Senioritas Di Jepang

Steven Alidjurnawan
3 min readFeb 15, 2015

--

Negeri Sakura, terkenal karena banyak hal mulai dari yang indah seperti pemandangan alamnya, sampai yang buruknya seperti yakuza. Tetapi ada satu hal yang mungkin orang gak tahu atau anggap enteng, yaitu senioritas.

Senioritas itu pengaruhnya besar di Jepang. Junior harus total submisif dengan seniornya. Mungkin terdengar biasa saja yah buat kalian, tapi bayangin gini deh. Zaman masih ada ospek dan perploncoan, maksimum kita diplonco berapa lama? Paling 1 minggu selesai setelah itu ya sudah kan. Andai senior macam-macam kita bisa lapor ke pihak berwenang. Nah di Jepang, kita tuh ibarat diplonco seumur hidup sama senior. Oh, tenang aja, gak disuruh nyebur ke kubangan kok atau rambut dikepang pake pita 7 warna. Plonconya dengan cara yang lebih dewasa aja. Contohnya kalau ada acara, kalian yang harus cari restoran dan booking tempat. Kalau sudah cari, kita ajukan ke senior. Nah senior tinggal bilang, gua gak mau masakan Itali atau ini tempatnya jauh dari rumah gua, atau apa pun itu, kita cari lagi lah.

Ah, cuma gitu aja santai lah. Yoi, sampai akhirnya sudah capek cari restoran, lu harus tetap kerja seperti biasa, selesai pesta makanan gak enak lu disalahin. Keki kan? Belum lagi dibully secara verbal dan fisik. Buat orang sini sih seperti itu gak malu karena memang biasa, bahkan mungkin dipuji karena dedikasi dia nurut sama senior. Tapi buat gua, yang hal seperti ini tuh absurd abis. Ini beberapa kejadian yang pernah gua liat:

Air habis, senior mau minum dan dia siap-siap ganti air galon tapi junior langsung buru-buru samperin dan gantiin pasang air. Air galon sampe digantiin. Padahal sama-sama laki dengan kaki tangan sehat dan senior nya pun lagi gak sakit, ini sungguh aneh bin ajaib.

Senior mabuk berat dan lagi ada masalah rumah. Junior sampai berlutut untuk dengerin senior cerita di depan sebuah restoran dalam area mal.

Lagi karaoke, semua mabuk, si junior dibugilin.

Kemana senior itu pergi, biasa si junior tidak jauh dari sana. Senior pulang malam dari kantor, junior juga biasanya pulang malam.

Memang tujuannya adalah supaya mereka berdua punya hubungan baik dan pada akhirnya ada jalinan pertemanan (walaupun tetap senior dan junior). Sisi baiknya ya jadi ada banyak kenangan sama senior dan punya ikatan emosional lah istilah kerennya. Nanti senior pindah kerja kemana, dia bisa tarik juniornya untuk kerja bareng juga. Gua pribadi ngeliatnya gak enak sih begitu, kenapa gak sama-sama respek dan suka kerja bareng karena memang skillnya saling melengkapi? Bukan karena enak ada jongos yang bisa disuruh-suruh.

Satu faktor lagi mengenai senioritas. Di Jepang gaji itu berdasarkan umur. Jadi gak usah harap gaji lu lebih tinggi dari senior yang umur 28 kalau umur masih 22, walau ijazah lu S2 atau S3. Mungkin dibanding senior yang umur 25, gaji lu bisa sebanding. Ada cerita teman gua yang ditawari naik jabatan di sebuah perusahaan multi nasional Jepang, tapi gajinya tidak naik walau titelnya naik. Alasannya? Karena masih terlalu muda untuk gaji lebih dari segitu. Gak lama langsung resign dia, pindah tempat kerja dan dapat kesempatan yang lebih besar di kantor baru.

Intinya kalau mau kerja di Jepang, semakin lama perusahaan itu berdiri, semakin kental senioritas itu. Setiap senior yang lu temui, dulu punya senior juga. Terus begitu akhirnya jadi budaya. Your grandpa did it, your dad did it, you did it, your son will do it, and so on… Ini masalah bagi Jepang tapi tidak ada yang berani mendobrak kebiasaan lama.

Because when you try to change a culture, you will fight with the people.

Gua sendiri pernah ngobrol dan diskusi sama seorang teman, dia orang Jepang. Dia suka dengan cara seperti ini karena memang ini yang menurut mereka adalah normal. Mau bagaimana lagi kalau memang masyarakatnya sendiri tidak mau berubah ☺

--

--

Steven Alidjurnawan

Agency owner at Orion Scope, a digital marketing agency in Indonesia specializing on SEO to grow your B2B businesses.