Aku, Non-Muslim, yang Selalu Menanti-Nanti Bulan Ramadan
Marhaban ya Ramadhan. Bulan yang indah dan baik bagi bagi umat Islam, baik yang berpuasa atau masih coba-coba. Bulan puasa punya Ramadhan vibes, aura baik yang berbeda dan gak akan pernah terulang di bulan-bulan lain. Kami yang gak ikutan puasa jadi gemes-gemes senang menjalani satu bulan paling suci ini. Berikut peristiwa yang penulis selalu kenang dan nikmati di bulan ini.
1. Lagu-Lagu Religi Berkumandang
"Ramadhan tiba. Ramadhan tiba. Ramadhan tiba.." dan begitu terus kalimat yang terngiang-ngiang setiap jam, setiap hari, setiap apapun, jadi earworm. Sumpah demi Neptunus. Televisi dan radio yang biasanya mutar lagu pop jreng-jreng aha-aha tetiba ganti haluan jadi lagu yang syahdu, santun, dan penuh pesan untuk mendekat pada Tuhan. Tak lupa dengan tausiyah dan tips-tips berpuasa yang tampaknya membuat penulis merasa... tak relate. Mana lagu aha-ahanya?
Namun gak semua lagu religi jadi earworm ngeselin. Beberapa lagu mempunyai lirik yang sangat bagus sampai bisa nyanyi-nyanyi di jalan. "Gigi- Pintu Sorga" yang ngerock abis, "Gita Gutawa - Jalan Lurus" yang merdu, dan "Ungu - Dengan Nafasmu" yang sungguh kontemplatif. Saking menohoknya, lagu-lagu ini sempat dinyanyikan ulang dengan sedikit perubahan, di doa pagi SMA Katolik penulis.
2. Iklan-Iklan Lebay
Setiap iklan ada musimnya. Kalau Ramadhan, biasanya tuh akan gencar iklan produk yang berhubungan dengan kebutuhan Lebaran. Iklan department store untuk baju lebaran, iklan terigu untuk buat kue lebaran, iklan promo sembako, dan iklan sirop?
Ya tahu aja sih, sirop itu memang manis. Biasanya orang puasa itu butuh yang manis-manis untuk berbuka, tapi iklannya memang harus semewah itu ya? Perhatikan aja, ada buah-buahan jatuh dalam percikan air warna-warni. Close up buahnya, dan air siropnya menyebar kemana-mana. Sejak kapan ada orang minum sirop seperti tu? Berantakan woy! Entar semutan!
Musim Ramadhan tetap ada, tapi zaman berganti. Menyadur perkataan sang Bapak Marketing Hermawan Kartajaya, bisnis zaman digital itu harus menjalankan storytelling yang kuat untuk membuatnya jadi bahan obrolan komunitas online dan offline. Kemudian, berbondong-bondong iklan bercerita tentang malasnya anak muda mudik, karena ogah ditanyain "Udah kerja? Udah punya pacar? Kapan nikah?" Penulis semakin merasa gak relate.
Beneran.
3. Menggoda Teman yang Berpuasa
Setelah nyadar bahwa iklan sirop itu memang sengaja buat orang ngiler, timbul pikiran jahil. Kapan lagi bisa menggoda teman hanya dengan buat mereka ngiler, dan mereka pun gak boleh marah kalau dijahilin?
Penulis kembali ingat masa-masa SMA. Ada beberapa teman kelas berpuasa yang sudah punya reputasi anak nakal, dan tiba-tiba jadi lebih pendiam. Sebut saja namanya Anto. Kalau zaman teknologi ini ganggu temannya dengan kirim foto-foto makanan minuman via chat, zaman itu langsung di depan mata.
Kantin sekolah masih buka di bulan puasa. Gak ada tirai, gak ada tutup-tutupan, dan bisa bawa pulang jajanannya ke kelas. Murid-murid membawa bakso tusuk, nasi kuning, gorengan, es kelapa, teh poci, dll. ke kelas, dan si Anto itu ada di sana, tiduran.
"Lihat nih Anto apa ini? Baksooo. Nyam," seorang teman menggoyang-goyangkan bungkusan plastik isi bakso bertusuk-tusuk di depan matanya. Baksonya becek dengan saus sambal dan tomat, lalu dihampiri tepat di depan hidungnya. Anto menelan ludah tanda pengen kayak ngeliat film biru, berusaha tidur lagi. Tak lama, dia terkaget karena sesuatu yang dingin menimpa pipinya. "Apa itu?" tanyanya. "Oh nggak, ini teh poci tadi kutempel di pipimu. Seger kan? Teh poci campur Nutrisari lagi," dan dia pun menyeruput sruuutt tepat di telinga Anto. Anto nyaris kesurupan andai dia tidak keluar dari kelas.
Iya, kami memang layak masuk neraka jahanam.
4. Sadar Bahwa Sekarang Beneran Bulan Puasa
Puas menganggu Anto, bel pulang sekolah berbunyi. Malas pulang ke rumah, penulis bersama teman-temannya pun mencari makan. Keliling-keliling seputar sekolah, tidak ketemu tempat makan. Jalanan sepi. Saat itu belum ada yang namanya gofood atau grabfood. Yang ada cuma delivery fast food pizza atau ayam goreng, yang harganya gak sesuai dengan kantong kami.
Seperti musafir berkelana di gurun pasir, kami mencari-cari warung yang tak kunjung terlihat. Toko kelontong yang jualan air juga tak kunjung terlihat (zaman itu juga belum ada indomaret dan alfamart). Kami baru nyadar, orang-orang beneran fokus puasa.
Namun, mungkin yang paling membuat kami sadar bulan puasa itu ya si Anto sendiri. Perilakunya berubah menjadi lebih sabar, jarang jahilin teman, dan bener-bener gak ngambil makanan orang. Pernah penulis jalan-jalan waktu istirahat, dan melihat Anto keluar melewati gerbang sekolah. Penulis nanya dia ngapain, katanya, "Sholat." Perkataan itu sampai sekarang masih menjadi buah bibir teman sekelas. Benar-benar ini bulan puasa.
5. Takjil, Takjil!
Suasana makin ramai menjelang sore hari. Jalan raya penuh kendaraan. Klakson bersuara lebih kencang dari sebelumnya, walau gak ada suara marah-marah. Trotoar jadi terlihat warna-warni, serba hijau, merah, coklat, pink, apalagi kalau bukan karena takjil. Es buah, kolak, kue-kue dan berbagai jajanan pasar dengan kadar kemanisan yang sungguh di luar batas kewajaran. Tapi bodo amat.
Yang terjebak macet tentunya paling senang dengan takjil ini. Dari trotoar sampai tengah jalan (jangan ditiru ya anak-anak) pasti ada saja yang jualan. Paling senang tuh kalau ada warung yang promo dan bagi-bagi takjil gratisan. Ah ludes, laris manis, dan dikasih aja tuh untuk yang puasa maupun nggak puasa. Di saat seperti ini, saya dengan tulus mengatakan "Alhamdulillah".
6. Gak Ada Ribut-Ribut
Kampung halamanku itu sudah biasa ribut demonstrasi yang protes macam-macam. Protes sembako, protes lapangan kerja, pendidikan, produk impor, perselisihan tetangga, dan seterusnya. Namun, selama bulan Ramadhan hampir tak ada lagi demonstrasi seperti ini. Gak ada lagi ceritanya macet karena oknum sini demonstrasi di jalan apa. Gak ada pesan berantai yang menyatakan hati-hati di jalan ini karena ada kasus perselisihan antar tetangga. Paling-paling ya macet karena acara buka puasa atau sholat berjamaah di berbagai tempat.
Dan terutama, penulis akan selalu menanti tetangga-tetangga yang bertamu di Lebaran. Biasanya mereka akan membawa opor ayam, gulai kambing, kolak pisang, dan makanan-makanan yang tentunya jarang banget ada di rumah kami. Masakan mereka gak akan bisa dibandingkan dengan yang di restoran-restoran. Kami pun menjalin silaturahmi bermain dengan anak-anaknya, dan kalau beruntung mendapat angpao Lebaran. Ahay, angpao, hadiah favorit sejuta umat!
Untuk teman-teman muslim, selamat menjalankan ibadah puasa. Jangan terus ingat susahnya, tapi ingat juga nikmatnya. Semoga bulan Ramadhan ini tetap menjadi bulan ajaib yang memberkati muslim dan non-muslim.