Pas sudah dua puluh tiga tahun sejak Ibu menghilang. Omongan mengenai kepergiannya sudah biasa aku dengar, kebanyakan buruk. Ayah berkata bahwa Ibu bunuh diri. Aku tidak tahu harus percaya atau tidak, dan sejujurnya, aku tidak peduli. Dia pergi ketika aku masih sangat kecil, dimana aku tidak mengerti apa apa.
Dia adalah seseorang yang sangat asing bagiku, yang aku benci dengan seluruh bagian dari tubuhku karena dia meninggalkan aku dengan ayah; sesorang yang sadis dan penggerutu. Seharusnya dia membawaku pergi bersamanya, seperti yang seharusnya ibu-ibu lain lakukan. Kecuali dia.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, sama seperti hidup ayah. Hal paling penting yang dia beri padaku hanyalah sebuah arloji antik miliknya.
— -
Petang itu, aku menemukan diriku duduk di sebuah bar; sementara ballroom itu dipenuhi dan semakin dipenuhi oleh manusia, yang entah berdansa ataupun bercumbu.
Aku sudah minum 3 gelas alkohol ketika seorang wanita duduk disampingku. Tidak, maaf, seorang wanita yang sangat cantik. Dia secara elegan mengenakan dress vintage panjang. Dialah yang paling menonjol dari semuanya. Pemandangan akannya sangatlah memikat, cukup untuk hampir membuatku menjatuhkan alkohol yang sedang aku pegang.
Ia melirik ke arah ku. Aku melirik ke arah nya
Dia membuang mukanya. Bermain mahal, huh?
Aku beranikan diriku untuk memulai pembicaraan. “Halo.”
— -
“Anda terlihat seperti mantan kekasih saya,” dia berbicara di tengah senyumnya.
Aku pura-pura cemberut, tapi aku menikmatinya. “Membandingkan kekasih potensial dengan kekasih masa lalu sangatlah tidak dihargai, nona.”
Dia terkekeh. “Kau benar-benar mirip dengannya; hanya lebih lucu, dan… baik, kukira?”
Aku tersenyum. Dan musikpun berganti.
Aku berdiri dan menjulurkan tanganku kepadanya. “Bolehkah saya berdansa dengan anda?”
— -
Kami berdansa menuruti irama seperti pendulum, tiap gerakan dengan sinkronisasi yang sempurna. Waltz —berdansa untuk kebahagiaan malam itu.
Malam semakin malam. Gelap semakin gelap. Menghindarkan matahari untuk terbit melawan gelapnya malam.
Wanita itu tiba tiba diam — kaku, memaksa kami untuk berhenti. “Cepat, kau harus mengeluarkan saya dari sini,” dia meraih lenganku dengan terburu-buru.
Aku tertawa riuh-rendah, menggelengkan kepalaku dalam gerakan yang berlebihan karena pernyataannya. “Itukah kau, Cinderella?”
Mukanya makin pucat pasi, menyentak-nyentak lenganku semakin cepat. Dan aku sadar bahwa ia tidak main-main.
— -
Tawaku hilang ketika aku mengikuti langkahnya, tidak yakin dengan cara berjalannya. “Hey, kenapa terburu-buru?”
Ia menoleh untuk meraih pandangan mataku, tapi sebelum dia bisa melakukan itu, terdengar lolongan yang menggelegar.
Lolongan yang tampaknya berasal dari belahan dunia yang lain, menggema — mengguncang tanah. Apakah ini hanya imajinasi bodoh ku?
Namun diapun mendengarnya. Wajahnya terlihat penuh penyesalan dan pasrah tepat ketika lolongan itu berhenti. “Oh, tidak…”
“Ada apa?”
Dia melirik ke arahku, tampak terperanjat. “Kau dengar?”
“Ya, jelas.” Aku hampir tertawa tapi ku urungkan niatku ketika melihat wajahnya yang murung.
Raut mukanya susah ditebak; jadi aku memutuskan untuk memainkan peran yang sudah seharusnya aku mainkan sejak tadi. Ini adalah kesempatanku.
“Lihat, tentang apapun itu, anda tidak perlu terlalu sedih. Mau saya antarkan pulang?”
Dia menggelengkan kepalanya. “Saya pergi dari rumah.”
Pandanganku melembut. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita secantik ini yang bisa membuatnya kabur dari rumah?
Aku melingkarkan lenganku ke pinggangnya. “Kalau begitu, biarkan saya antar anda ke rumah saya.”
Dia mengangguk ragu-ragu
— -
Matahari terbit dengan hembusan angin semilir menyejukkannya, mewarnai langit dengan garis ungu dan jingga. Dan juga dinginnya udara pagi terasa seperti gigitan kecil sepanjang perjalanan kami. Lengan kami bergesekkan satu sama lain seperti roda dan pinion.
Dia tidak terlihat sedih lagi, tetapi ketika aku mengubah arah dan berganti ke jalan menuju perumahanku, warna mukanya berubah lagi. Dia seperti baru saja melihat sebuah pembunuhan.
“Ada apa?”
Wanita itu berhenti dalam jalannya ketika kami hanya tinggal beberapa meter lagi dari pintu rumah.
“Kenapa?” Aku mulai kesal pada keganjilannya. Aku merogoh arloji untuk memeriksa jam berapa saat itu.
Ia tiba-tiba mengambil arlojiku dengan kasar, memeriksa dengan seksama. Lalu ia menoleh ke arahku, terlihat mengetahui sesuatu.
“Kau- kau bukan….”
Lalu ia pergi, berlari.
Tik. Tok. Tik. Tok
Bunyi hak pada sepatunya pada tanah yang dingin
— -
Once again, hugeboy’s