Credit pic to #Jejakeumala

Mati sebelum Mati

Mati Sebelum Mati

Navida Suryadilaga
Published in
2 min readOct 26, 2017

--

Berbekal trauma pelecehan seksual sedari usia 5 tahun, berlanjut di usia 9 tahun, lalu terampas di usia 15 tahun, pembully-an selama sekolah, keluarga yang di hina martabat dan derajatnya oleh kerabat dekat, hingga faktor genetik yang seluruhnya merupakan sebab untuk saya menjadi depresi sebagai penderita; Bipolar Attractive disorder 1, ADHD dan Anxiety Disorder.

Tentu bukanlah hal yang mudah untuk bertahan dan menghadapi kenyataan dalam setiap hari tiga kali menelan obat-obat untuk berpikiran positif, untuk tenang, hingga untuk tidur pun perlu minum obat. Akhir-akhir ini, banyak kita temui kabar bunuh diri akibat kecenderungan atau gangguan psikologis dan peristiwa yang menyakitkan bagi sang pelaku. Saya pun tidak memungkiri untuk bunuh diri, namun saya juga tidak bisa dipungkiri dapat bunuh diri. Bila ada seseorang berkata, “Letak kesalahan bunuh diri adalah dari si pelaku bunuh diri itu sendiri”, maka perlu diingat kembali bahwa tidak ada asap bila tak ada api. Sudah dipastikan ada penyebab pelaku ingin bunuh diri dan siapa lagi kalau bukan lingkungan sekitar yang dekat maupun jauh, serta berkontribusi untuk mendorong dan mendukung pelaku untuk berputus asa dengan menerima sikap penghinaan, diskriminatif dan intimidatif terhadapnya.

Terhitung sudah tiga kali percobaan bunuh diri yang saya lakukan. Dari mengiris nadi hingga over dosis, bahkan selalu berdo’a di hadapan-Nya untuk disingkatkan usia, namun semuanya gagal. Lalu saya mengalami kecelakaan hebat yang menyebabkan tulang belikat, panggul dan kaki kiri saya patah, namun saya masih diminta oleh-Nya untuk tetap menghela nafas. Saya selalu berpikir, untuk apa saya diberi hidup dalam kehidupan fana ini yang akan berakhir pada kematian?

Minggu lalu, setelah makan siang.

Dengan pandangan kosong, tubuh saya mendadak terdoyong lemah ke belakang. Lalu Mama disamping saya mengingatkan untuk istighfar dan merebahkan tubuh terlentang di atas ranjang. Dari ujung kuku ibu jari kaki, merambat dingin pelan-pelan ke bagian atas tubuh. Seperti dikuliti dan tenggelam dalam lautan es. Saya semakin panik dan ketakutan. Mama dan Nenek saya memeluk saya dan terus ber-Istighfar. Tibalah ujung tombak es yang menusuk ulu hati, hingga berlayar ia sampai ke ubun-ubun. Lafadz Ke-Illahian yang dikumandangkan, semakin terdengar pelan dan sayup. Juga tubuh saya bagai bunga dandelion yang dalam sekali tiup dengan ringan pergi dari jasadnya. Hingga akhirnya saya sadar, betapa lancangnya saya melawan sebuah kepastian yaitu, mati.

Begitulah cara Dia mempertemukan saya dengan kembang-kembang kematian. Maka matilah dosa saya, dan di bunuhnya prasangka buruk nan kesepian. Sungguh, tidak ada tempat berpulang nan teduh selain di pelukan Ibu dan dalam pangkuan-Nya.

Saya selalu mempercayai wadah, bahwa kopi memiliki cangkirnya, celacah memiliki asbaknya dan ruh memiliki jasadnya. Begitupula emosi yang amat fluktuatif nan ekstrim. Perlu di wadahi dengan media katarsis berupa apapun bentuknya. Dan saya menemukan wadahnya; di dalam seni.

Maka jawablah cerita hidupmu, dengan caramu!

--

--

Navida Suryadilaga
Jejakeumala

A Poet, writer, performer, heavy smoker and coffee lover.