ODGJ, Mereka yang Sudah Sejak Dulu di-”Lockdown”
ODGJ, Mereka yang Sudah Sejak Dulu di-”Lockdown”
“Kalian baru 2 minggu di lockdown dirumah karna covid-19, aku malah 3 TAHUN di lockdown dirumah karna skizofrenia”
Kalimat diatas saya kutip dari sebuah grup di media sosial yang beranggotakan para penderita gangguan jiwa dan mental yang masih produktif, para caregiver, psikolog, serta para pemerhati kesehatan mental yang rutin melakukan diskusi dan sharing di grup tersebut. Kalimat itu sendiri merupakan curhatan dari salah seorang laki-laki berusia 20-an tahun yang mengidap skizofrenia paranoid.
Jika dunia saat ini baru mengenal istilah lockdown, karantina, dan isolasi karena COVID-19, sebagian ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) sudah lama dihantui hal tersebut. Diisolasi dari dunia luar dan diasingkan secara paksa kerap terjadi pada beberapa ODGJ di daerah terpencil di Indonesia. “Lockdown” dan isolasi ini juga kerap kali diikuti dengan tindakan pemasungan. Hingga Juli 2018, Kementerian Kesehatan Indonesia mendata ada sebanyak 12.382 ODGJ di Indonesia yang dipasung keluarganya. Angka itu juga masih terus ditelusuri hingga kini, mengingat pemasungan umum terjadi pada masyarakat ekonomi bawah di daerah terpencil dan pedesaan.
Jika Anda mencari mengenai pasung di internet, maka Anda akan menemukan berbagai foto yang kurang mengenakkan mengenai seseorang yang diikat, dirantai, hingga ‘dibebat’ tangan atau kakinya dengan balok kayu hingga kurus dan menimbulkan luka. Adapun lokasi tempat seseorang dipasung umumnya di belakang rumah, di gudang, di gubug, di kandang, dan tempat-tempat tak layak lainnya yang terpisah dari anggota keluarga lainnya dan tak terlihat orang. Terkungkung dan terkurung selama beberapa tahun lamanya. Barangkali kita sama-sama setuju bahwa tidak ada siapapun di dunia ini yang ingin hidup dalam keadaan seperti itu.
Sayangnya bagi sebagian masyarakat Indonesia saat ini, pembahasan mengenai kesehatan mental kerapkali masih kalah pamor dengan pembahasan mengenai kesehatan fisik. Jika dirinya sendiri maupun keuarganya menunjukkan gejala-gejala sakit fisik yang lebih kasatmata, anggaplah seperti luka, demam, pusing, dan batuk, maka hal tersebut akan langsung berusaha diatasi, entah itu dengan periksa ke dokter, minum obat, maupun beristirahat. Namun bagaimana dengan gejala-gejala kesehatan mental yang lebih tidak kasatmata? Apakah bisa langsung aware dan ditanggulangi? Apakah sebagian besar masyarakat saat ini sudah tau bagaimana merawat dirinya sendiri maupun keluarganya yang terganggu mental dan jiwanya?
ODGJ, atau Orang Dengan Gangguan Jiwa jika didefenisikan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 adalah orang yang mengalami dan menunjukkan adanya gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan, yang dapat dilihat dari sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.
Salah satu bentuk gangguan jiwa berat yang paling marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia adalah skizofrenia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mengungkapkan bahwa prevalensi skizofrenia di Indonesia mencapai sebesar 400.000 orang. Dalam bukunya yang berjudul Abnormal Psychology in A Changing World, Nevid mendefinisikan skizofrenia sebagai gangguan psikotik kronis yang ditandai dengan adanya kondisi dimana individu menunjukkan tanda-tanda terputus dengan kenyataan secara akut, diikuti dengan munculnya halusinasi, waham (delusi), tidak berfikir dengan logika, alur pembicaraan yang tidak koheren, serta menunjukkan perilaku aneh atau tertentu. Di Indonesia, penderita skizofrenia dapat disebut sebagai ODS (Orang dengan Skizofrenia).
Topik gangguan jiwa maupun kesehatan mental memang bukan hal yang umum dibicarakan di kalangan masyarakat Indonesia, meskipun kasusnya sangat banyak terjadi. Dalam Southeast Asia Mental Health Forum tahun 2018 lalu, Setjen Kementrian Kesehatan mengungkapkan sebanyak 15,8% keluarga di Indonesia memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berat, baik yang diobati maupun tidak diobati, dan angka tersebut belum mencakup keluarga Indonesia lainnya yang tidak terdata. Bahkan menurut survei Global Health Data tahun 2017 lalu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara, yakni sebanyak 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Dengan kata lain, satu dari sepuluh orang di Indonesia mengidap gangguan jiwa.
Kenaikan angka tersebut berbanding terbalik dengan angka perawatan, pelayanan, dan awareness pada ODGJ. Dalam konteks masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, dilakukannya isolasi dan pemasungan pada keluarga atau tetangganya yang mengalami gangguan jiwa salah satunya dikarenakan faktor biaya, ketidaktahuan, dan stigma. Tidak ada biaya yang cukup untuk mengobati dan konsul ke RSJ/puskesmas, kurangnya pengetahuan akan tindakan apa yang seharusnya diambil, serta anggapan dan cap “orang gila” dari masyarakat kerap kali menjadikan gangguan mental dan jiwa sebagai aib tersendiri, sehingga seringkali ditutupi dan disembunyikan.
Apakah tidak ada langkah yang diambil pemerintah untuk memutuskan rantai “lockdown” dan pemasungan bagi para ODGJ ini? Tahun 2017, Kemenkes Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 54 tentang Penanggulangan Pemasungan pada Orang dengan Gangguan Jiwa. Dilansir dari Tirto.id, Khofifah Indah Parawansa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial menargetkan bahwa pada tahun 2019, Indonesia akan bebas pasung, dimulai dari provinsi Jawa Timur. Masih panjang perjalanan yang harus ditempuh untuk benar-benar merealisasikan hal tersebut. Bukan hanya pemerintah, dengan bantuan dan kesadaran dari masyarakat, semoga hal tersebut bisa segera tercapai.