Negara Paling Maju, Tapi Kok Demen Ngutang?

Econ For Introverts
8 min readAug 8, 2024

--

Utang Amerika baru saja menyentuh 35 triliun dolar di tahun 2024 ini. Itu sudah melebihi GDP mereka yang berada di angka 27 triliun dolar pada tahun 2023 lalu.

Menariknya, Amerika itu negara yang hampir selalu mengalami account deficit, yang artinya pengeluaran mereka setiap tahunnya melebihi pemasukan yang mereka dapatkan di tahun yang sama.

In fact, di dalam 53 tahun terakhir, Amerika mengalami account deficit sebanyak 49 kali, sedangkan account surplus hanya tercapai 4 kali saja (pada tahun 1998,1999,2000 dan 2001).

Bayangkan, kalau misalnya kamu “jebol” setiap tahunnya, apa kira-kira ada yang mau meminjamkan kamu duit? Susah dibayangkan bukan? Siapa yang mau meminjamkan duit jika pengeluaran kamu tidak pernah bisa dikontrol setiap tahunnya?

Jadi, pertanyaanya adalah: Bagaimana Amerika bisa terus menerus meminjam uang sebegitu besarnya dan sebegitu konsistennya ditengah-tengah semua budget deficit yang mereka alami setiap tahunnya?

Menurut saya ada 4 faktor yang berkontribusi kepada ‘borrowing habit’ Amerika yang sangat kuat ini.

1. Pertimbangan Politis Terhadap Pengeluaran Pemerintah

Variabel pertama yang ingin saya bahas lebih bersifat politis daripada finansial.

Kita harus ingat dan menghargai fakta yang terkadang terabaikan — bahwa semua pemerintah (bukan hanya pemerintah AS) beroperasi di dalam sektor publik. Oleh karena itu, insentif dan perilaku mereka secara alami berbeda dari yang berlaku untuk rumah tangga atau perusahaan swasta yang beroperasi di sektor private.

Pemerintah mengeluarkan uang bukan untuk kepentingannya sendiri, namun untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Saya melihat ini sebagai perbedaan penting yang perlu kita ingat ketika kita membahas ekonomi sektor publik.

Ketika rumah tangga atau sektor swasta berinvestasi atau mengeluarkan uang, mereka melakukannya dalam lingkup kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi atau ‘self-interest’ adalah pendorong utama dalam pengeluaran uang di sektor private.

Dalam ekonomi sektor publik, insentifnya sangat berbeda. Departemen Keuangan AS tidak beroperasi dari kepentingan pribadi. Mereka tidak berutang karena karyawan mereka ingin berfoya-foya membeli mobil mewah, atau membeli tim sepak bola liga Inggris. Mereka mengambil utang karena mereka menganggapnya sebagai mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan likuiditas dan integritas perekonomian negara.

Kita harus ingat bahwa Departemen Keuangan AS adalah bagian dari pemerintah yang dipilih secara demokratis, yang pada akhirnya bertanggung jawab untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Kadang-kadang, menghabiskan lebih dari kemampuannya untuk membayar kembali dan terus meminjam uang adalah apa yang diperlukan untuk menjaga kesejahteraan negara.

Pemerintah Amerika mengeluarkan biaya yang sangat signifikan di dalam bidang militer. Mereka juga mengeluarkan biaya yang signifikan melalui departemen kesehatan. Kenyataanya, semua pengeluaran tersebut sangatlah penting untuk menjaga stabilitas dan kesejahteraan suatu negara. Kita harus menghargai bahwa di dalam sektor publik, ada pertimbangan-pertimbangan lain selain pertimbangan keuangan atau pertimbangan fiskal yang harus di pikirkan oleh pemimpin-pemimpin negara.

Itu adalah pembahasan politisnya. Mari kita lanjut ke pembahasan keuangannya.

2. Tidak Ada Resiko Default — Hanya Resiko Inflasi

Menurut saya, faktor keuangan terbesar kenapa Amerika memiliki borrowing power yang sangat signifikan adalah status dolar sebagai mata uang yang paling liquid dan dipercayai di seluruh dunia. Dolar memang memiliki peran yang sangat dominan dalam perdagangan internasional. Menurut satu perkiraan, US dolar saat ini bertanggung jawab atas 88% dari semua transaksi valuta asing, 54% dari faktur perdagangan internasional, dan 58% dari cadangan devisa global. Bandingkan ini dengan statistik terhadap mata uang Euro yang jauh lebih rendah, yaitu di angka 31%, 30%, dan 20%.

Begitu kuatnya pengaruh dolar di seluruh dunia, sampai-sampai ada inisiatif yang sering disebut The De-Dollarization Movement, di mana banyak negara memilih untuk tidak bertransaksi dalam US dolar karena mereka tidak mau lagi bergantung secara berlebihan terhadap satu mata uang tersebut.

Karena dolar ini sangat dominan dan dipercayai di seluruh dunia, Amerika bisa secara mudah meminjam uang dari publik karena merekapun secara domestik beroperasi menggunakan US dolar. Sebagai negara yang beroperasi secara domestik menggunakan US dolar, tidak ada mis-match/ketidaksesuaian antara dana yang mereka gunakan sehari-hari dan dana yang harus dikembalikan kepada si peminjam.

Mereka meminjam dalam US dolar, pemakaian sehari-hari dalam US dolar, dan pengembaliannya juga dalam US dolar. Karena itu, tidak ada currency mismatch atau currency risk sama sekali saat AS meminjam dana.

Ini adalah kemewahan yang dinikmati oleh negara-negara yang memiliki mata uang yang sangat sering diperdagangkan seperti Euro, Yen, dan Pound Sterling. Negara-negara dengan mata uang yang ‘lebih tidak populer’ seperti Indonesia, tidak memiliki kapasitas untuk meminjam dari entitas asing dalam Rupiah dan membayar kembali dalam Rupiah. Kita mau tidak mau harus meminjam uang dolar, dan mengembalikan dolar juga. Mis-match ini lah yang mengakibatkan ketidakpastian yang lebih tinggi saat negara berkembang seperti Indonesia ingin meminjam uang dari investor asing.

Ingat saja pada masa krismon di tahun 1998. Waktu itu US dolar naik dari kisaran 2000-an rupiah per dolar sampai sempat menyentuh 14,000-an rupiah per dolar dalam kisaran satu tahun. Apresiasi dolar yang sangat signifikan terhadap Rupiah waktu itu mengakibatkan banyak gangguan terhadap perekonomian negara. Banyak perusahaan dan lembaga keuangan yang akhirnya bangkrut karena tidak bisa membayar utang US dolar mereka yang kira-kira naik tujuh kali lipat itu. Sampai-sampai, Indonesia harus di bantu oleh IMF, yang akhirnya memberikan paket bail-out untuk negara.

Ekonom dan peraih penghargaan Nobel William Vickery menulis tentang keuntungan dalam meminjam dalam mata uang sendiri dan bagaimana itu mengurangi ancaman gagal bayar dalam artikelnya di tahun 1996 yang berjudul: ““Fifteen Fatal Fallacies of Financial Fundamentalism”.

Di dalam artikel ini, beliau menyebutkan 15 kesalahpahaman umum di dalam bidang makroekonomi dan membantahnya satu per satu. Kesalahpahaman nomor 12 yang dijelaskan William Vickery adalah sebagai berikut:

“The 12th Fallacy: Debt Will Eventually Reach Levels That Cause Lenders to Balk, Leading to Taxpayer Rebellion and Default”

Jadi kesalahpahaman ini mengatakan: Jika utang negara menjadi terlalu besar, peminjam tidak akan lagi mau meminjamkan uang kepada negara tersebut, dan pembayar pajak akan protes karena pajak akan naik untuk membiayai pengembalian uang tersebut, dan ujung-ujungnya negara itu akan bangkrut.

William Vickery menjelaskan bahwa pemikiran ini salah, karena negara yang meminjam dalam mata uang mereka sendiri (seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat) ujung-ujungnya akan selalu bisa mengembalikan uang yang mereka pinjam melalui printing money/pencetakan uang, suatu hal yang sudah sering kali dilakukan oleh Amerika Serikat. Walaupun pencetakan uang ujung — ujungnya akan berdampak terhadap inflasi, negara yang meminjam dalam mata uang mereka sendiri akan selalu dapat mengembalikan uang yang telah dipinjam dengan cara tersebut.

William Vickery mengatakan bahwa kesalah pahaman ini hanya berlaku untuk negara-negara undeveloped yang tidak dapat meminjam uang di dalam mata uang mereka sendiri (seperti Indonesia). Negara-negara tersebut lah yang memiliki resiko default (seperti yang terjadi pada Indonesia di tahun ‘98), karena mereka tidak bisa mengontrol nilai dan mencetak mata uang yang mereka pinjam tersebut.

Menurut Vickery, sebetulnya negara seperti Amerika tidak ada resiko bangkrut, yang ada itu hanya risiko inflasi semakin banyak mereka mencetak uang untuk mendanai peminjaman mereka.

3. Monopoli Mencetak Uang

Variabel ketiga yang berkontribusi terhadap borrowing habit Amerika adalah Bank Sentral mereka. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa peminjam terbesar kepada Departemen Keuangan Amerika adalah… Bank Sentral Amerika, atau yang sering di sebut ‘The Fed’. Bukan Cina, bukan Saudi Arabia, bukan Jepang, atau negara-negara kaya lainnya yang memiliki posisi peminjam terbesar kepada AS. Peminjam uang terbesar Amerika adalah — dirinya sendiri.

Sekitar 15% dari total utang Amerika Serikat dipegang oleh Bank Sentral negaranya sendiri, yaitu satu-satunya institusi yang memiliki hak untuk mencetak mata uang US dolar.

Apakah ini tidak menciptakan semacam moral hazard? Saya tidak menyiratkan bahwa The Fed atau Departemen Keuangan AS secara terang-terangan menyalahgunakan kemampuan mencetak uang ini untuk menyelesaikan masalah utang mereka (meskipun beberapa ekonom telah mengkritik mereka untuk ini), tetapi tampaknya ada kejanggalan di sini.

Pikirkan saja: Jika anda adalah seseorang yang cenderung meminjam banyak uang, dan pemberi pinjaman terbesar anda memiliki hak eksklusif untuk mencetak uang, bukankah anda akan lebih bersemangat untuk berbelanja dan meminjam lebih banyak lagi? Ditambah lagi, jika peminjam ini memiliki hak eksklusif untuk mencetak uang, bukankah anda akan tidak khawatir terhadap membayar utang anda?

Mungkin terdengar aneh, tetapi kenyataanya, salah satu alasan kenapa Amerika Serikat memiliki utang yang begitu besar adalah karena mereka gemar mencetak uang, dan meminjamkannya kepada diri sendiri.

4. Utang dan Defisit Pemerintah Mungkin Bukan Suatu Hal Yang Buruk?

Di dalam media, gagasan bahwa pemerintah AS memiliki defisit dan utang yang terus meningkat selalu disajikan dengan konotasi negatif. Padahal, sentimen ini bukanlah konsensus umum di dalam teori ekonomi.

Faktanya, John Maynard Keynes (seorang legenda intelektual di bidang makroeokonomi) adalah penganut keyakinan bahwa pemerintah memiliki peran penting sebagai pendorong utama aktivitas ekonomi negara. Teori ini sering disebut Keynesian Economics — keyakinan bahwa pemerintah memiliki kekuatan dan tanggung jawab untuk mendorong aktivitas ekonomi melalui pengeluaran dana pemerintah, bahkan jika itu menimbulkan defisit dan utang bagi negara.

John Maynard Keynes

Kita semua akan setuju bahwa tidak akan ada insentif untuk memproduksi dan menjual barang jika tidak ada permintaan untuk barang tersebut bukan? Menurut Keynesian Economics, siapa lagi dalam perekonomian yang memiliki kekuatan permintaan lebih besar daripada pemerintah? Pemerintah lah yang memiliki kemampuan terbesar untuk mengerahkan begitu banyak miliaran dolar untuk membangun sekolah dan membayar gaji semua guru, membayar jaminan sosial seperti Medicare kepada ratusan juta orang, membayar gaji kepada jutaan veteran militer dan menyediakan dana untuk kehidupan sehari-hari mereka.

Semua pengeluaran dari pemerintah ini akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan memberi insentif kepada penjual-penjual untuk menyediakan goods and services yang telah di demand oleh pemerintah. Restoran, rumah sakit, sekolah, petani, kontraktor, produsen laptop, penjual baju, dan seterusnya… semua akan mendapat manfaat dari dorongan ekonomi awal yang dikatalisasi oleh pengeluaran pemerintah.

Ekonom Australia Steve Keen pernah mengatakan sebagai berikut:

“Jadi, apa yang negatif bagi kekayaan bersih pemerintah — ketika mengalami defisit — adalah positif bagi sektor swasta. Ketika pemerintah mengurangi kekayaan bersihnya dengan mengalami defisit, mereka sekaligus meningkatkan kekayaan bersih sektor swasta dalam kuantitas yang sama. Defisit untuk pemerintah adalah surplus untuk sektor swasta.”

“Defisit terjadi ketika pemerintah membelanjakan lebih banyak pada sektor swasta daripada yang diambil dari sektor swasta dalam bentuk pajak. Oleh karena itu, defisit meningkatkan jumlah uang beredar, karena meningkatkan rekening bank sektor swasta.”

Ini adalah perspektif yang menarik yang sering diabaikan oleh media: defisit dan utang negara justru membantu mendorong perokonomian, karena balik lagi ke poin awal kita nomor satu tadi: pemerintah mengeluarkan uang untuk masyarakat secara luas-bukan untuk kepentingan pribadi. Jadi, setiap dolar deficit yang dialami oleh pemerintah adalah dolar positif yang masuk dalam kantong masyarakat. Jika kita melihatnya dari perspektif ini, defisit dan utang negara justru bukan suatu hal yang buruk.

Rekap:

1. Pengeluaran pemerintah lebih bernuansa politis dibandingkan dengan pengeluaran sektor swasta. Mungkin suatu kesalahan, atau setidaknya malas secara intelektual untuk membandingkan keduanya sebagai apples to apples. Yang satu adalah apel, yang satu lagi adalah jeruk.

2. Memiliki mata uang yang paling dipercaya dan paling diperdagangkan memungkinkan Amerika untuk meminjam dan mengembalikan uang secara mudah, tanpa ada resiko default yang besar. Secara praktikal, sebetulnya tidak ada resiko default, hanya ada resiko inflasi.

3. Jika kita kenal dekat dengan seseorang yang bisa mencetak uang secara legal, jangan heran kalua kita jadi gemar berfoya-foya dan meminjam uang terus menerus. Inilah yang terjadi di Amerika.

4. Menurut Keynesian Economics, pemerintah yang mengalami defisit dan meminjam uang bukanlah pemerintah dengan kebijakan moneter yang buruk. Bahkan, hal tersebut adalah kewajiban pemerintah demi mendorong perekonomian negara.

--

--

Econ For Introverts

32 yo proud Indonesian. Masters in Accounting & Finance @ANU. Passion for writing business and psychology columns. Lover of sarcasm.