Jula-Juli
Mula.
Publikasi baru ini saya bikin secara impromptu karena ternyata banyak skema-skema respons saya terhadap seni tercecer tak karuan dimana-mana; di pikiran, maupun di sebaran dunia maya. Beberapa diantara yang jadi pendorong utama lahirnya publikasi ini adalah dua skema respons; Klindih Dunya: Sebuah tesis tentang kekuatan Lupa (2014) dan Mengapa masih bermain gamelan di jaman serba tutul? (2017). Tentu selain dua hal tersebut juga akan ditulis banyak hal dalam gagasan-gagasan Jula-juli ke depan.
Publikasi ini akan ditulis secara bergantian secara dwi bahasa, sehingga lebih inklusif. Kata Jula-juli sendiri saya gunakan karena proksimitasnya terhadap dunia seni pertunjukan yang saya tekuni sejak 2006. Jula-juli adalah sebuah tembang yang berasal dari Jawa Timur yang menggambarkan tentang sifat, budaya, gelagat dan ritus masyarakat Jawa Timur. Dengan laras Slendro, Jula-juli memiliki kekhasan tersendiri dengan rentang nada yang mudah digumamkan dan bersifat umum. Doa-doa Jula-juli seperti itu yang mungkin saya ingin sematkan dalam setiap tulisan saya ke depan di publikasi ini; inklusif; mudah dipahami.
Tulisan-tulisan singkat ini juga mungkin belum bisa dikata sebagai esai atau kritik karena kedangkalan penulis terhadap konteks dan keilmuan. Anggap saja sebagai catatan pinggir seorang pengagum karya sekaligus perakit karya. Banyak ide-ide liar yang mengalir seketika saat melihat sebuah karya rupa yang secara serampangan ingin diejawantahkan dalam sebuah karya pertunjukan. Dan sebaliknya. Tulisan-tulisan ini akan mewakili banyak kegelisahan saya terhadap sebuah bab dalam sebuah buku, sebuah buku dalam suatu tumpukan buku, satu gerik tari dalam sajian utuh tari, satu larik lirik dalam satu ketawang, dan seni lain yang berkaitan.
Ada banyak ujar yang akan diaminkan dalam setiap tulisan. Semoga salah satunya dapat memberikan satu alasan kenapa harus hidup hari ini. Selamat menikmati.
