Winter
14 Februari 2004.
Lea bangkit dari tempat duduknya. Ia melambaikan tangannya, meminta tagihan untuk makanan yang tidak ia makan kepada pramusaji. Seorang laki-laki berumuran sekitar 20an pun mengangguk ke arah Lea dan segera menghampirinya.
Mata Lea mengembara ke ruangan restoran bergaya barok itu. Rambutnya yang terkuncir sempurna pun mulai terurai berantakan. Sudah dua jam lamanya ia duduk seorang diri disana, menunggu tamu yang tampaknya tak akan kunjung datang beberapa menit, jam ataupun hari-hari berikutnya.
“Silakan, Nona”
Sapaan dari si pramusaji mengejutkan Lea. Ia pun mengambil dan memindai tagihannya, mengeluarkan beberapa lembar uang dollar dan menaruhnya di atas meja sambil perlahan-lahan bangkit.
“Ambil kembaliannya.”
Melihat jumlah uang yang tergeletak diatas meja membuat lelaki muda itu kebingungan. Lea memberikan tip yang terlalu banyak untuknya. Namun seiring dengan gerakan Lea yang tergesa-gesa keluar dari restoran, lelaki itu pun segera menyusul dan membukakan pintu untuk Lea.
“Senang melayani Anda, Nona. Selamat malam.”
Lea hanya membalas dengan senyuman sebelum akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari restoran — disambut angin dingin kota Manhattan yang menerpa rona pipinya yang memerah.
Jalanan Manhattan yang sibuk selalu ramai dengan lalu lalang orang-orang yang bepergian entah kemana. Ini kota tempat para pemimpi berkumpul dan saling berusaha memenuhi kebutuhan tanpa batas — berharap bisa terlepas dari fananya kehidupan. Dengan gedung pencakar langit yang beradu dengan awan dan berlomba-lomba untuk mencapai matahari, Manhattan bukan kota untuk orang bernyali lemah. Kota ini tidak ramah sama sekali, tapi Lea tidak keberatan. Kota yang tidak pernah tertidur cocok untuk malam-malam tanpa tidurnya.
Lea berjalan ke tepi trotoar dan melambaikan tangannya. Tidak lama kemudian, sebuah taksi berhenti dan ia segera masuk ke dalamnya.
“Ke 740 Park Avenue.”
Omong-omong, terlepas dari hari ini adalah hari valentine, seharusnya hari ini menjadi hari yang juga istimewa untuk Lea. Karena seharusnya hari ini menjadi waktu dimana ia akhirnya bisa mengetahui kebenaran dibalik pil kebohongan yang sudah ia telan 25 tahun lamanya.
Sayangnya, sang tamu yang diharapkan tidak kunjung datang. Sebenarnya, Lea sudah kebal dengan perasaan kecewa. Ia sudah terbiasa dengan rasa frustrasi hingga ia merasa tidak pantas lagi untuk memberikan ekspektasi. Jadi baginya, hari ini sama saja seperti hari-hari dahulu dimana ia dipermainkan oleh waktu.
Ketika sampai di depan sebuah pintu apartemen, dengan kepala yang tertunduk Lea menekan tombol bel dan menunggu seseorang membukakan pintu untuknya.
“Lea? Kau tidak apa-apa?”
Seorang pria yang lebih tinggi darinya membukakan pintu dan menatap Lea dengan penuh rasa khawatir. Bagaimana tidak, rambut Lea yang berantakan tertiup angin dan mantelnya yang ia pakai sembarangan cukup menandakan bahwa perempuan itu butuh seseorang untuk menemani malamnya. Jeffrien tidak keberatan, lagipula Lea juga sudah sering menginap di apartemennya. Hanya saja kali ini berbeda, tidak biasanya Lea tidak memberitahu Jeffrien sebelumnya jika ia akan datang untuk berkunjung.
“Masuk. Kau butuh sesuatu?” tanya Jeffrien yang segera menghambur ke dapur untuk menyeduh teh chamomile hangat untuk Lea.
“Dia tidak datang, Jeff.”
Jeffrien berhenti menuang tehnya dan menoleh ke arah Lea. Ia tahu persis siapa ‘dia’ itu. Orang yang membuat Lea-nya menderita. Orang yang menghalangi mimpi-mimpi indah Lea. Orang yang seharusnya memang tidak perlu Lea paksa untuk bertemu.
Spring
“Kau tahu kenapa Icarus jatuh?”
Berdiri di belakang ruangan, Lea mengumpulkan sisa-sisa nyawanya untuk tetap terbangun dan sadar. Sudah beberapa hari belakangan ini ia tidak tidur lelap. Sesuatu tentang malamnya terasa begitu sesak dan sepi. Dia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki siklus ini, tapi ia mengerti cara menghentikannya selamanya.
“Dia terbang terlalu dekat dengan matahari, bukan?” jawab Jeffrien. Lea duduk di bangku tepat di samping Jeffrien dan mengamati pergelangan tangannya yang penuh dengan luka. Entah bagaimana luka-luka itu tidak terasa sakit, namun menyimpan memori-memori pedih yang berusaha ditutupi Lea.
Lea lalu mengulum senyum dan menyisip tehnya. “Daedalus membunuhnya.”
“Apa? Aku tidak mengerti. Daedalus berusaha menyelamatkan Icarus dan dirinya dari labirin tak berujung itu.”
“Ya. Lelaki tua yang egois.” Lea tertawa, mengalihkan pandangannya, dan saat itulah Jeffrien menyadari bahwa Lea tidak benar-benar tertawa. Ia menangis. “Icarus hanyalah korban dari keserakahan ayahnya — kau tahu itu? Mungkin menjadi terlalu pintar adalah sebuah kutukan dari para dewa kepada Daedalus.”
“Jelaskan kepadaku.” Kali ini Jeffrien melirik Lea dengan raut muka penuh pertanyaan. Bukan sekali dua kali Lea menyinggung tragedi Icarus kepadanya, namun Jeffrien merasa kali ini ada yang berbeda dari maksud Lea dan celotehannya tentang mitologi Yunani.
“Hukum gravitasi. Nilai moral. Kodrat manusia.” Lea menutup matanya. “Jeff, Icarus dan Daedalus hanyalah manusia. Mereka bukan dewa seperti Zeus dan Poseidon — dan mereka berani melanggar aturan itu.”
“Mereka terjebak di labirin. Pilihannya antara terkurung disana selamanya atau kabur meski dengan resiko tertangkap oleh Minos.” Jeffrien bersikeras.
“Lalu terbang dengan sayap buatan menurutmu adalah sebuah solusi? Lebih dari satu jam berjemur di Crete dan kau akan menjadi manusia panggang. Ditambah mereka terbang, dimana posisi mereka lebih dekat ke matahari dibanding daratan. Suatu keajaiban Daedalus bisa hidup, menurutku.”
“Apa yang sedang ingin kau sampaikan, Lea?”
Beberapa detik berjalan tanpa jawaban dari Lea. Ia hanya menatapi balkon dengan tatapan nanar. Menikmati suasana apartemen Jeffrien yang bernuansa laut Mediterania dan mengamati langit yang memberikan semburat warna oranye.
“Apakah kau tahu kalau Daedalus membunuh keponakannya karena takut kepintarannya tersaingi? Oleh karena itu para dewa-dewi membuangnya dari Athena. Obsesi Daedalus menjadi yang terbaik dan mendobrak batasan pada akhirnya menjadi kejatuhan terdalamnya. Mungkin.. mungkin sudah seharusnya labirin itu menjadi tempat perhentian mereka yang terakhir. Kehilangan seorang anak menjadi karmanya.”
Hening. Tidak ada jawaban dari Jeffrien. Bukannya ingin untuk menyanggah Lea, tapi perkataan gadis itu ada benarnya juga.
Selama ini orang-orang selalu berbicara seolah menyalahkan Icarus yang terlalu serampangan dan menghindarkan himbauan ayahnya. Tapi buah tidak jauh dari apelnya, bukan? Kenapa belum ada yang membahas bagaimana peran Daedalus dalam kejatuhan Icarus? Kenapa belum ada yang mengerti bahwa semua ini mungkin kesalahan Daedalus?
“Menyedihkan. Aku hanya ingin bertemu dengan Ayah untuk yang terakhir kali, Jeff. Meskipun aku sudah dibuat sengsara olehnya setelah kematian Ibu, tapi aku hanya ingin melihat wajahnya. Is it that hard? Apakah aku telah membuat para dewa kesal karena membidik terlalu tinggi? Apakah aku harus mati supaya Ayahku sendiri mengunjungiku? Well, figures. Daedalus pun tidak melihat secara langsung bagaimana Icarus jatuh. Ia hanya menemukan jasadnya.” Mata Lea kembali terpejam sebelum Jeffrien dapat memeluk badannya dan memberitahunya untuk tidak memikirkan ide-ide gila.
Karena Jeffrien tahu, Lea adalah seseorang yang mungkin akan mati setragis Icarus.
Jeffrien bisa mendengar suara Lea yang serak dan itu menyakitkan baginya. Betapa sakitnya Jeffrien ketika harus tahu bahwa Lea selama ini menanggung beban yang begitu berat dibalik wajahnya yang indah dan bola matanya yang menawan. Kenangan masa kecil Lea pun terlintas di matanya. Saat-saat ketika mereka tertawa lepas, bahagia tanpa beban.. semua itu nampaknya tidak lagi diingat Lea.
“Jeff, ada harga yang harus dibayar kalau kita ingin terbang setinggi matahari.” katanya seraya berusaha menahan air mata agar tidak jatuh.
“Orang tua selalu melarang anak-anaknya akan sesuatu yang mereka tahu akan membahayakan anaknya. Tapi alih-alih mengikuti larangannya, anak-anak itu malah melanggarnya karena mereka masih kecil. Mereka tidak tahu yang benar atau salah. Rasa ingin tahu mereka lebih tinggi daripada ketakutan mereka untuk mati.” Lea sekali lagi membisikkan kalimat tersebut dengan mudahnya, membuat hati Jeffrien semakin remuk.
“Jadi menurutmu Daedalus harusnya tidak memberitahu Icarus tentang matahari? Jika Daedalus tidak menyebutkannya, mungkin Icarus akan lebih fokus untuk terbang mengarungi laut, dan mereka berdua akan keluar dari labirin dengan selamat?”
“Ya, seharusnya. Mungkin Daedalus memang ingin Icarus mati.”
Summer
Bulan Agustus menjadi bulan dimana matahari seakan menunjukkan kekuasaannya. Hawa panas tanpa angin menyelimuti kota Manhattan. Membuat semua orang merutuki dirinya sendiri jika sedang terpaksa harus keluar rumah.
Lea, di sisi lain merasa tidak keberatan dengan suhu panas diatas rata-rata ini. Justru, ia menikmatinya dibandingkan musim-musim lain. Meski panas, otaknya lebih disibukkan dengan hal-hal lain yang mengganggu pikirannya beberapa bulan belakangan ini.
Setelah pulang dari rumah sakit, Lea mencoba untuk melawan bau karbol yang menempel di badannya. Sampah yang berserakan dan baju kotor yang dibiarkan bergeletakan tidak cukup untuk mengalihkan perhatiannya. Hari ini Lea merasa sangat kosong, seperti ada orang yang meminjam jiwanya dan belum mengembalikannya setelah masa sewa berakhir.
“Hey, it’s Lea. Please leave a message.”
Suara mesin penjawab telepon membuyarkan lamunannya. Namun, ia memutuskan untuk tetap duduk termenung di kursinya, mendengarkan lantunan suara dari mesin yang sedang ia abaikan.
“Lea, ini aku. Listen, you remember Kai? Temanku saat kuliah. Malam ini ada pesta di apartnya. He really wishes you to come. So just say hi and be nice. Jam 9 malam kita bertemu di Red Light Bar sebelum ke tempatnya. Jangan habiskan malam minggumu sendirian, oke? Kutunggu.”
Lea terkekeh mendengar voicemail dari Jeffrien. Sahabatnya sejak sekolah dasar itu memang tidak pernah berubah. Selalu suka berpesta dan dikelilingi banyak orang. Tapi kalau diingat-ingat, jika Lea punya wajah setampan Jeffrien, pasti ia pun akan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan membiarkan orang-orang mengagumi parasnya yang rupawan.
“Tidak hari ini Jeff.” Lea menggumam seraya berjalan gontai ke arah kamar tidurnya dan meraih pil-pil putih yang sudah ia simpan dengan hati-hati di selipan laci miliknya. Meski ia tinggal sendiri, Jeffrien seringkali mengecek ruangan apartemennya untuk memastikan Lea tidak lagi ketergantungan. Sayangnya Jeffrien tidak tahu bagaimana obat aditif itu sudah menguasai tubuh Lea sepenuhnya.
Faktanya, 25 tahun hidup Lea dihabiskan untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Hidup sebatang kara tanpa pernah merasakan kasih sayang yang sesungguhnya sungguh membuat Lea sengsara. Perasaan tidak berguna, tidak diinginkan dan tidak diharapkan selalu mengusik malam-malamnya.
Kenangan masa kecil hingga beranjak dewasa dengan Ayah yang pemabuk dan sering merutuki Lea dengan sumpah serapah terlalu membekas di relungnya. Lea bahkan sudah tidak dapat menghitung berapa ribu kali Ayahnya menginginkannya untuk mati karena Ayahnya tidak pernah menginginkannya hadir di dunia.
And she has already lost her soul ever since.
Lea pun duduk di balkon. Sisa-sisa cahaya matahari menyentuh tubuhnya. Ia menelan pil-pil putih yang ia genggam tanpa dilanjutkan dengan air putih. Ia sudah tidak lagi menghitung berapa jumlah pil yang ia konsumsi. Kali ini terlalu banyak tidak apa-apa, pikirnya.
Bulir-bulir keringat membasahi kening Lea. Seperti Icarus yang menerjang angkasa dengan sayap yang seharusnya tidak ia miliki, Lea pun menapakkan kakinya di pijakan balkonnya sebelum menghempaskan dirinya ke bawah; merasakan sepersekon diri terbang untuk menjemput ajal.
Fall
Rambut Jeffrien bergoyang sedikit terembus angin. Sedang maniknya terus menatap rangkaian kata pada batu di hadapannya
Lea Schlumberger
September 17, 1979
August 3, 2004
Our forever angel
Daun-daun maple berguguran dan jatuh tepat di atas batu nisan Lea. Angin musim gugur menusuk tulang-tulang Jeffrien, tapi ia tidak peduli. Rasanya tidak sesakit ketika harus kehilangan sahabatnya.
“Kupikir setidaknya kau akan tetap disini sampai akhir tahun. The view here is amazing, by the way. You’re gonna love it.” kata Jeffrien sembari merasakan semburat tipis sinar matahari menyinarinya. Di balik nisan Lea, terdapat deretan pohon maple kemerahan yang rindang dan sejuk. Daun-daunnya berjatuhan tertiup angin, menyelimuti rumput-rumput hijau yang tersebar sepanjang Valley View cemetery.
Jeffrien lalu mengusap pelan nisan Lea yang dihiasi dengan ukiran sayap di kedua sisinya. “Kau benar-benar mengidolakan Icarus, huh? Kau juga berpikir memiliki nasib sama dengan Icarus dan memutuskan untuk mengikuti jejaknya.”
“Kau dan aku.. kita masih bisa memperbaikinya. Kau tahu betul itu. Lalu mengapa…” Jeffrien kembali terisak dan mengubur wajahnya pada kedua tangannya. Memori akan Lea terus menerus terulang di benaknya. Bagaimana Lea tumbuh besar tanpa kasih sayang, bagaimana rasanya tidak dianggap oleh orang yang melahirkannya ke dunia.
“Kau tahu, musim dingin tahun lalu. Ketika kau pergi ke restoran itu di hari valentine dan malamnya muncul di depan apartemenku sambil menangis? Dia tidak akan pernah datang, Lea. Kenapa kau mengelabui dirimu dengan yakin bahwa ia tiba-tiba akan muncul dan menjadi Ayah yang seharusnya dia lakukan sedari dulu?”
Belasan tahun dilewati Jeffrien dan Lea sebagai sepasang sahabat dengan pemikiran yang tidak pernah jauh berbeda. Apa yang disetujui Jeffrien, pasti juga diyakini Lea. Tapi baru kali ini Jeffrien merasakan adanya perbedaan antara dirinya dan wanita itu. Jeffrien hidup untuk terus hidup, sedangkan Lea hidup untuk mati.
Sudah lama binar kehidupan redup dari manik Lea, namun Jeffrien mengabaikan realita tersebut dan beralih membohongi dirinya sendiri dengan berpikir bahwa Lea akan hidup selama dia hidup.
Icarus benar akan satu hal. Mungkin mencoba terbang lebih dekat dengan matahari jauh lebih baik daripada terjebak di daratan bersama Daedalus. Kejatuhan Icarus bukanlah sekedar kecelakaan yang mematikan. Kematiannya adalah sebuah takdir yang tak dapat dihindari sekalipun ia ingin.