Simple, Simple, My A*s…

Anak Utara
Jemala
Published in
5 min readAug 8, 2021

Saya mulai artikel ini dengan mengungkapkan rasa senang saya sebesar-besarnya kepada band saya sendiri, Jemala untuk akhirnya bisa mempunyai rilisan EP pertama. Setelah berjuang bersama-sama untuk mengumpulkan materi, mempunyai sebuah EP adalah sesuatu yang sangat rewarding rasanya untuk kami berdua terutama di saat-saat di mana Covid-19 kembali harus memukul mundur kebebasan Indonesia yang mengakibatkan kami juga harus merelakan waktu rekaman bersama kami sampai masa kelam ini bisa terang sedikit lagi.

Alih-alih bercerita tentang keseluruhan EP-nya yang kalian mendingan baca di artikel Theo dengan isinya yang jauh lebih happy. Ijinkan saya bercerita sedikit tentang salah 1 dari 2 track bahasa inggris perdana kami yang berjudul ‘North’. Lagu satu ini telah berhasil menciptakan impresi yang cukup mind-bending buat saya. Mengapa? Bosan dengan musik yang itu-itu saja? Dengan berlangganan Spotify anda… Maaf, boleh silahkan dengarkan dulu EP kami, terutama track ‘North’ untuk harapannya bisa membuat cerita di artikel ini lebih make sense.

Maaf, saya tidak tahu cara kecilin embed yang satu ini.

Mari Kita Berkebon!

Sebagai manusia yang suka aneh-aneh, di Jemala ini justru banyak membuat saya harus memakai mindset songwriting yang sangat jauh berbeda ketimbang projek pribadi saya, Anak Utara. So far, sebenarnya tidak terlalu ada masalah. Bisa dibilang malah seru sekali. Track demi track kami tulis dan rilis dengan cukup lancar sampai pada kedua single yang saya sebutkan tadi. Sedikit spoiler, kami juga masih punya beberapa track yang belum kami rilis dan jumlahnya, ya okelah…

Secara struktur bisa dibilang ‘North’ dan ‘St. Germain’ adalah track paling simple yang pernah kami ciptakan. Ketika saya menemukan sketsa lagu-nya pun kita berdua bisa dengan mudah sepakat untuk tidak membuat banyak pergantian progresi dengan keinginan membuat lagu ini lebih mudah dinikmati dan nyaman di telinga. Keyword-nya mungkin, lagu folk-pop yang tidak ngejelimet.

Nyatanya, keinginan itu sama sekali tidak memudahkan saya dalam menyelesaikan track ini. Lebih tepatnya saya sebenarnya yang sangat kesulitan untuk menemukan rangkaian pelengkap yang bisa membuat track ini jadi tidak ribet. Ternyata menakar tingkat kesimpelan isian sebuah lagu tidak sesimpel itu. Kadang rasanya lebih mudah bermain gila dengan menambah banyak lapisan suara ketimbang mencoba untuk mencari takaran pas sesuai kebutuhan dari si lagu yang sedang digodog.

Selesai kami take part gitar akustik dan klasik biasanya menjadi bagian yang menarik untuk kami berdua saling bertukar ide dan rebut-rebutan menciptakan isian-isian yang pas untuk lagu yang kami ciptakan. Referensi pun biasanya jelas dan bisa kami pergunakan dengan baik. Namun, ‘North’ membuat hari saya menjadi berbeda. Seakan-akan otak saya sudah kehabisan bensin, hari itu tidak ada satupun isian pelengkap yang saya mampu pikirkan setelah kami selesai merekam part gitar dan vokal.

Saking kosongnya, bahkan semua part yang Theo mainkan menjadi sesuatu yang menakutkan buat saya hari itu. Tidak ada satupun yang terasa pas dan rasanya hari itu semua opsi referensi benar-benar sudah habis dipakai. Karena sketsa dari lagu ini datang dari saya, rasa stress yang memuncak menjadi muncul ketika Theo bertanya, “Emang lu kebayang ini track mau gimana jadinya?”. “Aaaa… Hmm… Sial nih, ga kebayang lagi. Tapi kurang asik ini.”, jawab saya dengan frustasi. Tidak ada rasa kesal sama sekali dengan Theo selama proses ini. Saya jujur sangat merasa kesal dan sebal dengan diri sendiri karena sebagai orang yang menemukan sketsa lagu ini, saya merasa tidak bertanggung jawab karena tidak mampu membawa lagu ini jadi lebih baik, dan parahnya lagi saya tidak bisa menjawab kebingungan Theo tentang apa yang membuat saya sekagok itu. Hari itu saya hanya bisa menerima kenyataan setidaknya rekaman gitar dan vokal dari ‘North’ sudah beres.

Malam hari saat saya dalam perjalanan pulang dari tempat kerja kami ke rumah, entah dapat pencerahan dari mana ketimbang mendengarkan referensi-referensi yang biasa saya dengar untuk Jemala, saya memutuskan untuk mendengarkan rilisan Jemala dari “Seadanya” sampai “Lula”. Setelah sampai rumah saya bilang ke Theo via chat, “Gue jadinya dengerin lagu-lagu Jemala di mobil. Jadi semacem moment of reflection gitu”. Si gitaris pun bertanya, “Jadi apa hasil reflection-nya?”. Saya jawab, “Who is that girl I see?”. Yang terakhir itu bohong, tapi kalau ada yang mau bersikeras di otak sendiri kalau ini kenyataan, ya silahkan.

Sebuah cuplikan pembicaraan.

Ya, ternyata selain ingin lagu ini bisa jadi lagu simple dan enak, saya tidak bisa berbohong kalau ada ambisi lain yang nyelip hari itu. Saya conflicted dengan pertanyaan, apakah Jemala habis 3 single harus gini-gini aja atau harus evolusi? Evolusi jadi apa? Tidak tahu juga tapi ya beda kali ya? Perlu beda mungkin? Jelas ini bukan pertanyaan yang baik untuk di didebatkan di otak sendiri saat mengerjakan lagu simple yang sebenarnya juga menjadi bagian dari style kami sekarang. Toh di saat itu juga belum ada keinginan dari kami berdua untuk berganti haluan dan tidak ada jawaban konkrit dari saya untuk pertanyaan aneh itu. Haruskah beda? Sebenarnya rasa-rasanya tidak juga. Tidak perlu saja sebenarnya dipaksakan untuk berbeda tanpa mengerti tujuannya apa. Ada kalanya memang lebih baik dibiarkan mengalir mengikuti hakikatnya saja.

Sekilas mungkin terdengar seperti alasan malas. Mungkin juga benar itu alasan malas. Namun, saya cukup yakin di malam itu, setidaknya untuk diri saya sendiri. Ketika saya mendapatkan pencerahan perihal ketidakperluan saya memaksakan kehendak untuk membuat karya kami jadi kontras berbeda setelah mendengar discography kami sendiri. Saat itu, pemikiran itu meliberasi saya dari beban-beban yang saya timpakan pada diri saya sendiri. Beban-beban tentang sebuah karya harus progresif, tidak boleh status quo, dan beribu kebijaksanaan dunia seni lainnya (yang jelas tidak ada salahnya) yang bisa saja saya terapkan secara prematur saat itu, lepas begitu saja.

Saya pun di 1 sisi cukup punya keyakinan bahwa tetap lebih baik sebuah karya diciptakan dengan kondisi mental yang bahagia ketimbang berat dengan beban-beban tekanan yang sifatnya abstrak. Toh, vibe ‘North’ sendiri tidak membutuhkan keberadaan polyrhythm/polymeter kompleks ala ‘Trout Mask Replica’-nya Captain Beefheart ataupun dentuman kick drum 808 di sana untuk membuatnya terdengar berbeda dari yang lain. Sifatnya sebagai lagu cinta dengan genre folk sepatutnya diceritakan dengan santai dan seadanya tanpa abstraksi yang intensinya lebih untuk kosmetik ketimbang konteks.

Benar atau salahnya saya jujur tidak tahu. Standard-nya naik atau tidak pun, saya juga tidak bisa sepede itu untuk menjawab iya. Terkadang saya berpikir, semua ada tingkat keberhasilan dan keyakinannya masing-masing. Ada yang memaksakan diri untuk mengerjakan musiknya dengan beban standard yang tinggi hingga senewen dan frustasi ternyata, hasilnya masterpiece. Ada juga yang tidak. Hasil bagus atau tidak toh kembali lagi ke standard masing-masing. Yang saya tahu dan ingat hanyalah setelah hari itu lewat, besoknya kami berdua bisa melanjutkan ‘North’ sampai ke tahap di mana kami berdua bisa dengan senang mendengarkannya berulang-ulang dari sesi recording, mixing, mastering hingga rilis. Apakah ini sudah yang terbaik? Untuk sekarang saya bisa jawab iya. 2, 3, 4, 5 tahun lagi mungkin tidak. Hanya bisa berharap lewat pengalaman ini, saya bisa tetap berjelajah sambil menikmati perjalanannya seadanya. Masih banyak pencerahan-pencerahan dari kebodohan-kebodohan lain yang sedang menunggu di masa depan anyway.

*Fun Fact: ‘North’ masuk editorial playlist Spotify yang bertajuk, ‘Fresh Finds Indonesia’. 👍

--

--

Anak Utara
Jemala
Editor for

1 as Anak Utara. 2 as Jemala. North Jakarta based aspiring Music Producer.