Photo by Noah Silliman on Unsplash

Cabin Fever: Ketika #dirumahaja Terasa Menyiksa

Sucia Ramadhani
Jadi Bagaimana?
Published in
4 min readJun 10, 2020

--

Memasuki bulan keempat karantina mandiri di rumah, apakah Anda mulai merasakan hal-hal seperti gelisah, tertekan, mood yang gloomy, lebih sensitif, pola makan, tidur, dan produktivitas terganggu, hingga bosan berkepanjangan? Bisa jadi Anda mengalami apa yang disebut sebagai cabin fever, yang terjadi akibat terlalu lama terisolasi di suatu tempat.

Cabin fever atau demam kabin ini bukanlah istilah baru. Menurut kamus Merriam-Webster, istilah cabin fever pertama kali digunakan di dunia sejak tahun 1918. Dalam artikel edukasi HIMPSI yang ditulis oleh psikolog Dr. Rini Sugiarti, dikatakan bahkan cabin fever digunakan kembali pada awal tahun 1990-an untuk mendeskripsikan keadaan orang-orang yang terisolasi di kabin pesawat karena udara yang teramat dingin. Sedangkan di Indonesia, istilah ini baru dikenal akhir-akhir ini setelah adanya pandemi COVID-19 yang mengharuskan masyarakat berdiam diri di rumah selama 3 bulan lebih.

Perasaan bosan berkepanjangan, merasa terkurung, mood yang selalu sedih dan negatif, dan tak semangat melakukan apapun yang dialami para penderita cabin fever dapat terjadi karena banyak hal, tidak melulu terjadi karena terlalu lama berdiam di rumah seperti yang dialami kebanyakan orang saat ini. Dr. Rini Sugiarti juga menuturkan bahwa demam kabin dapat dialami oleh mereka yang merasa terisolasi di berbagai tempat tertentu, seperti terisolasi di suatu pondok liburan, terlalu lama berada di dalam kapal selam, bahkan terisolasi dari peradaban.

Sekilas mungkin terlihat mirip, tapi cabin fever ini berbeda dan tidak memiliki keterkaitan dengan klaustrofobia, yaitu orang yang memiliki fobia atau takut akan tempat sempit. Klaustrofobia dapat digolongkan kepada gangguan kecemasan yang irasional. Penderitanya memiliki kecemasan dan ketakutan yang berlebihan bahwa mereka akan terjebak dan tidak dapat menemukan jalan keluar, makanya kemudian memicu ketakutan mereka pada tempat yang sempit. Sedangkan cabin fever bukanlah suatu bentuk kecemasan atau ketakutan, melainkan kondisi nyata yang dialami seseorang diakibatkan perasaan terjebak dan tertekan karena merasa terkurung dalam suatu tempat dalam waktu yang lama. Para penderita cabin fever juga merasa mereka “terputus” dari dunia luar.

Cabin fever memang menimbulkan berbagai dampak negatif secara psikologis, sepintas mirip dengan klaustrofobia, dan dianggap sering dialami oleh para ekstrovert, namun sebenarnya cabin fever itu sendiri tidak termasuk ke dalam penyakit kejiwaan dan tidak dikategorikan dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder, sebuah buku berisi penggolongan berbagai gangguan mental yang menjadi pedoman dalam psikologi dan psikiatri).

Oleh karena itu, Psikolog Nago Tejena menuturkan bahwa sebaiknya cabin fever jangan kita anggap atau kita asumsikan sebagai sebuah penyakit mental, tapi lebih kepada suatu istilah yang cocok untuk menggambarkan fenomena saat ini, yaitu merasa bosan dan terperangkap dalam rumah.

Alih-alih mencoba mendiagnosi diri sendiri ‘terserang’ oleh cabin fever, baiknya kita fokus mengevaluasi diri sendiri kenapa kita merasa terjebak di rumah sendiri, apa yang dapat kita lakukan untuk membunuh kebosanan tersebut, and stay happy.

Cabin fever juga tidak terbukti hanya menyerang para ekstrovert, karena cabin fever dapat menyerang siapapun yang merasa terisolasi tanpa memandang jenis kepribadiannya. Mereka yang menganggap dirinya ekstrovert barangkali memang merasa merana dan terjebak di dalam rumah karena ekstrovert cenderung lebih nyaman dan lebih suka berada dalam keramaian di luar rumah, bergaul dengan teman-teman, dan bersosialisasi dengan orang banyak. Di rumah, semua kegiatan tersebut terpaksa tertunda, sehingga para ekstrovert barangkali membutuhkan proses adaptasi lebih lama untuk menerima keadaan ini.

Dan juga tidak ada bukti konkret bahwa intovert tidak bisa terserang cabin fever. Kebalikan dari ekstrovert yang merasa nyaman dalam keramaian, intovert memang merasa lebih nyaman dalam kesendirian dan dunianya sendiri serta sebagian lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau kamarnya, namun terlalu lama terisolasi di rumah dan selalu melakukan rutinitas yang itu-itu saja atau bahkan tidak memiliki rutinitas apapun pastinya akan membuat siapapun lama kelamaan merasa tidak tahan. Dalam situasi pandemi saat ini dimana banyak orang terpaksa diam, beraktivitas, dan bekerja di rumah tanpa ada kepastian sampai kapan, fenomena cabin fever ini dapat menyerang siapa saja.

Lalu, bagaimana cara menangani cabin fever? Ada banyak artikel mengenai hal tersebut yang bisa kita cari dari internet mengingat istilah ini sedang hangat-hangatnya saat ini, namun semua solusinya kembali lagi kepada kita: apa yang sesungguhnya kita butuhkan?

Kita merasa terjebak dan bosan di rumah? Kenapa? Apa yang salah dengan itu, dan apa yang bisa kita perbaiki? Apakah karena kita tidak dekat dengan keluarga di rumah? Apakah karena kondisi rumah tidak enak? Apakah karena kita bosan dengan masakan rumah? Atau sudah bosan memasak dan bebersih rumah? Apakah karena kita tidak bisa berkumpul dengan teman-teman? Apakah karena kita sudah gatal ingin travelling dan shopping? Apakah karena kita merasa semua rencana kita gagal dan terganggu?

Atau hal-hal lainnya lagi?

Terkadang, ketika ada hal buruk terjadi kepada kita, kita selalu menganggapnya sebagai masalah, tidak pernah mau melihat dan menanganinya dari sisi lain. #dirumahaja barangkali membuat seluruh rutinitas dan rencana kita diluar kacau balau, tapi di satu sisi itu juga membuka peluang untuk rutinitas dan rencana baru dari dalam rumah. Mungkin sudah waktunya kita coba memahami cabin fever yang kita alami, alih-alih melawannya.

Kita dapat mengkaji ulang kesibukan, rencana, dan prioritas kita saat ini.

Kita dapat memperbaiki hubungan kita dengan orang-orang di rumah, sesuatu yang barangkali selama ini terabaikan karena kesibukan di luar.

Kita dapat membersihkan serta mendekorasi rumah dan kamar agar mendapatkan suasana baru.

Kita dapat melakukan hal-hal lain yang selama ini tidak sempat kita lakukan: menyelesaikan buku yang belum sempat kita baca, film yang sudah lama ingin ditonton, game yang ingin ditamatkan, memilah-milah data di laptop yang sudah terlalu penuh memorinya, atau aktivitas lainnya.

Bisa beristirahat dan merawat diri lebih leluasa.

Mencari kesenangan dan rutinitas baru.

Tetap terhubung dengan teman-teman dan diluar melalui teknologi.

Jika dirasa ingin keluar, maka keluarlah sejenak dengan tetap menaati prosedur yang berlaku.

Kehabisan ide ingin melakukan apa lagi? Maka pikirkan dan temukanlah, jangan dibuat galau karenanya! There is always a new, interesting, and fun stuff for us to do everyday.

It’s up to you to handle it. Want do you want? What do you need to fix the most? Tangani apa yang menjadi sumber masalah dan kebosananmu. Apapun itu, jangan biarkan cabin fever ini menghentikan kita.

--

--

Sucia Ramadhani
Jadi Bagaimana?

Ambivert who study PSYCHO-logy | Counselor | Researcher | Debater (this is my 2nd account)