Si Penyelamat yang Datang di Waktu yang Tepat

#my journey

Zholeh Wei
Jadi Bagaimana?
7 min readSep 16, 2020

--

Perjalanan hidup yang di lalui tidaklah semudah seperti yang disebutkan dalam seminar/webinar motivasi bullshit itu. Ada skenario di luar diri manusia yang mereka kesampingkan rupanya. Coba kita lihat sebentar cerita indah ini.

Lama tak bercerita tentang hidup, akanku bagikan lagi kisah seorang yang sederhana ini.

Dia, setelah menyelesaikan studi S1 Psikologi dengan berbagai prestasi, pujian dan bahkan sejarah membuat dirinya optimis untuk bermimpi seperti yang lain, kuliah di luar negeri. Prancis menjadi pilihanya, bukan tidak ada alasan dia memilih negara itu, tapi di sisi lain alasannya juga tidak dapat diterima sepenuhnya. Hanya karena merasa tahu tentang negara dengan kota terindah di dunia tersebut, dia sangat bertekad untuk pergi kesana tanpa melihat perkembangan keilmuannya. Bahkan tak peduli kata orang yang berkata bahwa psikologi di sana mengalami ketertinggalan, tetap saja dia maju, ah idealis sekali orang ini gumamku. Hm tapi rupanya ada alasan kuat di dalam benaknya, ternyata ada professor yang merekomendasikannya untuk studi disana ketika dia tengah berada di semester 6 dulu, ya mungkin ini bisa jadi sedikit pembelaannya.

Demi mengejar mimpi yang idealis itu, dia rela mengorbankan satu tahun penuh untuk belajar bahasa yang katanya paling sexy di dunia. Padahal teman-temannya sudah berpikir tentang hal-hal realistis, tapi dia masih saja idealis. Ah aku jadi berprasangka, mungkin dia belum menentukan apa tujuan masa depannya, atau mungkin tujuan awalnya dulu ketika S1 terdistrak oleh lingkungan yang sangat ambisius sekali. Aku tahu, lingkungannya memang selalu berbicara soal kompetisi dan torehan ke luar negeri, jadi tidak heran.

Dia dengan kepercayaaan diri yang tinggi, saat ditanya oleh sekeliling ingin kemana? Dengan yakin dia menjawab “Prancis”. Dia tidak mau kejadian lima tahun lalu terulang, bahwa ketidakyakinan bisa jadi malapetaka. Hm aku senang mendegarnya, bahkan hampir semua orang yakin dia pasti bisa.

Rintangan demi rintangan dia lalui, Desember 2019 dia berhasil mendapatkan kunci gerbang utama yaitu ijazah DELF B2. Huh semakin yakin saja dia untuk terus melangkah maju. Bahkan, sejak juli 2019 sampai januari 2020 dia mengerjakan proyek risetnya dengan lebih dari 500 artikel tentang neuropsikologi di otaknya. Waw perjuangan luar biasa kataku. Bukan itu saja, selama setahun terakhir di S1 dia mengahbiskan waktu untuk meneliti tikus-tikus di laboratorium fakultas kedokteran demi untuk menulis essai S2 nya. Sampai akhirnya pada 28 februari 2020 semua diselasaikannya, dan dia kirimkan lamaran yang sudah disusunya dengan baik itu ke universitas-universitas di negara napoleon tersebut.

Di sela-sela waktu menunggu, ternyata pada maret 2020 dia memenangkan beasiswa yang tahun lalu dia lamar. Tapi karena ke idealisannya ingin pergi ke Prancis, beasiswa tersebut diabaikannya. Padahal, dia menjalani sleksi panjang selama lima bulan untuk itu, bahkan bersaing dengan ribuan mahasiswa dari seluruh dunia. Ah bodoh sekali, kataku. Dulu dia pernah berkata bahwa akan mengambil beasiswa yang pertama kali keluar, tapi sayang tak ditepatinya.

Tidak lama dari itu, Indonesia mengalami krisis kesehatan karena covid-19 yang kemudian membuatnya memutuskan untuk pulang ke rumah sembari berkumpul dengan keluarga.

Bah voila, pada 2 juni 2020 dia mendapat email bahwa semua proyeknya diterima oleh universitas yang ada di bawah gunung mont blanc itu.

Universitas impiannya, universitas di mana professor yang merekomendasikannya dulu mengajar. Itu adalah jurusan yang di idam-idamkannya, yang ia kejar mati-matian. Program master riset dan profesional (mapro) di bidang neuropsikologi dan neurosains klinis. Semua benar-benar lancar sampai saat itu, tidak ada hambatan sedikitpun. Dia kemudian mengajukan dua beasiswa impiannya, dia telah bekerja luar biasa untuk essai aplikasinya sejak 2018. Meskipun pandemi, dia tetap semangat dan yakin bisa pergi belajar kesana.

6 juli 2020 dia diberi kabar bahwa visa pelajar schengen sudah bisa diajukan kembali pasca ditutup karena pandemi. Dengan nekatnya dia memenuhi semua aplikasi yang diminta, mulai dari tiket, asuransi, tempat tinggal, sampai uang deposit ratusan juta sebagai persyaratan, dia penuhi semua. Bahkan dalam keadaan yang sulit dia memutuskan untuk pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan semua administrasi, berani sekali ditengah pandemi seperti ini sindirku.

Masalah mulai muncul layaknya sperti membalikkan telapak tangan, semua skenario tiba-tiba berubah mendadak, mudah sekali. Di Jakarta, semua plannya terlihat berantakan. Mulai dari masalah kecil sampai masalah yang fatal terus berdatangan. Belum selesai dengan itu, dia memutuskan untuk ke Jogja sembari mulai menyelasaikan masalah yang ada satu-persatu dan menunggu keberangkatannya tanggal 18 Agustus 2020. Tapi rupaya masalah yang lebih besar menghampirinya, mulai dari miss dengan kedutaan, beasiswa, tempat tinggal, kampus, sampai ketidakpastian lainnya. Waktu dan kesempatan saling berpacu, pengambilan keputusan harus segera dia ambil ketika itu.

Sudah berada diambang-ambang, idealis ini mencoba untuk mencari jalan keluar rupanya. Pikiran tidak karuan bahkan tanda-tanda depresi sudah didepannya saat itu. Beruntung dia punya orang-orang yang luar biasa dan juga pacar yang dengan sabarnya menemani setiap langkahnya.

Mungkin ini adalah momen si penyelamat datang di waktu yang sangat tepat, di waktu injury time. Tidak sengaja dia membuka group line pada sore 21 Juli 2020 dan dia melihat seorang teman membagikan broadcast pendaftaran S2 Keprofesian Psikologi di kampusnya dulu. Sontak dia teringat pada tujuan masa depannya lima tahun lalu, tujuan yang menjadi alasan kenapa dia ingin masuk ke jurusan ini, yaitu jadi seorang psikolog.

Setelah menimbang-nimbang di keadaan yang semakin tidak menguntungkan itu, kerealistisannya mulai menggantikan si idealis. Mungkin sekarang 70 : 30 kalau ku lihat haha. Dia melihat jauh kebelakang tentang tujuan masa depannya yang dulu sudah sangat jelas, selama hampir seminggu berpikir dan mencari jalan terbaik, akhirnya dia memutuskan untuk melamar program S2 Keprofesian Psikologi di dalam negeri, di kampus dia menyelesaikan gelar sarjananya. Dia putuskan bersama konflik antara id dan super egonya. Dia mulai menimbang jika kuliah di luar dia tidak bisa jadi psikolog dan praktik di negara tercinta ini, dia mungkin saja tidak bisa menulis dan menghasilkan karya ilmiah lagi seperti S1 dulu, jika kuliah di luar negeri sejujurnya dia masih tidak tahu masa depannya ingin berbuat apa setelah lulus, dan terakhir dia ingin kembali ke tujuan awal yang terlupakan karena lingkungan ambisius itu. Dia yakin, sebuah pertemuan bukanlah kebetulan, itu adalah sinyal. Ikuti atau lupakan.

Mengingat bidang ini adalah soal keprofesian, tentu jalannya sangat berbeda dengan mereka yang kuliah teori-teori saja.

Dengan rasa pasrah, dia bersiap untuk ujian dengan mengulang kembali materi-materi semester awal dulu, semakin banyak dia membaca dan meriviu materi semakin dirinya terkagum dengan semuanya dan betapa masih bodohnya dia. Dia terus mencoba untuk memahami perlahan.

Pada saat hari sleksi terlihat ada 60 pelamar, dan 36 pelamar pada bidang klinis termasuk dirinya yang siap bersaing untuk masuk kesana, lagi-lagi dia sudah sangat pasrah dan hanya mengikuti alurnya saja. Bahkan, dia melamar di gelombang terakhir dengan persaingan yang tentu jauh lebih ketat. Naasnya dari sekian banyak pelamar tersebut hanya 7 orang saja yang akan diambil.

Beberapa teman bahkan berkata bahwa dia tidak cocok untuk masuk ke dalam studi profesi, mereka menganggap bahwa dirinya adalah peneliti dan lebih cocok di sains saja. Beberapa juga meremehkan, tapi banyak juga yang meyakinkannya bahwa dia mampu. Dia kemudian mencoba untuk mengabaikan semuanya.

Hm benar saja, ujiannya tidaklah semudah ujian masuk kampus-kampus luar negeri yang sebelumnya dia lewati, butuh effort luar biasa untuk bisa melaluinya, satu persatu tahapan dilalui entah baik apa tidak, dia lakukan saja. Hingga akhirnya dia berhasil membungkam semua mulut-mulut tidak bertanggung jawab itu.

Dia lalu memutuskan untuk melepaskan statusnya sebagai mahasiswa Prancis, di bawah tekanan oleh orang-orang yang menggunjing dia coba abaikan. Pada saat itu akhirnya dia berkata “selamat tinggal si idealis” “Aku tidak hidup untuk memuaskan mata kalian, tapi untuk diriku sendiri”.

Jadi, dia benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya, dia kembali ke universitas yang lagi-lagi menyelamatkan tujuan masa depannya, dia pulang ke rumah yang nyaman. Rumah yang mengerti potensinya, rumah yang mengerti semua tentangnya, rumah yang memupuknya untuk menjadi orang yang bermanfaat nantinya.

Skenario Tuhan memang jauh lebih indah. Dia selalu yakin, bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Tidak tanggung-tanggung dua tiga kemudahan mulai berdatangan.

Kata terakhir darinya “satu hal yang kusesali saat ini, aku membuang waktuku selama satu tahun dengan ketidaktahuan akan berbuat apa di masa depan. Terlena dengan semua pencapaian, ikut-ikutan ingin kuliah ke LN karena terdoktrin oleh lingkungan yang selalu berkata “kuliah di luar negeri, biar jadi orang hebat dan sukses”. Padahal aku tahu betul itu bukan jaminan, padahal aku tahu betul bahwa karakter, attitude, dan personality lah yang akan menentukan segalanya. Miris, aku terkecoh oleh lingkungan sampai-sampai lupa tujuan yang di buat ketika pertama kali masuk ke profesi ini dulu. Si idealis mengambil alih kerealistisanku rupanya. Tapi beruntung, aku masih di ingatkan di waktu yang tepat. Let’s back to the track”

Yogyakarta, 26 Agustus 2020

--

--

Zholeh Wei
Jadi Bagaimana?

Licensed Clinical Psychologist, RS Dr. Oen Solo Baru