Photo by Grzegorz Walczak on Unsplash

Cyberchondria Si Pendiagnosis Diri

Transformation from traditional view to cyber

Zholeh Wei
Published in
4 min readDec 13, 2020

--

“Dokter saya perlu dioperasi” “Saya menderita bipolar”

Internet memberikan banyak sekali manfaat mulai dari komunikasi yang lebih cepat membantu orang terhubung hingga mempelajari berbagai hal kapan saja dan di mana saja mereka mau. Namun, banyak yang menjadi ketergantungan dengan internet, bahkan Lebih dari dua dekade ketergantungan internet menjadi topik yang populer bagi para peneliti-peneliti di bidang psikologi, khususnya pada bidang klinis.

Kemudahan mendapatkan informasi di Internet kerap kali dijadikan sebagai media untuk mengidentifikasi kondisi kesehatan seseorang. Bahkan, data menunjukkan bahwa kini di seluruh dunia semakin banyak orang yang mencari kesehatan secara online. Internet memang menjadi wadah yang paling mudah untuk melakukan promosi dan kampanye mengenai Kesehatan. Terlebih lagi, ramainya ajang promosi dan kampanye kesehatan di Internet seperti melalui media sosial dan jejaring sosial (Twitter, Instagram, dll.) membuat masyarakat dengan mudah mencari berbagai informasi mengenai kesehatan, padahal kredebilitasnya pun belum diketahui.

Photo by Bermix Studio on Unsplash

Terlepas dari itu, ketika seseorang terpaku dengan gejala suatu penyakit yang ada di internet, mereka akan mencoba mendiagnosisnya sendiri. Self-diagnose sendiri merupakan proses yang masih mentah yang seringkali didasarkan pada informasi yang ambigu dan bertentangan, serta besar kemungkinan mengalami bias dan berpotensi mengancam nyawa. Melakukan diagnosis sendiri tanpa menemui professional sangatlah berbahaya, risiko mengalami kesalahan dalam mengartikan penyakit yang tengah di alami serta self-treatment sangatlah besar. Padahal rata-rata semua penyakit akan muncul dengan gejala awal yang hampir sama. Jadi, internet bukan alat untuk menegakkan diagnosis.

Kemudian, diketahui bahwa terjadi peningkatan kecemasan kesehatan sekitar 38% pada individu yang mencari informasi tentang gejala suatu penyakit di Internet. Hal tersebut juga akan memperburuk kecemasan Kesehatan yang sebelumnya sudah dialami, menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran pada gejala-gejala yang dirasakan sampai mengarah pada kecemasan patologis.

Kecemasan kesehatan sendiri didefinisikan sebagai berbagai macam kekhawatiran yang dapat dimiliki individu tentang kesehatan mereka dan eksaserbasi kecemasan kesehatan sebagai hasil dari pencarian online berulang untuk informasi medis telah disebut cyberchondria.

Cyberchondria berasal dari kata cyber yang berkaitan dengan komputer, jaringan, atau internet dan hypochondria yang dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition: DSM-5 istilahnya telah berubah menjadi Somatic Symptom Disorder (SSD) dan Illness Anxiety Disorder (IAD) yakni suatu masalah kejiwaan yang ditandai dengan keyakinan menetap bahwa di dalam tubuhnya ada masalah, sekalipun sudah diberi tahu oleh dokter bahwa ia tidak mengidap penyakit yang serius.

Hypochondria merupakan perasaan takut kesehatannya akan memburuk, memandang tanda-tanda keluhan fisik sebagai menderita penyakit tertentu. Selalu ingin mencari kesembuhan tapi setelah diperiksa ternyata sehat dan nafsu makannya baik. Biasanya diakibatkan karena seseorang mendapatkan atensi. Sehingga, cyberchondria merupakan variasi dari hypochondria.

Istilah cyberchondria merujuk pada meningkatnya kecemasan pada individu tentang status kesehatannya, akibat dari pencarian informasi mengenai keseahatan secara online yang berlebihan.

Bagaimana cara mengukurnya, McElroy dan Shevlin (2014) mengembangkan Cyberchondria Severity Scale (CSS). Alat ukur ini terdiri dari lima faktor Adapun faktor-faktor dari CSS, yaitu

  • Compulsion: Menunjukkan bahwa kecemasan sebagai akibat dari OHR (Online Health Research) dapat menghambat aktivitas online dan juga offline.
  • Distress: Mencerminkan perasaan yang lebih subyektif dan terdalam dari asosiasi yang berhubungan dengan penelitian kesgehatan secara online.
  • Excessiveness: Mencerminkan pencarian yang berulang kali untuk mendapatkan informasi terkait kesehatan secara online.
  • Seeking Finding Reassurance: Mencerminkan unsur kecemasan yang mengikat yang dapat mendorong seseorang untuk berkonsultasi dengan dokter mereka agar mereka mendapatkan ketenangan.
  • Mistrust of Medical Professional: Menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu, individu mungkin mendapati hasil riset online mereka sangat mengecewakan, sehingga mereka gagal mendapatkan kenyamanan atau gagal mendapatkan kepastian dari tenaga medis profesional mereka.

Untuk menghindari cyberchondria ada beberapa hal yang bisa dilakukan seperti

  • Batasi waktu penggunaan internet untuk mencari tentang penyakit tersebut
  • Konsultasi ke dokter/psikolog ahli jika mengalami rasa cemas akibat kondisi kesehatan yang ada
  • Cari penyebab kecemasan yang ada

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa cyberchondria dapat bertambah parah karena kecemasan yang timbul dalam diri.Satu-satunya langkah terbaik dalam melakukan langkah pencegahan adalah selalu menjaga kondisi pikiran dan psikologis. Cyberchondria perlu untuk diobati dengan cognitive behavioral therapy (CBT)/ terapi perilaku kognitif. Ini merupakan psikoterapi yang bertujuan unutk mengubah pikiran-pikiran negatif seseorang tentang diri sendiri dan dunia melalui pola perilaku. Perawatan tersebut sama untuk orang-orang yang menderita depresi atau kecemasan.

It is critical that people stop self labelling with Depression, Anxiety etc, unless they have been formally diagnosed. If you suspect a concern, seek a Therapist & let them check you. Relatable internet signs might make you feel “seen” but they won’t cure you — Basicallybrain

--

--

Zholeh Wei

Licensed Clinical Psychologist, RS Dr. Oen Solo Baru