Yakin Kamu Tidak Dirugikan Waktu?

Ricky Saif
Rizky Syaiful Life Journal
10 min readJun 19, 2015
Sekedar pemberitahuan buat teman-teman non-Muslim ku, foto saya ini berisi kutipan dari Quran. Meski begitu, pesannya (dan tulisan saya) universal. Saya bayangkan kalau saya di posisi kalian, saya akan masih mendapat manfaat dari ini.

Tahu surat ‘Waktu’ ? Salah satu surat pendek yang kita hafal sedari kecil. Mungkin sering kita baca saat solat. Tapi mungkin juga jarang kita telusuri maknanya. Um.. setidaknya saya sih seperti itu.

Baru-baru ini dikasih kesempatan buat memikirkannya. Dan menarik! Ada sisi-sisi lain yang — setidaknya dari pengalaman pribadi — belum banyak dieksplorasi oleh guru-guru agama kita.

Singkatnya, surat Waktu berkata semua orang — apapun kepercayaannya, kapan pun, di mana pun dia hidup — itu merugi, kecuali dia yang beriman dan mengisi waktunya dengan mengerjakan kebaikan dan saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran.

Dan, ya. Kata-kata ‘dan’ di surat itu, adalah kuncinya bagi saya.

1. Berbuat Baik

Salah satu orang yang saya sayangi pernah mengatakan kalau dia benar-benar beriman. Tapi dia tidak terlalu konsisten melaksanakan solat, salah satu lima pilar wajib Islam (sahadat, salat, puasa, zakat, haji — jika mampu). “Tidak terbiasa”, kata dia. Hidupnya jadi tidak tenang, dihantui perasaan bersalah. Karena saya cinta dia, saya jadi ikut sedih.

Anda beriman & cinta Tuhan,
tapi tidak beribadah seperti yang Tuhan suruh (bertaqwa)?
Hidup anda merugi.

2. Berbuat Baik

Muslim di Indonesia biasanya tidak langsung menerjemahkan ‘amal shalih’ ke bahasa Indonesia. Kalau diterjemahkan, artinya ‘perbuatan baik/benar’. Yang tentu saja, tidak hanya perbuatan yang berhubungan dengan Tuhan, tapi juga sesama manusia. Sementara ‘amal shalih’ sendiri umumnya diartikan hanya sebagai ritual seperti puasa, shalat, mengaji.

Saya sering kali dengar kisah tentang seseorang bapak yang rajin ibadah ke mesjid, tapi tidak mau/semangat mencari nafkah untuk keluarganya. Si istri sampai bilang kalau merasa tertipu, dia kira orang alim sudah pasti orang baik.

Anda beriman,
rajin mengaji dan ke mesjid,
tapi tidak mengisi waktu dengan berbuat kebaikan
(lebih-lebih kalau juga korup dan menebar kerusakan di muka bumi — yang berkali-kali Tuhan murkai di Quran) ?
Hidup anda merugi.

3. Pengaruh Baik

Sebagai makhluk sosial, tentu kita tidak bisa selamanya ‘berbuat’. Tidak mungkin kita terus beraktifitas atau melakukan sesuatu. Ada saat di mana kita berdiskusi dan berbincang dengan orang lain. Kita butuh hubungan dengan orang lain. Kita butuh kasih sayang. Kita butuh untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain.

Waktu kuliah saya pernah cukup sering mengobrol dengan seseorang. Dia sering kali mengeluh. Obrolan dengan beliau juga membuat saya jadi ikut berpikir buruk tentang sekelompok orang — sudah menghakimi padahal belum intens berhubungan dengan mereka. Energi saya jadi habis memikirkan sekelompok orang itu.

Anda beriman,
rajin mengerjakan yang baik-baik,
tapi menularkan pikiran buruk
(baca: tidak berujung pada kedamaian jiwa-raga) ke orang lain?
Hidup anda merugi.

4. Nasehat

Pikiran atau pandangan yang baik, akan lebih manjur jika diberikan pada waktu yang tepat. Kapan? Yaitu saat yang bersangkutan memiliki masalah. Itu namanya nasehat.

Jujur ya, ketika saya sudah memberi kode kalau saya punya masalah, dan orang-orang di sekitar saya tidak ada yang peduli, saya jadi tambah sedih. Saya juga sering ingin bilang ke supir angkot di sebelah saya, kalau memberi orang lain asap rokok itu tidak baik. Tapi tidak berani. Saya takut supir angkotnya marah. Di otak saya, orang kalau dikritik marah. Mungkin karena dia nanti merasa saya perintah ya? Padahal saya cuma mau menasehati, kalau tidak sepakat ya silahkan lanjut merokok. Sayang ya, kita kurang punya budaya untuk menerima nasehat.

Anda beriman,
rajin mengerjakan yang baik-baik,
tapi tidak mengambil kesempatan untuk menasehati orang lain ke kebaikan? Hidup anda merugi.

5. Menasehati dalam Kesabaran

Apa pula itu menasehati dalam kesabaran? Sabar adalah pilihan untuk tetap bertahan/berjuang di tengah kondisi yang tidak mengenakan. Kita hidup di tengah masalah yang datang silih berganti.

Awal bulan ini saya stres karena kondisi yang tidak nyaman dan tidak ada orang yang bisa saya salahkan. Saya sampai marah-marah sendiri dan merusak furnitur — untung tidak ada yang lihat. Di posisi itu, saya pikir saya akan bahagia kalau ada orang yang menasehati saya. Tidak mesti dengan solusi, tidak mesti dengan pandangan baik (baca: kebenaran) yang baru untuk otak saya, boleh dengan satu kalimat sederhana: ‘yang sabar ya Ki…’

Anda beriman,
rajin mengerjakan yang baik-baik,
juga menasehati yang baik-baik,
tapi gagal untuk sekedar berempati pada penderitaan orang di sekitar anda? Hidup anda merugi.

6. Saling

Ya, di surat Waktu, tertulis ‘saling’ nasehat-menasehati (pada kebenaran dan kesabaran). Bukan hanya memberi, kita juga harus menerima.

Saya beberapa kali bertemu orang yang bicara tanpa henti. Merasa dirinya satu-satunya sumber kebenaran. Maunya memberikan pengaruh terus. Menyebalkan bicara dengan orang seperti itu.

Anda beriman,
rajin mengerjakan yang baik-baik,
menasehati yang baik-baik,
berempati pada penderitaan orang di sekitar anda,
tapi tidak mau dinasehati atau diberikan empati orang lain?
Hidup anda merugi (ya iyalah…).

Terakhir…

7. Beriman

You may say I am a thinker. But I’m not the only one. I hope someday you’ll join us. And the world will be more fun.

Dari SD saya senang filsafat. Sebenarnya filsafat itu bukan sebuah himpunan pemikiran-pemikiran untuk diterima — sebagaimana fisika atau sosiologi. Mereka yang memandang filsafat seperti itu, wajar menghindari filsafat. Saya maklum kalau beberapa teman saya yang agamis tidak ingin saya belajar filsafat. Filsafat bagi saya bukan ilmu, dia adalah sebuah kondisi di mana seseorang boleh berpikir apapun, selama dia bisa menjelaskannya. Saya senang kondisi itu! Anggaplah saya terlahir sebelum tercatat pemikiran-pemikiran yang dibenci kaum agamis, anggaplah saya lahir sebelum jaman Sokrates, saya duga saya akan tetap seseorang yang senang, bebas, dan berani memikirkan/mempertanyakan apapun. Meski minoritas, saya jelas tidak sendiri…

Profesi saya sekarang sebagai pelatih dan konsultan membuat saya berpindah-pindah tempat dan bertemu banyak orang. Termasuk orang-orang yang suka filsafat seperti saya. Saya berkali-kali bertemu orang yang bertuhan tapi tak beragama (mantan muslim), kebanyakan karena merasa agama justru membuat manusia makin terpecah-belah — yang sudah terpecah-belah oleh perbedaan fisik, bahasa, ideologi, dan budaya. Pernah bertemu yang hanya tidak terlalu peduli dengan ketuhanan dan kemanusiaan, semacam ateis-agnostik. Mungkin nanti saya akan bertemu ateis radikal.

Saya menerima lho klaim kubu ateis kalau moralitas tidak berasal dari agama. Saya bisa membayangkan sebuah suku terisolir yang tidak punya konsep tuhan sama sekali, tapi memiliki budaya kasih-sayang — yang bahkan lebih dari orang-orang yang beragama sekarang.

Di bahasa filsafat, orang yang hidup tanpa konsep ketuhanan bisa juga disebut nihilis.

Mungkin ada ateis protes kalau disamakan dengan nihilis. Karena mereka pikir, mereka bisa menjadikan sebuah isu (bisa ideologi, demokrasi, nasionalisme, supremasi ras, lingkungan, feminisme, LGBT) sebagai tujuan hidup mereka. Silahkan saja protes. Saya sih memandang isu-isu itu masih produk dari otak manusia. Makhluk yang baru muncul kemarin sore di bumi ini — mungkin 0.00000001 detik lalu kalau konteksnya alam semesta. Makhluk yang kayak-kayaknya juga bakal hilang sebentar lagi. Kembali jadi serpih kosmis. Jadi debu bintang. LGBT, demokrasi, atau isu-isu apapun, tidak akan lebih berharga dari debu bintang itu.

Sebuah galaksi bertanya pada tetangganya, “Bro, makhluk yang bisa ngomong di bumi sombong-sombong nih, makhluk yang bisa ngomong di planet-planet kamu bagaimana?”

Sebagai nihilis, punya moralitas adalah hal yang baik, hidup akan lebih nyaman kalau kita punya moral dan tinggal bersama orang-orang yang juga punya itu.

Tapi sebagai nihilis, kita jadi pemerkosa, teroris, atau diktator juga akan sama saja akhirnya. Sia-sia kebaikan kita. Karena ujungnya tidak akan beda. Berbuat baik atau tidak kita semua akan jadi tanah, lalu cepat atau lambat, dilahap lubang hitam. Menuju ketiadaan.

Saya tidak serta merta menyeru untuk masuk ke agama Islam, atau agama apapun. Saya hanya berargumen kalau berusaha menginternalisasi konsep

“bahwa semua-alam-semesta-yang-mungkin-ada
(termasuk semua yang ada di dalam masing-masing alam-semesta itu)
berasal dari satu sumber,
sumber yang amat pengasih dan penyayang,
sumber tempat kita semua kembali — orientasi utama hidup kita semua.”

akan membuat hidup jadi lebih damai jiwa dan raga. Silahkan tidak percaya. Tapi saya telah membuktikannya. Hilang ketakutan saya, bahwa semua ini hanya akan berujung pada ketiadaan.

Konsep ini bernama Tauhid. Jika membaca Quran, akan cenderung anda menebak kalau maksud ‘beriman’ di surat Waktu, adalah Tauhid.

Dalam konteks Islam — silahkan melewatkan kalau tidak suka, istilahnya: kita, manusia, ikut bersama seluruh makhluk-makhluk lain bertasbih (larut dalam kesucian/ketinggian Allah) sepanjang waktu.

Katakanlah (ya Muhammad): “Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arsy (singgasana yang meliputi seluruh alam)”.
~ Quran 17:42

Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.
~ Quran 17:43

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
~ Quran 17:44

Dan inti Islam ya hanyalah tentang menginternalisasi diri ke satu sumber itu: Tauhid. Hanya itu.

Sebagaimana agama, tentu ada perintah, perintah-perintah yang ujung-ujungnya langsung bermanfaat buat kita juga (salat, puasa, zakat, haji). Itu saja. Tidak berlebihan.

Sementara perintah-perintah tentang cara hidup, juga jelas manfaatnya untuk umat manusia. Zina dilarang keras karena dia menyerang konsep pernikahan — yang jadi inti keluarga & peradaban manusia. Alkohol dilarang karena keburukannya melampaui kebaikannya. Tidak ada yang aneh.

Fakta bahwa dalam Quran juga mengatur etika diplomasi dan perang dengan pihak non-Muslim, adalah karena sejak awal, Islam sudah lahir dalam bentuk komunitas sebesar kota — bukan satu guru dengan belasan-puluhan murid seperti Yesus PBUH dan Buddha. Sementara Islam secara identitas teologi juga jelas-jelas bertentangan kaum penyembah berhala (penguasa-mayoritas saat itu), dan agak berbeda dengan Yahudi dan Kristiani (rakyat-minoritas saat itu).

Islam lahir di era seperti Game of Thrones. Jika menonton serial itu, anda akan mudah mengerti, kenapa diplomasi dan perang tidak terelakan di zaman Muhammad PBUH.

Di Game of Thrones, semua kota punya tentara. Semua kota juga punya marga-marga, yang dipimpin oleh satu marga terkuat.

Meski begitu, saya juga punya bukti kalau politik bukanlah hal inti di Islam: yaitu meninggalnya Muhammad PBUH tanpa perintah yang jelas terkait mekanisme pergantian kepemimpinan komunitas. Sesuatu yang suku nomad Dothraki di Game of Thrones saja punya.

Pecah Sunni-Syiah, dan masalah geopolitik muslim sampai sekarang, mungkin tidak akan terjadi kalau ada prosedur suksesi yang jelas dari Quran atau Muhammad PBUH. Tapi kalau prosedur itu ada, komunitas muslim resmi dari awal lahir sebagai komunitas formal — alias organisasi/republik/kerajaan. Which is not.

Kembali lagi, perintah-perintah dalam Islam sederhana, untuk kebaikan pribadi si manusia sendiri, dan ujung-ujungnya membantu manusia menginternalisasi Tauhid. Contoh: Setiap awal solat kita selalu bilang

“sesungguhnya, hidupku, matiku, hanya untuk Allah, tuhan semesta alam.”

Wow. Klaim yang berat. Sesuatu yang hampir mustahil terjadi sepanjang hari. Tapi tetap indah diperjuangkan. Itu kenapa saya senang diperintah untuk mengucapkannya minimal lima kali sepanjang hari.

Contoh lain: puasa Ramadhan melatih ihsan, yaitu sebuah kondisi merasa Allah terus mengawasi. Dari yang saya survei, muslim yang biasanya hampir tidak pernah solat pun, tetap tak mau minum-makan padahal saat sedang sendirian berpuasa.

Maka, kembali ke topik moralitas, kita berbuat baik, bukan hanya karena kita ingin, tapi juga karena juga karena diperintahkan oleh Si Satu Sumber itu. Ini inti pembeda dengan para nihilis.

Segala puji bagi Tuhan (subhanallah), baru beberapa jam yang lalu di khutbah Jumat, khotib bercerita kalau Muhammad PBUH bilang salat tarawih-nya yang lama sampai menjelang sahur, itu tidak bisa dibanggakan karena terjadi tetap atas rahmat Allah. “Semua perbuatan baik kita, baik urusan spiritual maupun sesama manusia, kita anggap mustahil terjadi tanpa rahmat-Nya.” Only by the grace of God. Sekali lagi, kembali ke Tauhid.

Menginternalisasi konsep Tauhid tidak langsung membuat anda jadi muslim — Anda harus juga menerima Muhammad PBUH sebagai utusan Tuhan.

Tauhid sudah ada jauh sebelum Muhammad PBUH lahir. Kami muslim percaya dalam setiap komunitas, di setiap masa sejak manusia punya akal dan kehendak bebas, selalu lahir orang yang menyebarkan konsep tersebut. Itu sudah sunatullah, atau dalam bahasa non-muslim: hukum alam / statistik.

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat.
~ Quran 25:20

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab (menimpakan bencana besar) sebelum Kami mengutus seorang rasul. ~ Quran 28:59

Saya beberapa kali bertemu non-muslim yang menginternalisasi konsep Tauhid, sepakat dengan apa yang Muhammad PBUH sebar (Tauhid), tapi tidak melakukan lima pilar Islam sama sekali.

Selain teman-teman yang tak beragama dan agnostik, saya juga punya teman-teman yang Buddhis. Mengingat momen canda-tawa bersama mereka semua bisa membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Saya sayang mereka. Mereka orang baik.

Salah satu teman Buddhis di komunitas aktivis lingkungan di kampus dulu bilang ke saya kalau Buddhisme adalah agama ‘agnostik’. Banyak sumber yang bilang kalau Buddha tidak membahas konsep ketuhanan sama sekali. Satu yang saya ingat dari buku biografi Buddha tulisan Deepak Chopra, Buddha berkata, “Kalau benar dewa-dewi itu ada, mereka juga bergulat dengan duka hidup juga seperti kita”. (coba lihat, mirip Quran 17:42 di atas)

Ide ini amat sederhana. Tidak ada hubungan dengan Muhammad PBUH sama sekali. Kaum-kaum di pulau terpencil, yang ratusan ribu tahun tidak tersentuh manusia luar, bisa secara alami memikirkan ini. Alien di planet lain, bahkan juga bisa secara alami memikirkan ini. Ini adalah ide universal yang bisa dipikirkan seluruh makhluk yang sadar diri / punya kehendak bebas.

Saya hanya ingin menyampaikan ide Tauhid ke teman-teman saya. Selanjutnya terserah mereka. Kontrol 100% ada di tangan mereka.

…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri
Quran 13:11

Saya berharap hidup mereka lebih bahagia. Karena saya sayang mereka. Mereka teman saya.

Anda rajin mengerjakan sesuatu yang baik,
dan saling menasehati dalam kebenaran serta kesabaran,
tapi tidak beriman?
Hidup anda merugi.

Bandung, 19 Juni 2015

Jika bermanfaat, jangan lupa tekan tombol ‘Recommend’ di bawah dan sebarkan.

--

--