Mampukah Kecanggihan Metaverse Menggerus Kearifan Lokal ?
--
“Gotong Royong merupakan salah satu kearifan lokal yang mencerminkan karakterisitik Bangsa Indonesia” Ungkap Prof. Bintarto yang diulas oleh Subagyo dalam publikasi penelitiannya. Nilai lokal ini menghasilkan multiple effect positif lainnya. Setiap orang berinteraksi satu-sama lain, saling ber-empati dan menghargai. Saling memberi dan hampir tidak ada kepentingan politik ataupun tendensi apapun. Dalam sebuah komunitas, orang yang memiliki tendensi tertentu otomatis akan tersingkir dengan sendirinya.
Dalam dua pekan terakhir, group ronda malam sabtu yang saya ikuti begitu aktif mendiskusikan fenomena perilaku masyarakat. Biasanya, semakin malam justru semakin berat diskusinya sambil menahan kantuk. Mulai dari Ghoib Marketing versus Digital Marketing hingga Kearifan Lokal versus Metaverse.
Metaverse bersamaan dengan Non-fungible Token (NFT) merupakan contoh lompatan dalam industri Information and Communications Technology (ICT). Gempitanya sangat terasa membanjiri linimasa sosial media. Artis-artis silih berganti meramaikan industri ini. Anang Hermansyah meluncurkan token kripto ASIX. Angel Lelga merilis Angel Token. Luna Maya mempublikasikan karya digitalnya menggunakan NFT. Syahrini membangun konser virtual dengan teknologi Metaverse dan masih ada sederetan artis lainnya.
Metaverse, memungkinkan manusia berinteraksi tanpa bersentuhan fisik. Tak seperti interaksi chating dalam Whatsagroup, sosok fisik kita digantikan oleh sosok animasi 3 dimensi. Sosok animasi kita bisa berjalan ke Mall, melihat konser musik, atau menyaksikan pertandingan sepakbola. Sedangkan tubuh fisik kita tetap berdiam didalam rumah.
Menurut obrolan kami di tempat ronda, suatu saat teknologi Metaverse dapat menimbulkan polarisasi perilaku masyarakat. Ada golongan yang menyambut antusias kehadiran teknologi ini. Terutama generasi — generasi zilineal yang sejak bayi sudah berada pada kecepatan internet 5G. Generasi ini yang digadang menjadi pengguna Metaverse.
Ada juga kelompok masyarakat yang anti terhadap teknologi baru. Kelompok ini memandang, perangkat smartphone mendegradasi berbagai interaksi sosial. Fenomena yang mudah ditemui, sekumpulan pemuda bergerombol dalam satu tempat namun saling terdiam karena fokus pada gadgetnya masing — masing. Belum lagi dampak negatif psikologis yang dimunculkan, atau menurunnya daya minat baca buku. Menurut kelompok masyarakat ini, teknologi merusak generasi anak bangsa. Teknologi dipandang menggerus nilai kearifan lokal.
Namun demikian, ada juga kelompok masyarakat yang berpandangan antara teknologi dengan nilai kearifan lokal dapat berdampingan. Bila kita tarik mundur lima belas tahun yang lalu, bertatap muka dari Magelang ngobrol dua arah dengan saudara yang sedang menjadi TKI di Arab Saudi merupakan hal yang mustahil. Lima belas tahun yang lalu, membuat sendiri Akta Kelahiran tanpa harus datang ke kantor kecamatan, merupakan sebuah ketidakmungkinan. Namun pada kenyataanya, lima belas teahun kemudian digitalisasi berbagai layanan nyaris sempurna. Digtilasisi layanan pemerintahan, bisnis hingga hiburan.
Berkaca pada fenomena ini, maka sebuah keniscayaan bahwasanya teknologi yang canggih dapat diterima tanpa menghilangkan nilai kearifan lokal. Kelak, meskipun kita menyaksikan konser Syahrini secara virtual namun tetap bisa sholat berjamaah. Tetap bisa bergotong royong membangun parit. Pilar — pilar kearifan lokal akan selalu terjaga oleh mimbar ceramah, oleh aktivis komunitas, oleh budaya dan tradisi. Kecuali, dari generasi ke generasi selalu digaduhkan urusan politik serta isu Agama seperti masalah Toa.