Photo by Jusdevoyage on Unsplash

Heboh Corona, Jangan Mudah Termakan Stigma

Sucia Ramadhani
Jadi Bagaimana?
Published in
4 min readApr 15, 2020

--

“Stigma, to be honest, is more dangerous than the virus itself. Let’s really underline that. Stigma is the most dangerous enemy.” dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Director-General of WHO (3 Maret 2020, Genewa)

Kalimat tersebut tidak sembarang diucapkan oleh pimpinan WHO tersebut, semuanya berdasar pada fakta dan apa yang terjadi diseluruh dunia saat ini. Dilansir dari CNN, sepasang suami-istri yang menjadi salah satu penumpang kapal Diamond Princess dari Asia mendapat perlakuan tidak menyenangkan sekembalinya mereka ke California setelah sang suami dinyatakan positif terpapar COVID-19. Sang istri yang dinyatakan negatif pun tidak ketinggalan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sekitar hingga berminggu-minggu kemudian.

Di Busan, Korea Selatan, seorang pria yang sudah dinyatakan sembuh dari COVID-19 masih terang-terangan mendapatkan stigma negatif dari tetangganya, sehingga pria tersebut menghindari lift dan memilih naik tangga menuju apartemennya di lantai 9. Bahkan salah seorang presiden di negara maju, juga terang-terangan menyebut COVID-19 sebagai “The Chinese Virus”. Bagaimana di Tanah Air kita tercinta? Silahkan Anda buka berita manapun, maka Anda akan menemukan berbagai kasus di beberapa daerah mulai dari pengusiran tenaga medis dari tempat tinggalnya, penolakan jenazah korban COVID-19, hingga perlakuan yang didapat secara langsung saat seseorang batuk atau bersin di tempat umum.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa COVID-19 telah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat seluruh dunia saat ini. Bayangkan saja, mendadak sebuah virus yang tidak terlihat dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, meruntuhkan pertahanan negara-negara maju, dan seketika sanggup menghentikan pergerakan masyarakat di seluruh dunia. Akibatnya, banyak sekali sektor yang terkena dampak besar dari pandemi ini, salah satunya adalah sektor ekonomi negara dan ekonomi masyarakat yang pemasukan serta pekerjaannya menjadi terganggu karena himbauan untuk tidak keluar rumah demi menekan angka penyebaran virus Corona. Virus ini juga masih menyimpan banyak misteri yang belum terpecahkan, dan belum diketahui kapan tanda-tanda pandemi ini akan berakhir.

Stigma sendiri bisa diartikan sebagai adanya pemberian hubungan atau asosiasi antar suatu kejadian, pemberian cap, atribut, stereotip, maupun pelabelan yang melekat pada seseorang karena konteks tertentu. Dalam buku Erving Goffman yang berjudul Stigma: Notes on The Management of Spoiled Identity, stigma dapat diartikan sebagai identifikasi atribut atau suatu tanda yang diberikan oeh seseorang kepada individu lain sebagai sesuatu yang individu tersebut miliki atau alami. Goffman juga menuturkan bahwa stigma merupakan suatu proses yang berkaitan dengan identitas dan konstruksi sosial (social construction of identity).

Pada kasus stigma negatif yang parah, hal ini bisa diikuti dengan adanya diskriminasi baik secara verbal maupun fisik. Manusia tidak bisa lepas dari stigma, baik stigma positif maupun negatif, karena stigma itu sendiri merupakan hasil dari buah pikiran dan anggapan dari seseorang. Bagaimana stigma itu menyasar ke depannya dapat bergantung dari kemampuan seseorang dalam mengelola informasi yang masuk dalam pikirannya, dan objektifitas penilaiannya.

Manusia, sesuai naluriahnya, akan bereaksi pada apapun yang terjadi di sekitarnya. Stres, ketakutan, kebingungan, hingga kepanikan, adalah respon yang normal ketika seseorang merasa keselamatannya terancam, apalagi jika datangnya dari hal-hal yang tidak jelas dan belum kita pahami. Sejak diumumkannya 2 pasien positif COVID-19 pertama di Indonesia pada Maret lalu, berbagai perilaku negatif maupun positif mulai bermunculan, mulai dari panic buying yang berefek pada kelangkaan dan kenaikan harga beberapa stok barang, kampanye cuci tangan, imbauan pemerintah untuk social dan physical distancing, karantina mandiri yang kemudian diikuti oleh gerakan #DiRumahAja, #WorkFromHome, serta adanya peliburan sekolah dan perumahan tenaga kerja, hingga kemudian stigma-stigma yang bermunculan karena sebagian masyarakat masih paranoid sehingga belum bisa berfikir dengan logika sepenuhnya. Belum lagi sebagian media yang kerap menyelipkan bumbu-bumbu sensasionalnya tersendiri dalam fungsinya sebagai penyalur informasi bagi masyarakat. Tak heran sebagian masyarakat masih terpapar informasi yang terlalu banyak, kurang bisa mem-filter informasi yang masuk ke pikirannya, hingga timbulnya kesalahan persepsi.

Jauh sebelum Corona ada di muka bumi ini, stigma negatif juga sudah banyak timbul di sekitar kita. Umumnya, stigma itu muncul karena ada prasangka terhadap sesuatu yang dinilai berbeda, menyimpang, dianggap membahayakan atau mengancam, hingga akibat pendeknya akal seseorang.

Lalu bagaimana agar pikiran kita tidak gampang menstigma segala sesuatunya? CDC (Centers for Disease Control) dan UNICEF telah meluncurkan guidance untuk meminimalisir stigma di tengah pandemi ini. Izinkan saya menambahkan sedikit gagasan yang bisa kita mulai dari diri kita sendiri:

1. Fakta & Filter

Mengikuti perkembangan informasi yang beredar merupakan hal yang bagus dan menandakan bahwa kita peduli, namun ingatlah untuk selalu mencerna dan percaya pada fakta yang telah terbukti benar dan berasal dari sumber yang terpercaya. Kita juga harus bisa memfilter segala informasi yang akan kita proses. Dengan melihat pada fakta yang terjadi saat ini, serta mampu memfilter informasi yang ada, dapat menjadi salah satu benteng diri kita untuk tidak mudah termakan informasi-informasi hoax yang tidak valid, serta tidak mudah terpengaruh anggapan-anggapan masyarakat. kita juga akan menjadi tidak mudah menyebarkan informasi yang kurang terpercaya dan bibit-bibit kepanikan baru. Seperti yang ditekankan oleh CDC: “Raise awareness about COVID-19 without increasing fear.”

2. Empati

Pada konteks pandemi saat ini, coba posisikan diri kita sebagai orang yang bersangkutan. Apakah kita mau dilabel dan diberikan perlakuan negatif akan hal yang tidak jelas? Bagaimana jika kita berada di posisi pasien positif Corona, yang harus memperjuangkan hidupnya, belum lagi dijauhi masyarakat? Apakah kita mau menyeret orang terdekat kita dalam perlakuan negatif ini? Apakah kita mau saat kita sudah meninggalpun, stigma dan penolakan masih datang tanpa henti?

3. Fokus dan Sebarkan Positivitas

Sudah cukup banyak berbagai macam informasi yang beredar mengenai COVID-19 ini dari segala aspek, tidak perlu kita tambah lagi dengan anggapan-anggapan sosial yang negatif dan tidak berdasar. Mari sebarkan hal-hal positif terkecil sekalipun yang bisa kita temui, berikan kontribusi sekecil apapun yang kita bisa, karena fenomena sosial ini takkan terhenti dengan sendirinya.

--

--

Sucia Ramadhani
Jadi Bagaimana?

Ambivert who study PSYCHO-logy | Counselor | Researcher | Debater (this is my 2nd account)