan heroik tokoh utama dalam bertahan hidup (meskipun tak jarang juga tokoh utamanya justru bernasib tragis), menanti-nanti plot twist yang akan terjadi, dan banyak hal lainnya.

Dan meskipun dapat membuat kita bermimpi buruk dan trauma, terkadang terselip juga pesan dan nilai moral di dalam film horor, seperti agar kita sebagai manusia selalu menjaga keseimbangan dan menghormati alam, tidak mengganggu tatanan alam, tidak merusak alam, tidak main-main dengan adat atau tradisi, tidak cari gara-gara, tidak rakus dan mementingkan diri sendiri, serta tetap berhati tulus dan berani dalam setiap kejadian.

Setiap orang bisa berbeda-beda, kembali ke dirinya masing-masing. Jika kamu tidak menemukan kesenangan dalam menonton film horor, itu tidak serta-merta berarti kamu seseorang yang penakut atau tidak suka hal-hal berbau menantang. Kamu dapat mencari kesenanganmu dalam banyak kegiatan lainnya yang cocok denganmu.

--

--

Sucia Ramadhani
Jadi Bagaimana?

Ambivert who study PSYCHO-logy | Counselor | Researcher | Debater (this is my 2nd account)