Nyore di Cikini yang Penuh Cerita
Sore itu saya menemani dua kawan fotografer menyusuri trotoar Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Ini jalur pedestrian sepanjang sepuluh kilometer dari 304,87 kilometer trotoar yang telah direvitalisasi di 137 lokasi Ibu Kota sejak 2017. Lebarnya membuat nyaman berjalan kaki, aman dari serempetan kendaraan, dan mata bebas dari semrawut kabel listrik. Sebuah pemihakan Pemprov DKI Jakarta yang lebih memprioritaskan pejalan kaki, pesepeda, kendaraan listrik, serta transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi, demi udara bersih nan bebas polusi.
Menapak Sejarah dan Cerita dari Cikini
Kami berjalan kaki dari perempatan Jalan Cut Mutia, Menteng Raya, Cikini Raya, serta Kalipasir. Matahari mulai turun di atas Kantor Pos Cikini. Sekitar seabad silam, bangunan bergaya art deco peninggalan kolonial Belanda ini bernama Tjikini Postkantoor. Sejak 2014, Kantor Pos Cikini buka 24 jam, termasuk pada akhir pekan.
Deretan restoran dan kafe antik mengundang selera untuk sekadar ngopi atau bersantap. Salah satunya di Bakoel Koffie yang berawal dari kisah Liauw Tek Soen membeli biji kopi dari seorang perempuan berbakul. Imigran Cina Selatan itu membuka Warung Tinggi pada 1878 di Jalan Hayam Wuruk sekarang. Dari Jakarta masih bernama Batavia hingga kini, sudah lima generasi yang mengembangkan bisnis kopi ini, sampai sempat diekspor ke Belanda, Jepang, serta Timur Tengah.
Menyeberang sedikit, sebuah rumah putih megah berpagar mewah di Jalan Cikini Raya №24 menyergap pandangan mata. Inilah rumah pengusaha otomotif yang pernah dijuluki Raja Mobil Indonesia, Hasjim Ning. Keponakan Bung Hatta tersebut pada 1971 juga menjabat Ketua Umum Ikatan Pejuang Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Beberapa langkah kaki berjalan, Taman Ismail Marzuki (TIM) yang sedang direvitalisasi seakan mengajak kita memasuki lorong waktu. Inilah bekas kebun binatang pelukis kondang Raden Saleh. Pelukis keturunan Arab asal Semarang itu merancang sendiri rumahnya yang luas bak istana pada 1852, meniru sebuah kastil di Jerman yang bangsawannya pernah ia lukis. Gerbang rumahnya berada di SMPN 1 sekarang yang masih menyisakan bangunan antik di Jalan Cikini.
Sedangkan kediamannya kini menjadi Rumah Sakit Cikini di Jalan Raden Saleh yang berarsitektur elok, lengkap dengan kapel serta masjid tua di belakangnya. Saya teringat canda penyair Taufiq Ismail yang dokter hewan dan sempat memimpin Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta) pada awal berdiri TIM, “Ternyata lebih mudah mengurus hewan daripada seniman.”
Sebuah rumah antik di Jalan Cikini Raya №82 menjadi saksi bisu perjalanan awal Republik Indonesia. Inilah kediaman Menteri Luar Negeri pertama, Achmad Soebardjo. Dari rumah tua yang menjadi kantor Kemenlu pertama tersebut, kemerdekaan negeri ini disebarluaskan ke seluruh dunia.
Di sini pula Tan Malaka yang dijuluki sejarawan Mohammad Yamin sebagai Bapak Republik Indonesia, karena pertama kali menyebut Republik Indonesia dalam bukunya yang ditulis pada 1925, Menuju Republik Indonesia, muncul pada 25 Agustus 1945. Itu setelah 20 tahun ia diburu intel Belanda, Inggris, serta Amerika Serikat di berbagai negara dari Cina hingga Singapura, bahkan sempat ditangkap di Hong Kong dan Filipina. Selama sebulan lebih tinggal di paviliun rumah Soebardjo, kawannya waktu studi di Belanda, Tan sempat jatuh cinta kepada Paramita Abdurrachman. Keponakan Menlu yang biasa dipanggil Jo ini piawai bermain piano, sementara Tan pandai menggesek biola. “Ia begitu senang mendengarkan permainan Jo, terutama untuk (karya) Schubert,” tulis Prof. Harry Poeze, sejarawan Belanda yang hampir setengah abad meneliti Tan Malaka. Di rumah bersejarah itu juga, Soekarno memberikan testamen politik kepada Tan Malaka pada 30 September 1945, yang mempersilakan Tan memimpin Indonesia bila Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda.
Sekolah Perguruan Cikini menjadi ujung perjalanan sore kami. Di Jalan Cikini Raya №76 ini, Presiden Soekarno nyaris dibunuh dengan granat pada 30 November 1957. Saat itu ia sedang menghadiri ulang tahun Perguruan Cikini ke-15 yang menjadi sekolah dua anaknya, Guntur dan Megawati. Kurang dari 24 jam, empat pelakunya dicokok, lalu dihukum mati tiga tahun kemudian.
Merawat Cikini, Merawat Sejarah Indonesia
Menyusuri trotoar Jalan Cikini Raya seperti menapaki jejak sejarah Indonesia. Bangunan-bangunan antik nan elok, dari kantor pos, kafe, rumah, pusat kesenian, sampai gedung sekolah, merekam lintasan masa silam negeri ini sejak zaman penjajahan hingga merdeka. Asyik kan? Bukan cuma jalan kaki biar raga sehat, tapi wawasan kita pun bertambah. Kalau capek jalan kaki, kamu tinggal naik bus Transjakarta yang melewati jalan ini. Itulah Cikini dengan ragam kisahnya, dan usai dipercantik, kini trotoarnya siap menyambut kamu untuk membuat cerita baru. Yuk, pedestrian Jakarta, rawat bersama dan ayo jelajahi Jalan Cikini!