Perihelion

Anak Utara
Jemala
Published in
6 min readMar 22, 2021

Perihelion is the point of the Earth’s orbit that is nearest to the Sun.

Tidak ada hubungannya kok sama tulisan ini. Biar keren saja.

Terdengar scientific sekali ya? Padahal ini tulisan musik. Jadi, apa hubungannya dengan ilmu antariksa? Ya, tidak ada sih. Seperti kumpulan bintang di angkasa yang bisa menjadi sebuah rasi bintang, The King Gizzard And The Lizard Wizard adalah kumpulan dari karya album lintas genre ciptaan mereka sendiri. Yak, baru mulai dan sudah mulai melantur.

Ehem! Saya termasuk terlambat dalam mengenal unit psychedelic asal Australia yang satu ini. Saya pertama kali mendengarkan betapa kerennya mereka lewat album yang rilis di tahun 2017, yang berjudul “Polygonwanaland”. Saya kemudian tersadar bahwa di tahun yang sama, mereka berhasil menelurkan lima buah album secara beruntun, dengan eksperimentasi heboh. Hal itu membuat saya merasa bahwa saya adalah manusia yang malas di kehidupan yang fana ini.

Australia, bagi saya adalah negara pencipta aksi psychedelic yang berbobot di beberapa tahun belakangan. Tame Impala, Pond, hingga band satu ini — yang namanya terlalu panjang sampai malas saya ketik, adalah beberapa di antaranya. Setelah bereksperimen dengan berbagai macam genre yang memiliki rasa-rasa psychedelic rock di dalam setiap albumnya, tiba-tiba menuju akhir 2019, The King Gizzard and The Lizard Wizard menelurkan sebuah album yang sering diasosiasikan dengan genre thrash metal, yang berjudul “Infest The Rats’ Nest.”

Saya jujur tidak berani terlalu banyak ngomong soal genre ini, karena saya bukanlah pendengar avid dari genre metal — Terakhir saya aktif mendengarkan Original Soundtrack game Doom Eternal karya Mick Gordon. Entah itu masuk kategori atau tidak. Namun, Saya tidak akan terlalu bingung apabila banyak diversifikasi opini mengenai album ini. Karena metal adalah sebuah genre yang terkenal dengan kapabilitas teknis yang hebat di setiap alat musik para personel.

Musik metal dikenal dengan fans-fansnya yang militan. Kehadiran band satu ini, yang tiba-tiba banting setir untuk menyicipi genre metal — tanpa ada aba-aba dan pengalaman secara diskografi, menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, saya kemudian mengerti alasan mengapa beberapa ulasan mengenai album ini dianggap tidak sebegitunya untuk menjadi rilisan metal yang hakiki.

Bagi beberapa orang album ini mungkin terdengar seperti effort yang belum kesampaian. Karena standard saya yang tidak setinggi itu, respon saya terhadap album ini cenderung lebih santai. Semua track di album ini terdengar sangat nyaman di kuping saya — memang pengalaman songwriting mereka yang sangat banyak dan cepat itu tidak berbohong, sih. Cara mereka memanfaatkan apa yang mereka bisa untuk menutup beberapa kekurangan teknis — yang bahkan mereka akui di beberapa interview mereka, bahwa memainkan metal tidaklah mudah. Kenekatan mereka membuat saya berpikir ulang dan belajar tentang problem solving dalam pembuatan sebuah karya musik. Terutama, jika kita memang tidak memiliki teknik yang kita inginkan, namun tetap kepala batu ingin membuat karya musik yang kita suka, dalam waktu terbatas yang kita miliki.

Metal bukanlah genre musik yang dalam sekali dengar, bisa dengan mudah mengucapkan kata ‘gampil’ di kepala — kecuali memang bakat musik Anda sudah disematkan kepada anda dari Tuhan sejak dari orok. Mungkin album ini tidak terdengar se-polished album metal karya para penggiatnya, untuk bisa jadi 1 album yang tetap bisa dianggap sebagai metal. Namun, dengan background musik yang bukan metal sama sekali dan dalam kurun waktu beberapa bulan saja sesudah merilis album non-metal, pencapaian ini sudah sangatlah luar biasa.

Segi songwriting, penciptaan riff, hingga pelengkapnya adalah beberapa hal bersinar di album ini bagi saya. Semua cukup, tidak berlebihan, terasa impact-nya, dan works. Dari setiap track, riff gitar menempel dengan erat di telinga saya. Ini jarang terjadi di sebuah album. Ada dorongan pribadi, di mana saya harus mendengar keseluruhan album dari awal sampai habis supaya terasa afdol. Album ini buat saya sangat berhasil dalam faktor itu.

Mari Eksodus.

Infest The Rats’ Nest Album Artwork. Courtesy of: kinggizzard.bandcamp.com

Bercerita tentang eksodus manusia dari bumi ke planet Venus yang berujung na’as, album ini memberikan gambaran yang cukup solid dari segi musik dan lirik. Secara struktur semua lagunya memiliki format yang standard: intro-verse-chorus-verse-chorus-outro. Tetapi dihajar dengan sangat baik dengan seksi ritem yang garang. Secara porsi lead guitar di album ini tidak terdengar luar biasa dari segi kecepatan tarian jari. Approach mereka untuk menutup kekurangan itulah yang menarik bagi saya. Pengulangan teknik trill yang cepat terjadi di beberapa lagu, serta transisi dengan pedal gitar yang penuh distorsi dan efek glitchy, mampu menjaga kesangaran setiap track.

Pengulangan teknik trill menjadi solusi yang bagi saya cukup cemerlang, demi membuat musik di album ini tetap utuh. Mungkin beberapa orang akan menganggap solusi tersebut lebih ke arah malas. Tetapi satu sisi, ini bisa dipertimbangkan saat membuat sebuah karya musik: kematangan eksekusi perlu dipikirkan, supaya terdengar cocok dan efektif, dan tidak sekedar menjadi jalan pintas yang mudah untuk menyelesaikan karya musik.

Tiga track awal: ‘Planet B’, ‘Mars for The Rich, dan ‘Organ Farmer’ menggebrak dengan kencang. Melalui verse yang intens, disambung dengan chorus yang membentak, menegaskan paragraf pembuka yang bercerita tentang bagaimana hancurnya keadaan bumi sebelum perjalanan ini terjadi. Frasa ‘there is no Planet B’ di ending track ‘Planet B’ menjadi penanda betapa terpojoknya keadaan manusia di bumi tanpa ada opsi planet lain.

Dilanjutkan dengan track kedua dan ketiga yang mempertanyakan tentang mengapa sisa manusia harus berangkat ke Venus? Jawabannya karena Mars sudah ditetapkan bagi orang kaya dan adanya praktek agrikultur mengerikan dalam bentuk organ tubuh manusia di bumi tercinta. Intensitas ketiga track pembuka tersebut tak hanya terasa dari segi musik, tetapi juga storytelling yang jelas, tanpa basa-basi, dan brutal. Vibe psychedelic masih terasa di solo bass untuk track ‘Mars for The Rich’. Bukan dengan teknis yang mumpuni, tetapi juga tidak membuat solo ini terdengar ‘aneh’ sebagai jembatan menuju penutup lagu.

Setelah tiga track tadi, masuklah saya di lagu berdurasi paling panjang dan paling pelan di album ini, yaitu ‘Superbug’. Apakah pelan berarti santai atau melankolis? Tentu tidak! Suasana sangar dan kelam terasa di sepanjang lagu, jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. ‘Superbug’ sukses mempertahankan vibe album ini walau dengan tempo yang lebih pelan. Suara gitar yang tebal dan menekan, berbalut dengan sangat baik dengan bass dan drum seolah membawa kita ke kelamnya serangan serangga alien super yang muncul dari antah berantah, dan mengancam masuk ke aliran darah.

Tiga track selanjutnya adalah representasi petualangan yang menggebu: ‘Venusian 1’, ‘Perihelion’, serta ‘Venusian 2’ adalah trilogi yang sangat apik. Jika empat track pertama yang saya sebut di paragraf sebelumnya,terasa seperti persiapan yang sangat menyiksa di bumi, ketiga track ini menceritakan kondisi ketika bumi sudah terasa jauh. Trilogi ini bercerita tentang manusia yang sedang dalam perjalanan tata surya menuju masalah baru yang jauh lebih liar. Rasanya mengingatkan saya akan game space horror seperti, “Doom” dan “Dead Space”, yang penuh adegan tubuh tercabik di dalam pesawat luar angkasa, saat harus mencari harapan dalam galaksi luas yang belum tentu ada. Saya tidak mengerti mengapa kegilaan cerita itu mampu menginjeksi saya dengan adrenalin yang adiktif untuk menemani saya melakukan aktifitas fisik, dari yang paling ringan hingga yah… treadmill tipis-tipis sambil menyanyikan chorus ‘Venusian 2’ yang secara literal hanya berisi anthem kata ‘Venu… Sian Two!’ berulang-ulang, layaknya mantra untuk menumbuhkan semangat optimisme palsu. 3 track tersebut adalah track favorit saya di album ini.

‘Self-Immolate’ dan ‘Hell’ yang didaulat menjadi dua track terakhir, tidak memberikan rasa santai sama sekali sampai akhir. Tabuhan drum yang liar di track ‘Hell’ kadang membuat saya mampu bergerak mengerjakan pekerjaan dengan lebih cepat. Entah mengapa. Mungkin track tersebut bisa disamakan dengan suara dari deadline yang memaki kencang. Bayangkan gambaran masyarakat kelas menengah ke bawah yang akhirnya sampai ke tanah perjanjian mereka, hanya untuk menemukan bahwa ada penyakit khusus planet Venus yang bisa melumerkan tubuh mereka.

Teror demi teror demi teror menampar semua manusia di cerita album ini. Semua harapan yang mereka bangun tidak ada yang terjadi sama sekali. Na’as. Seperti harapan saya untuk bisa naik gaji dengan nominal yang lebih besar dari standar.

“Auto-cremate! Self-immolate!”

Sering terbesit di otak saya saat mendengarkan album ini: “Mungkin album ini adalah album metal yang paling pop”. Seluruh track terdengar catchy dan mudah dicerna. Tiba-tiba saja terjadi seperti musik-musik lain yang saya suka — effortless dan tidak memerlukan banyak energi. Hal ini terbukti saat saya yang jarang mencari lagu metal, bisa merasakan kenyamanan saat mengulang-ulang album ini: Dari awal hingga akhir, album ini adalah album tanpa harapan yang sangat enerjik. Apa coba?

Saya membayangkan betapa menyenangkannya proses pengerjaan album ini. Terasa sangat cuek dan lepas. Seolah mereka hanya fokus dengan kesenangan mereka dan tidak terlalu peduli dengan ekspektasi khalayak banyak, termasuk fans mereka sendiri. Entah itu benar atau tidak, sebagai seseorang yang sedang berusaha menciptakan karya musik sendiri, saya juga ingin bisa selepas itu dalam berkarya. Semoga bisa ya.

Bonus penutup, silahkan menikmati live performance mereka di kanal youtube KEXP di bawah ini.

Salam garpu somay!🤘

--

--

Anak Utara
Jemala
Editor for

1 as Anak Utara. 2 as Jemala. North Jakarta based aspiring Music Producer.