Subuh Tak Biasa dengan Kopi Ungu

Harjono Honoris
Jurnal Jono
Published in
12 min readNov 29, 2018

Fisik dan batin terlampau lelah hari ini. Masih ada pekerjaan yang belum selesai. Aku harus memeriksa amplop ungu berisi laporan kondisi rahim istriku. Dua masalah menghampiriku sekaligus. Jam tangan menunjukkan pukul 3 subuh, tapi aku belum bisa pulang.

Namun aku harus ke mana? Sebuah tempat yang nyaman untuk duduk, tempat untuk santai, sebuah tempat nongkrong. Kafe? Tampaknya aku harus mencari tempat nongkrong, mungkin sebuah kafe; ya, itu jawabannya, kafe! Saat ini aku membutuhkan tempat untuk istirahat dan kerja. Saat ini aku lebih membutuhkan minuman lezat daripada tempat tidur.

Berkeliling beberapa saat, aku menemukan sebuah papan reklame menyala ungu terang. Papan reklame itu bertempelkan kata yang menunjukkan identitasnya: The Cafe. Nama yang unik, sederhana, dan malah berseni; tak adanya kata sifat menunjukkan tempat itu bisa diartikan berbeda-beda dan semaunya oleh siapapun. Tempatnya sendiri tampak aman, kafe itu terkepil di antara hotel-hotel dengan papan berlampu neon merah.

Aku memasuki kafe The Cafe. Suasananya sangat pas untuk beristirahat di malam hari. Kafe ini gelap; penerangannya bukan dari lampu yang tergantung atau menyatu dengan langit-langit, tapi dari lilin yang ditaruh di tiap meja. Lilin itu dinyalakan dengan cahaya secukupnya sehingga tidak membuat tembok, lantai, dan dinding mendapat warna kuning dari lilin tersebut, warna mereka tetap hitam. Singkatnya, suasana kafe ini seperti mati lampu. Namun, udara yang adem & lantunan musik jazz membawa nuansa teduh.

by excuisemag

“Selamat datang, Tuan.”

Seorang wanita menyapaku dengan suara lirih. Dia berdiri tepat di belakang bar. Mungkin dia bartendernya.

“Anda ingin memesan sesuatu?”

Aku berjalan lebih dekat menuju bar, dan menyadari bahwa tak ada papan menu yang terpasang. Aku memandang ke bawah dan tak menemukan juga daftar menu yang biasanya ditempel di atas meja.

“Saya tak tahu mau memesan apa. Di mana daftar menunya?” Aku memandang si bartender wanita bergaun ungu, dengan bulu mata lentik.

“Oh, memang tak ada daftar menu di The Cafe. Bapak cuma perlu bilang apakah mau makan, minum, atau keduanya, lalu kami akan menghidangkannya. Harga suka-suka. Begitu aturan kafe ini.”

Konsep yang sangat kreatif. Makan-minum dengan harga semau gue, dan bukanya dini hari. Sangat menarik.

Aku melihat meja-meja di sekitar. Makanan-makanan mereka tampaknya tak mengecewakan: green tea latte, blueberry cheesecake, croissant sandwich, donat coklat, dan lain-lain. Hampir tak ada makanan yang tersisa di piring, paling cuma segigit. Tampaknya dari segi rasa, kafe ini tak bermasalah.

“Baiklah. Aku ingin minum saja. Ini bayaranku,” aku mengeluarkan 3 lembar uang kertas, yang jumlahnya cukup untuk membeli espresso latte ukuran large. “Terima kasih, Pak. Kami akan menyajikan minuman yang terbaik buat Anda. Minuman yang paling Anda butuhkan,” balas bartender itu.

Bulu mata lentik dengan lipstik ungu gelapnya membiusku. Bartender itu membalikkan badannya, berjalan menuju dapur, dan lenyap dalam kegelapan.

Aku duduk di satu meja dekat jendela. Posisi ini adalah posisi favoritku di mana aku bisa melihat 2 pemandangan sekaligus, di luar dan di dalam. Posisi ini biasanya bertempat di sudut ruangan, sangat strategis untuk melihat interior kafe secara menyeluruh. Dari suasananya, kafe ini tak jauh berbeda dengan yang lainnya. Banyak orang-orang yang duduk di meja sedang bersantai, seperti mengangkat kaki, bermain gawai, atau ngorok seperti babi. Namun ada satu hal yang aneh. Tak ada yang saling berbicara satu sama lain, bahkan mereka yang duduk beramai-ramai. Mereka makan sendiri, merokok sendiri, pokoknya bersantai sendiri. Kenapa mereka tak berbicara? Apakah mereka hanya kelelahan atau sedang bermusuhan? Mereka seakan berada di dunia sendiri.

“Silakan kopinya, Pak.”

Lamunanku terhenti karena suara bartender itu. Dia menaruh minumanku di atas meja, dengan pinggulnya menghadap wajahku. Ah, lekuk badannya. Aku teringat pada istriku sewaktu muda, menikmati kencan dengan penuh canda dan tawa, sebelum repot oleh urusan keluarga.

Bartender itu menaruh mug besar di atas meja. Mug itu berwarna putih dan berisikan cairan panas berwarna ungu.

“Apa nama minuman ini?” Tanyaku padanya.

“Ini kopi ungu, Pak.”

“Apa campuran di dalamnya? Apakah ini memakai ubi ungu seperti latte ala Korea itu? Maaf jika aku banyak bertanya, soalnya aku kurang suka rasa ubi ungu.”

“Tenang saja, Pak. Bapak akan menyukai rasanya. Resep kami tak pernah meniru kafe yang sudah ada. Saya juga yakin, bahwa inilah minuman yang paling Anda butuhkan.”

Bartender itu berlalu. Perkataan itu terdengar sombong, tapi suaranya yang lembut, lirih dan penuh kepercayaan diri, membuatku makin penasaran. Aku langsung menyeruput kopi ungu dalam mug putih besar itu.

Hmmm.

Rasa kopinya… unik. Aku tak tahu apakah harus berkata apakah ini rasa yang hebat, menakjubkan, atau seperti perkataan anak gaul: “Jadi, gue harus bilang wow gitu?” Maksudnya, rasa kopi hasil racikan The Cafe ini sangat memahami seleraku. Dalam kopi ungu ini terasa rasa pahit pekat khas kopi hitam dengan sedikit rasa asam manis buah tropis (jeruk? nangka? mangga?) yang creamy; namun sepertinya dia tak menggunakan susu sama sekali. Apakah ini madu? Aku juga tak tahu, namun aku sangat kagum akan rasanya.

Beberapa saat kemudian, aku bersantai sambil bermain internet: membaca, menonton video lucu, memberi komentar di sosial media favoritku. Aku menyeruput kopi ungu ini lagi. Kemudian, aku menyadari sesuatu.

Rasa kopi ungu ini mampu memberi kenikmatan & kelegaan melimpah ketika seseorang sedang mengalami tekanan atau beban pikiran yang sangat berat. Rasa pahit menimbulkan simpati pada tekanan yang sedang dialami, rasa manis & asam menenangkan urat-urat yang tegang, dan kesan creamy memenuhi perut yang terkesan kosong. Kopi ini bukanlah kopi yang dapat aku minum setiap hari. Kopi ini, seperti kata pelayannya, benar-benar disiapkan untuk momen yang khusus. Ini bukanlah kopi yang cocok diminum ketika aku terburu-buru ke kantor pagi hari, bukan kopi pahit normal yang diminum ketika istirahat sore hari, ataupun kopi untuk diminum bersama teman. Kopi ini benar-benar pas untuk aku yang sedang tertekan dan panik. Kopi yang seakan-akan dibuat khusus untukku, hari ini.

Ah, aku akhiri saja lamunan anehku. Aku ingin bersantai dulu sebelum kerja. Aku bermain game di gawai, membaca timeline medsos, menonton video-video lucu. Perlahan, mataku terasa berat. Cahaya-cahaya meja itu berbayang-bayang. Pandanganku seketika gelap. Aku ingin membuka mataku tapi tak bisa. Akhirnya, tak kuingat lagi kapan aku masih punya mata.

***

Hmmh….

Aku membuka mata. Tampaknya aku tertidur sesaat setelah bersantai. Aku tak tahu berapa lama aku tertidur. Tak ada jam yang bisa kulihat. Aku mengangkat lengan kiri untuk melihat jam tanganku. Aku tak bisa melihatnya. Tak ada cahaya yang kelihatan. Kafe ini gelap gulita. Semua terlihat hitam pekat, tak ada apapun yang bisa terlihat.

“Halo. Apa listriknya mati?”

Tak ada suara yang sama sekali menyahut. Dalam situasi seperti ini, biasanya para tamu kafe pasti ribut, mengeluh, dan berlari kesana kemari. Namun, tak terdengar apa-apa. Musik jazz yang mengalun di kafe itu pun berhenti. Suasananya sangat sunyi, sampai suara detak jam terdengar dan berbunyi. Tunggu? Detak jam berbunyi? Tampaknya masih ada listrik yang menyala. Mungkin kafe ini sudah tutup, dan pelayan itu lupa membangunkanku dari tidur. Ah sial.

Tik… Tik… Tik… Tik. Grrrr…

Detak jam yang terdengar itu berhenti. Suara lain berganti menyahut, dan itu bukan suara manusia. Suara lolongan anjing. Aku melihat empat bola putih yang bercahaya di depanku. Dari arah empat bola putih itu terdengar suara gonggongan anjing yang ganas. Aneh. Ini sangat aneh. Namun, tak ada lagi waktu bertanya-tanya, empat bola putih itu bergerak menuju arahku dan aku harus lari menjauhinya! Aku berlari mencoba menjauhi anjing-anjing ganas itu, tapi aku tersandung dan terjatuh. Celaka.

Anjing-anjing itu mendekatiku dan langsung menggigit celana dan sepatuku. Mereka menerkamku; menggigit seluruh bagian-bagian kakiku, seakan seperti mereka mau memakanku. Aku meronta-ronta panik. Melihat hal ini tak berhasil, aku meraih kursi yang berada di dekatku dan menghantamnya ke anjing-anjing itu. Badan mereka terlempar dan aku berhasil berdiri kembali. Namun, persoalan belum selesai. Aku harus lari dari mereka. Tapi ke mana?

Aku melihat cahaya merah berbentuk seperti pintu. Tampaknya cahaya itu menuju sebuah lorong. Aku harus kesana! Kugerakkan kakiku dengan celana yang tersobek-sobek, dan melangkah menuju kesana. Aku bergegas menuju lorong merah itu. Gonggongan anjing-anjing itu sama sekali tak berhenti. Guk! Guk! Guk!

Memasuki lorong merah itu, aku disambut dengan berbaris-baris gerbang berwarna serupa. Gerbang itu berupa dua tiang vertikal merapat di sisi kiri dan kanan, tiap ujung atasnya tepadu dengan satu tiang horisontal. Bentuknya mirip dengan gerbang Torii 1, tepatnya barisan gerbang Torii di kuburan Fushimi Inari di Kyoto, Jepang. Aku terus berlari melewati lorong ini, menyaksikan berderet-deret gerbang Torii melewatiku bak gelombang pasang merah. Aku terus berlari mendengar gonggongan anjing-anjing ganas itu. Pemandangan ini sangat menakutkan. Aku harus keluar dari tempat ini!

by Murray Foote

Entah sudah berapa lama aku berlari. Aku sangat terengah-engah dan suara gonggongan anjing itu tetap sama kerasnya seperti sebelumnya. Tenaga mereka sepertinya tak habis-habis. Mataku mulai berair dan pandanganku mulai kabur. Sial, apakah aku harus pingsan di sini?

Aku mengedip-ngedipkan mata, dan melihat ada kotak hitam di kejauhan. Tidak, itu bukan cuma kotak; itu pintu, pintu berwarna hitam. Aku bisa melihat kenop pintunya yang bulat. Aku berlari lebih cepat lagi. Gelombang merah yang menghadang mataku berubah menjadi kotak hitam yang makin lama makin membesar. Aku nyaris menabraknya hingga tanganku meraih kenop pintunya, dan, terbuka! Aku tak dapat melihat apa-apa di dalamnya, namun aku langsung masuk dan menutup pintunya dari dalam. Dua anjing itu menabrak pintunya dan mencoba masuk. Aku kesulitan menutup pintunya, dua anjing itu sangat kuat. Dengan sisa tenaga, aku mendorong pintunya dengan rapat, dan menguncinya. Kedua tanganku basah oleh keringat, nyaris tak bertenaga. Namun untuk sesaat, aku lega.

Lagi-lagi aku berada dalam ruangan gelap. Aku tak tahu kafe macam apa yang memberikan pelayanan seperti ini. Listrik mati, anjing gila, lorong merah yang menakutkan, dan sekarang ruangan gelap ini lagi. Bahkan kopi ungu itu jangan-jangan diberi obat tidur. Seseorang harus memberikan ganti rugi, entah bartender itu, manajernya, pemilik, atau siapa pun yang terhubung dengan papan sialan The Cafe itu. Seseorang harus membayar semuanya.

Aku tak mau berlama-lama dalam ruangan gelap ini, seharusnya ada sakelar lampu di sekitar sini. Aku meraba-raba tembok, mencoba mencari sakelar atau tombol yang bisa menyalakan lampu. Aku tak bisa menemukan apa-apa dari tembok sekitarku. Aku mencoba berjalan ke depan, dan aku merasakan seutas tali menyentuh wajahku. Tunggu? Seutas tali di tengah ruangan? Jangan-jangan…

Aku memegang tali itu dan menariknya ke bawah. Byar! Lampu menyala dan memancarkan cahaya. Ruangan yang tadinya gelap itu terlihat jelas, dan di depan mataku aku melihat seorang anak kecil sedang menangis.

Heran, mengapa bisa ada anak kecil di tempat seperti ini, apalagi pada waktu pagi dini hari seperti ini? Namun, daripada berpikir, aku bersimpati pada anak yang terus menangis ini. Kasihan, di mana orang tuanya?

“Dek, dek, kamu gak apa-apa, dek?” Tanyaku pada anak itu.

“Uhuk, uhuk. Aku takut, Om,” jawab anak itu sambil berurai air mata.

“Takut kenapa? Jangan nangis ya, ada Om disini.”

“Anjing.. Anjing-anjing itu mengejarku dan menggigitku. Sakit.”

Aku melihat ke bawah dan melihat kaki anak itu, terlihat tetesan darah dari bekas gigitan yang menancap. Dasar anjing-anjing gila. Sial, aku harus menolong anak ini. Aku merogoh sakuku, mencari-cari tisu basah antiseptik yang biasa kupakai. Aku ingin mengelap area tempat bekas gigitan untuk membunuh bakteri dan kotoran yang ada.

“Tahan ya, Dek. Ini akan terasa sedikit sakit, tapi bagus supaya kamu cepat sembuh, ya?”

Anak itu menghentikan tangisnya dan mengangguk pelan. Aku mencoba mengelapnya dengan pelan, anak itu meringis. Aku mengelap setiap bekas gigitan sedikit demi sedikit sampai kulitnya kering. Tisu yang tadinya putih menjadi merah gelap menyerap darah. Langkah ini hanya untuk pertolongan pertama, namun alangkah baiknya jika ada perban atau kotak P3K 2. Aku berdiri dan melihat sekeliling kamar gelap ini. Ada lemari kaca setinggi orang dewasa melekat di tembok. Aku menuju kesana, dan syukurlah, ada kotak P3K utuh. Aku membuka perban dan antiseptik untuk membalut luka anak itu. Adanya pengalaman pramuka dan teknik gulung-menggulung mempermudahku untuk mengobati luka anak itu.

“Ini, dek. Udah Om obati lukamu. Tenang saja ya.”

“Makasih Om.”

Senyum anak itu mengembang. Sesuatu yang menyejukkan hati di tengah situasi yang tak jelas ini.

“Siapa namamu, Dek?” Aku membereskan perlengkapan P3K.

“Masahiro, Om,” suara anak itu terdengar ceria.

“Kamu dari mana, Masahiro? Kok bisa jam 3 subuh begini kamu jalan-jalan? Apa kamu tersesat?”

Gak, Om. Aku tadi ikut mama & papaku dari rumah sakit. Katanya untuk periksa kesehatan buat mama.”

“Oh. Rumah sakit mana?”

“Rumah sakit Hoshizaki, Om.”

Nama itu sama dengan rumah sakit yang barusan kukunjungi. Aku juga pergi kesana untuk memeriksa kesehatan kandungan istriku. Itu rumah sakit yang lumayan dekat dengan tempat kerjaku, dan memang terkenal dengan pelayanan malam hari yang baik.

“Oh. Setelah dari rumah sakit, Masahiro ke mana bersama papa mama?”

“Sebenarnya, Masahiro ingin mama & papa pulang sama-sama, tapi papa masih ada kerjaan. Jadinya, aku pulang sama mama ke rumah. Akhir-akhir ini, aku merasa kurang disayang sama papa & mamaku. Katanya, aku anak yang tak diharapkan. Namun walau begitu, aku rindu dengan papa, jadinya aku diam-diam keluar dari rumah, dan pergi mencarinya. Aku berkeliling kota dan melihat papa di kafe ini. Jadinya aku masuk, namun tiba-tiba listrik mati, aku tak bisa menemukan papa, dan jadinya sekarang tersesat di tempat ini.”

Ya ampun. Anak ini sangat berani tapi nakal. Keluar rumah sendirian selarut ini? Bagaimana orang tuanya mendidiknya? Kenapa juga dia tak bisa sabar untuk bertemu papanya? Namun, aku menahan diri, berusaha untuk bicara dengan lembut.

“Dek, itu sangat berbahaya, keluar malam-malam begini, apalagi mengunjungi tempat yang gak kamu kenal. Gimana kalau kamu diculik, ditangkap orang asing, atau hal-hal lain yang lebih buruk? Lihat kan, sekarang adek tersesat, terluka lagi. Lain kali jangan begitu ya,” kataku pada Masahiro.

“Iya, Om. Masahiro tahu, namun Masahiro tak takut, karena orang-orang tak akan bisa menangkapku. Mereka tak akan bisa melihatku,” balasnya.

Omongan anak ini sedikit aneh. Timbul ide, untuk menolong anak hilang, lebih baik jika mengetahui nama orang tuanya.

“Dek Masahiro, kamu ingat gak nama papa & mama?” Tanyaku padanya.

“Ingat, Om, ingat,” jawabnya dengan antusias.

“Oh, bagus. Apa nama mama?”

“Misae.”

“Apa nama lengkapnya?”

“Misae Fujiwara.”

Hmm, kebetulan yang hebat. Nama ibunya persis dengan nama istriku, bahkan sampai marganya juga. Namun tentu saja ini bukan nama yang unik.

“Papamu gimana? Apa nama papamu?”

“Hayashi.”

Waduh, kebetulan lagi. Nama papanya sama dengan namaku.

“Nama lengkapnya?”

“Hayashi Fujiwara.”

Itu nama yang sama dengan namaku.

“Wah, kebetulan banget, nama Om sama dengan nama papa.”

“Ya ampun… Papa pura-pura deh. Om kan memang papaku.”

Tunggu. Apa maksud anak ini?

“Aku pikir papa sedang main-main sama aku, main pura-pura jadi siapa. Aku jadi ikutan deh. Aku Masahiro, Pa, Masahiro yang sering dielus-elus papa sebelum berangkat kerja; Masahiro yang sering Papa ajak ngomong ketika aku sedang tidur. Namun, aku mendengar ucapan papa, mama, dan pak dokter bahwa aku akan dikeluarkan secara paksa dari perut mama sebelum waktunya. Aku tak mau diperlakukan seperti itu, Pa. Aku mau lahir secara normal dan bermain bersama papa, seperti saat ini.”

Tunggu. Tak mungkin, tak mungkin. Ini tak mungkin. Tak mungkin Masahiro adalah anak dalam kandungan istriku. Tak mungkin, Masahiro adalah anak yang aku & istriku ingin gugurkan karena mendengar kabar bahwa aku akan dipecat. Tak mungkin. Ini tak mungkin.

“Aku ingin bermain bersama papa.”, jawab Masahiro.

Suara lirih dari anak kecil itu membuatku merinding. Aku terduduk dan tersentak bergerak mundur. Apakah aku barusan bertemu hantu? Di mana diriku sekarang? Wajah Masahiro yang seperti anak kecil normal, mulai meleleh seperti minyak mentah dan berubah menjadi merah. Mata dan bibirnya terlihat tergantung-gantung. Lantai yang tadinya padat mulai terasa seperti sesuatu yang liat dan berlendir. Pemandangan sekitarku berubah dari dinding-dinding kayu menjadi dinding daging yang seperti dikelilingi pembuluh-pembuluh darah, terdengar bunyi detak jantung yang menggema sangat nyaring, seakan aku berada dalam sebuah tubuh manusia. Dalam perut seseorang? Dalam kandungan Misae? Tidak! Di mana aku sekarang?!

“Aku ingin bermain bersama papa,” jawab Masahiro yang mulai merangkak mendekatiku.

“TIDAK, MASAHIRO. JANGAN, JANGAN!”

***

Aku terbangun dengan nafas memburu. Sinar matahari menyambar tubuhku yang bersimbah keringat. Apakah hari sudah siang? Aku melihat pandangan orang-orang, menatapku dari atas seakan aku sedang berbaring. Ternyata aku memang terbaring, tepatnya terbaring di dinding tepi sudut jalan. Aku berdiri dan melihat ke belakang, cuma ada dinding kosong.

Ke mana kafe itu berada? Ke mana Masahiro? Aku tak tahu jika aku bisa mendapat jawabannya. Namun, semua barang milikku, baik tas kerja, dompet, hape, dan amplok dari RS Hoshizaki sama sekali tak hilang.

Aku melihat kembali amplop RS Hoshizaki, amplop ungu berisi laporan kesehatan kandungan istriku. Janinnya sudah berumur 12 minggu, yang menurut dokter sudah mulai berwujud bayi normal. Mungkin sudah ada nyawa yang terbentuk di dalamnya.

Apakah kamu menungguku, Masahiro? Aku tak dapat menjelaskan apa yang terjadi di malam kemarin. Apakah itu khayalan, peringatan, atau sebuah panggilan? Aku tak tahu. Namun, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan pulang ke rumah, membicarakan beberapa hal bersama istriku, membicarakan kehidupan anak dalam kandungannya.

Tetap, ada satu pertanyaan mengganjal. Kafe apa itu sebenarnya?

***

“Sudah berkali-kali aku bilang, kita putus! Ah, maaf Mba, tunggu sebentar ya,” kata seorang wanita pengunjung The Cafe berjas hitam.

“Tak apa-apa,” sahut bartender wanita bergaun merah, mengenakan lipstik merah gelap.

Wanita pengunjung itu ngomel beberapa menit, lalu menutup HP-nya. Dia menghela napas.

“Di sini katanya bayar suka-suka kan? Ini aku titipkan, hidangkan apa pun yang enak.” Wanita itu memberi kartu kredit pada bartender.

“Terima kasih, Mba. Kami akan menyajikan menu spesial untuk Mba, menu yang Mba butuhkan. Silakan duduk dulu,” sahut bartender itu.

“Terima kasih, Mba.” Wanita itu pergi duduk di sebuah meja dekat jendela.

Bartender wanita itu tersenyum, membalikkan badan, dan berjalan menuju dapur. Dia menghilang dalam kegelapan.

***

Setiap jiwa memiliki rahasia.

Rahasia itu adalah penentu takdir mereka.

Sayang, tak semua orang menyadarinya atau memperdulikannya.

Maka, ada waktu khusus untuk mengurusnya.

Waktu di mana berhenti sesaat urusan dengan dunia.

Waktu di mana malaikat, setan, dan roh-roh mencari jiwa.

Waktu itu subuh, sebab tak ada subuh yang biasa.

Kunjungilah “The Cafe”, kafe yang akan membantu Anda mengenal rahasia Anda.

_____________________
1 Gerbang Torii adalah gerbang penghubung dunia manusia dan dunia roh menurut agama Shinto di Jepang
2 Kotak P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan) adalah perlengkapan medis untuk mengobati luka-luka ringan; biasanya berisi perban, plester obat, obat merah, dan antiseptik.

--

--

Harjono Honoris
Jurnal Jono

Digital Marketing Consultant. Favorite pastime: scanning grocery products for copywriting inspirations.