#Indonesia100hari

Steven Alidjurnawan
5 min readJul 14, 2015

--

Kemarin menandakan 100 hari semenjak kepulangan saya ke Indonesia dari Tokyo, Jepang.

Hashtag yang khusus saya buat di Twitter ini selain untuk menjadi personal record, tetapi juga untuk me-review performance dan achievement saya selama 100 hari di Indonesia. Apakah saya menjadi malas, apakah saya masih mempunyai tujuan yang sama?

First Month (D1–30)

Minggu pertama terasa cepat berlalu bukan karena seru dan senang, tetapi karena kecapean dan sakit. Suhu dan kondisi udara yang sangat berbeda antara Jakarta — Tokyo membuat saya harus menyesuaikan ulang dengan keadaan ini.

Belum lagi kemacetan dan harus tahan duduk berjam-jam di mobil, ah saya makin gila. Tapi semua ini terobati dengan makanan Indonesia yang saya idam-idamkan selama di Tokyo dan juga bisa dekat dengan keluarga.

Minggu kedua saya sudah mulai bekerja, banyak orang bilang, “Kamu gak mau libur dulu?” Tidak lah, saya tidak suka membuang waktu dengan berlibur ketika memang harus bekerja. Kecuali memang saya pergi travel dan khusus untuk relax di sana.

Dua minggu kemudian, barang pindahan saya datang dari Jepang dan saya tidak perlu membayar apa-apa. Para staf kedutaan Indonesia sangat membantu ketika proses pindah, beda sekali dengan pelayanan birokrasi yang cenderung tidak jelas di tanah air.

Di minggu ketiga, mulai lah muncul tekanan-tekanan dari bos dimana saya harus mengerti cara kerja bisnis dan lebih terkesan menjatuhkan dibandingkan mengajari. Sepertinya banyak orang lupa bahwa saya baru kembali di Indonesia selama 17 hari dan saya baru mulai bekerja minggu lalu.

Tekanan dari tempat kerja datang karena mereka berharap terlalu banyak dengan performa saya yang sebenarnya susah untuk disamakan. Karena background saya lain dengan pekerjaan saya sekarang.

Di saat ini pula saya menemukan bahwa biaya internet semakin mahal, kuota Telkomsel semakin cepat habis tetapi layanan koneksi tidak diperbaiki. US Dolar sudah semakin tinggi dan pajak pun mulai gencar mengincar para pengusaha, tidak peduli dengan kondisi ekonomi yang melemah dan mahalnya untuk membeli kebutuhan pokok belakangan ini.

Kiri: Nilai dolar yang makin tinggi dari akhir Juli 2014, sampai akhir bulan April 2015. Belum ada tanda-tanda tren penurunan maupun penguatan ekonomi semenjak Presiden Jokowi menjadi kepala negara Indonesia. Kanan: Terakhir saya pergi, harga untuk kuota 2Gb hanya Rp 60.000 dan sekarang sudah menjadi Rp 87.500. Padahal kualitas jaringan belum ada perbaikan. Belum lagi adanya penggunaan tarif berdasarkan wilayah. Sangat membingungkan.

Perjalanan saya pun masih terseok-seok sampai akhir bulan pertama ini. Memang tidak mudah untuk memulai dari awal lagi, walaupun saya hanya meninggalkan rumah selama satu tahun. Sangat ironis.

Second Month (D31–60)

Di awal bulan saya memulai menemukan platform untuk menulis yaitu, Medium. Saya pun commit untuk tetap menulis di sini walaupun mungkin sedikit orang yang baca tulisan saya dikarenakan platform ini kurang populer dibandingkan dengan blogging platform lainnya.

Bahkan ada juga orang yang merasa Medium adalah platform untuk orang-orang hebat yang menulis tentang hal-hal berbau design, ilmiah, riset, atau startup.

Tidak.

Jika kamu melihat lebih dalam, banyak orang-orang yang menulis seperti saya. Kita berbagi pengalaman hidup kepada para pembaca dan kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan mendapatkan untung dari tulisan ini.

Things started to get settled this month, saya mulai reuni, bertemu dengan teman-teman lama. Khususnya mereka yang hadir di acara pernikahan saya tapi saya belum sempat untuk bilang terima kasih secara langsung.

Bisnis sampingan saya tetap berjalan dengan lancar dengan order yang tambah banyak (omset bertambah 100%) dan saya mulai mencoba untuk mencari produk Indonesia yang bisa saya ekspor ke luar negeri. Selain untuk menambah devisa negara, juga untuk menambah pundi-pundi uang hohoho…

Itu saya sadari ketika saya berada di Jepang, saya melihat banyaknya produk lokal (khususnya Bali) yang dibawa oleh orang Jepang sendiri untuk dijual di negara mereka. Sama seperti ketika kita membawa Tokyo Banana secara hand carry, mereka bawanya bumbu masak Indonesia atau produk kecantikan alami seperti produk Sari Ayu. Jarang sih memang orang Indonesia yang mempunyai bisnis di Jepang, tidak sebanyak orang China atau Malaysia.

Ketika di Jepang saya banyak sekali meminum kopi, sehingga ketika saya pulang, saya sangat senang karena kopi di Indonesia tentunya lebih murah daripada di Jepang sana. Sehingga saya menghemat pengeluaran untuk ke kafe seperti Starbucks dan mulai membeli biji dari roaster lokal. Lalu berikutnya panggil teman-teman untuk ngopi bersama. Ini baru namanya harga kaki lima, rasa bintang lima.

Third and Last Month (D61–100)

Di bulan ini nih agak kacau. Bulan ini kerjaan full time sibuk karena harus banyak bepergian dan bertemu orang. Juga ada masalah di produksi dimana kimia jenis baru yang masuk makanya saya harus pelajari dulu profile nya bagaimana.

Belum lagi bisnis sampingan saya ada customer masih hutang dan belum bayar (sampai sekarang, padahal harusnya transaksi cash, tapi karena dia langganan lama maka saya tidak mengharuskan DP di awal pemesanan).

Bulan ketiga ini adalah permulaan dari bulan Ramadhan yang akhirnya nanti akan libur lebaran yang panjang. Kendati demikian, permintaan barang masih lemah dan tidak ada tanda-tanda penguatan. Yang ada malah customer tidak berani stok barang.

Omset turun 30% year on year

Di bulan ini pun saya harus kembali berurusan dengan Jepang, dimana ternyata saya diharuskan untuk membayar pajak daerah (kuminzei 区民税). Banyak sekali pengeluaran di bulan ketiga ini sehingga saya seringkali terpaksa untuk stay at home dan mengurangi pengeluaran saya.

Goal and Achievement

Belum banyak yang telah saya lakukan untuk pantas disebut sebagai achievement, tetapi ada beberapa hal yang saya pelajari selama 100 hari ini.

< 1 >

Pertama, bagaimana cara mengatur keuangan keluarga. Sebelumnya saya selalu terjebak dalam siklus boros dan hidup dengan gaji bulan ini saja. Banyak buku dan artikel mengenai personal finance yang saya baca tapi tetap saja susah untuk take action dan mengerem pengeluaran. Dengan kebutuhan yang makin mahal dan saya memulai keluarga sendiri, mau tidak mau saya harus mengerem pengeluaran pribadi untuk keluarga.

< 2 >

Secara basic, saya sudah mengerti bagaimana sistem produksi di pabrik tempat saya bekerja. Tetapi masih butuh waktu untuk pengembangan sistem karena sekarang semua masih sistem tangan satu orang seketaris yang merangkap sebagai marketing, kepala pabrik, dan inventoris. Nantinya sistem baru akan diaplikasikan dan walaupun awalnya rumit, tetapi tidak ada lagi alasan untuk tidak laporan kepada atasan.

Penutup

Banyak orang menanyakan, lebih enak dimana? Jakarta atau Tokyo? Dengan lantang saya akan menjawab Tokyo.

Di sana udara bersih dan yang paling penting adalah keamanan masyarakat sangat terjamin. Banyak polisi dan semua nya serba teratur.

Jika kalian punya kesempatan untuk hidup di Jepang, jangan ragu-ragu, segera ambil dan berangkat. Karena di sana kita lebih banyak mendapatkan kepastian.

Saya punya alasan personal untuk kembali ke Indonesia. Tetapi saya tidak menyesal atau merasa sebal karena saya percaya bahwa kesuksesan dan keberhasilan kita ditentukan oleh tangan kita sendiri. Letak geografis memang bisa membawa pengaruh, tapi semua tergantung diri kita yang bisa mengambil kesempatan yang ada.

Salam sukses untuk kalian semua!

--

--

Steven Alidjurnawan

Agency owner at Orion Scope, a digital marketing agency in Indonesia specializing on SEO to grow your B2B businesses.