Kain gringsing dari Desa Tenganan, Bali Barat (Foto oleh Murni Ridha)

Kain Penolak Bala

Di balik warna sederhana kain gringsing

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita
Published in
7 min readApr 4, 2019

--

oleh Murni Ridha

“Murni, kamu tahu tentang kain double ikat (ikat ganda) di Bali?” tanya Ibu Mia, mantan bos, ketika kami sedang bersantai lepas dari pekerjaan suatu sore.

Saya menggeleng. Saya sama sekali belum pernah mendengar tentang kain tersebut. Penasaran, saya tergerak mencari tahu lebih banyak dan mendapat informasi bahwa ikat ganda sebagai sebuah teknik tenun dengan proses mengikat benang lungsi dan benang pakan sekaligus. Pada teknik pembuatan tenun, umumnya pengikatan itu hanya dilakukan pada benang lungsi atau benang pakan saja.

Kiri: Ucapan selamat datang pada gapuran depan desa (Foto oleh Murni Ridha) | Kanan: Rumah tradisional warga Bali Aga di Tenganan (Foto oleh Nurdiyansah Dalidjo)

Asal Kain Gringsing

“Hanya ada tiga tempat yang membuat (kain ikat ganda) di dunia, (salah) satunya di Bali,” Ibu Mia menegaskan seakan memerintahkan saya untuk segera melihatnya. Selain Bali, Indonesia, dua tempat lainnya adalah India dan Jepang. Sedikit malu karena Ibu Mia adalah seorang warga negara Belgia. Saya menetapkan harus melihat pembuatan kain tersebut pada kunjungan ke Bali berikutnya.

Berlokasi di bagian barat Pulau Bali, adalah Desa Tenganan Dauh Tukad di Kabupaten Karangasem. Desa ini kalah pamor dari Desa Tenganan yang biasa dikunjungi wisatawan, tetapi Ibu Mia mengarahkan saya pada desa ini justru karena fakor sepinya. Bli Wayan, pemandu yang mendapat giliran memandu saya dari pintu depan desa, mengatakan sepinya juga karena sebagian orang sedang berladang dan sebagian lagi ada di dalam rumahnya masing-masing. Panas, katanya. Lebih baik di dalam rumah saja.

Potret masyarakat Bali Aga di Tenganan yang sedang menyiapkan upacara bersih desa (Foto oleh Nurdiyansah Dalidjo)

“Saya mau lihat kain double ikat, Bli!” seru saya setelah Bli Wayan selesai bercerita sedikit tentang masyarakatnya yang Bali Aga. Bali Aga adalah bagian dari komunitas adat di Bali (sub-Suku Bali) yang merupakan penduduk asli dan sebagian besar dari mereka tinggal di kawasan pegunungan.

“Oh, kain gringsing? Tahu, ya? Mari!” Bli Wayan tersenyum lebar.

Dengan antusias, Bli Wayan mengundang saya ke rumahnya, lalu meminta saya duduk di teras. Ia menghilang di balik pintu rumah. Tak lama kemudian, istrinya keluar dan mulai melengkapi alat penenunnya di teras.

Kiri: Bli Wayan menunjukkan kain gringsing | Tengah: Tampilan jarak dekat dari gringsing | Kanan: benang digunakan dalam kain (Foto oleh Murni Ridha)

Teknik Pembuatan

Nyonya rumah duduk dan memasang penahan punggung yang bersambung ke alat tenun. Katanya, agar kain ajeg sepanjang proses penenunan. Padanya, terdapat sebuah kain selendang berwarna cokelat bata dengan corak berwarna hitam dan kuning. Kesan pertama ketika saya melihat kain itu, adalah terpikir polanya yang sederhana dengan warna bernuansa antik. Sekilas tidak tampak istimewa.

Menyiapkan alat tenun untuk menenun kain gringsing (Foto oleh Murni Ridha)

Saya duduk di sebelah istri Bli Wayan, lalu menontonnya menenun. Lama sekali ia menyusun benang, sebelum ia benar-benar menghantam-hantam alat tenun untuk memadatkan benang. Pola kain tenun biasanya diterapkan pada satu arah pada kain, dari atas ke bawah, tetapi pola pada gringsing ini melibatkan sinkronisasi antara pola ke bawah dan juga pola ke samping agar benang bertemu di tempat yang tepat. Tak hanya rumit pada penyusunan pola, tetapi juga pada pewarnaan benang.

Istri Bli Wayang yang sedang menenun kain gringsing (Foto oleh Murni Ridha)

“Semua benang melalui pewarnaan organik. Tetapi, hanya orang-orang tua yang masih mau melakukannya karena prosesnya bau dan berulat-ulat,” nada suara Bli Wayan seakan menyayangkan keadaan tersebut.

Pewarnaan pada kain grinsing juga unik. Warna-warna itu ada yang dibuat di desa lain. Misalnya, warna nila kebiruan gelap berasal dari fermentasi tarum dan warna merah kecokelatan dibuat dari akar mengkudu. Keduanya, dibuat di dua lokasi yang berbeda.

Kiri: Benang-benang kapas yang belum diberi pewarna | Kanan: Untaian benang pewarna alam untuk kain gringsing (Foto oleh Nurdiyansah Dalidjo)

Makna Filosofis

Saya sempat merinding ketika Bli Wayan mengatakan “berulat.” Kalau tidak ada yang mau meneruskan, mengapa harus tetap memilih cara organik?

“Karena hanya yang organik yang bisa menolak bala,” lanjutnya.

Kata “gringsing” sendiri berasal dari kata yang diambil dari bahasa setempat, yaitu “gring” yang berarti sakit dan “sing” yang berarti tidak. Sehingga, kain tersebut berfungsi untuk menolak sakit atau menolak bala.

Tak lama menjelaskan, Bli Wayan kembali berdiri dan masuk ke dalam rumah. Saya ditinggal di teras bersama istrinya yang masih menenun, menatap pola dengan seksama agar tidak salah penempatan.

Aktivitas menenun kain gringsing (Foto oleh Murni Ridha)

“Tulang kelelawar,” istri Bli Wayan menerangkan ketika saya mengangkat sebuah alat berbentuk seperti kuku beruang. “Hanya bisa pakai tulang kelelawar. Tulang lain gampang patah,” lanjutnya. Saya menempatkan tulang tersebut ke dalam tangannya yang menengadah. Tulang itu kemudian digunakan untuk meluruskan benang kusut sekaligus mengatur jarak jalinan pada kain. Saya menonton dan terkesima melihat ketelatenan yang diperlukan untuk memadatkan satu deret benang.

Kain gringsing juga memiliki ragam motif, ukuran, dan fungsi. Motif yang paling sering ditemui adalah corak geometris variasi kawung dan belah ketupat. Gringsing mempunyai motif yang sakral sesuai peruntukkannya. Begitu pula dengan bentuknya yang disesuaikan pada fungsi, antara lain sebagai kemben, selendang, ikat kepala (udeng), maupun dekorasi pada rumah, pura, dan tempat-tempat penting lainnya dalam upacara atau kepercayaan masyarakat setempat. Bagi seseorang, kain gringsing pun punya makna yang sangat personal terkait dengan siklus kehidupan.

Bli Wayan kembali ke luar membawa sebuah album foto. Dibuka-bukanya lembaran album tersebut. Saya bingung, menduga-duga apa yang hendak dia perlihatkan. Bli Wayan berhenti pada halaman dengan foto seorang perempuan remaja yang menggunakan kain gringsing tersebut. Kain itu menutup dada hingga perut dan dipadankan dengan kain bawahan berwarna cerah. Wajah perempuan itu pun telah didandani dengan cantik, lengkap dengan perhiasan berwarna emas pada leher dan sebagian disematkan di rambut. Warna keemasan perhiasan tampak menarik sekali disandingkan dengan kain gringsing.

Foto seorang gadis muda tengah mengenakan kain gringsing sebagai kemben (Foto oleh Murni Ridha)

“Kain ini digunakan masyarakat Bali Aga ketika, istilahnya, akil balik dan harus dipakai ketika upacara adat seumur hidupnya. Satu kain akan jadi milik selamanya.” Bli Wayan menambahkan pembuatan kain ini melalui banyak ritual sepanjang proses pembuatannya. Tidak hanya sekedar teknik yang rumit, tetapi kain gringsing diiringi budaya doa dari mulai mencari kapas untuk benang, memintal, mewarnai, hingga selesai ditenun. Pria yang juga berprofesi sebagai petani itu menambahkan bahwa ada beberapa lembar yang diproduksi tanpa disertai doa tolak bala untuk diperjualbelikan kepada para wisatawan.

Saya kembali melihat-lihat foto dalam album. Beberapa foto memperlihatkan kumpulan perempuan remaja tersipu malu menggunakan kain tersebut. Semua cantik, bahkan dengan lilitan kain yang jumlah warnanya bisa dihitung jari satu tangan. Rupanya yang membuat kain ini menarik, bukan hanya karena digunakan oleh para masyarakat Bali yang tengah sumringah menyambut masa dewasa, tapi juga kecantikan itu mewujud lewat susunan benang yang dijalin doa generasi lalu kepada generasi berikutnya.

Sekumpulan gadis remaja di Tenganan yang sedang mengikuti upacara (Foto oleh Nurdiyansah Dalidjo)

Menyadari betapa rumitnya pembuatannya dan mahalnya harga yang dipasang (sekitar Rp 350 ribu untuk sehelai selendang kecil), saya kembali memikirkan tentang pakaian saya dan ketika saya akil balik. Apa yang saya kenakan saat itu dan apakah saya merayakannya sebagai suatu masa peralihan yang penting? Saya gagal menemukan memori masa itu.

Selama sejam saya duduk di teras Bli Wayan, mungkin Sang Istri hanya berhasil menambah lima barisan benang saja pada kainnya. Keseluruhan selendang kecil itu akan jadi sekitar sebulan lagi, agak cepat daripada biasanya karena diperuntukkan untuk dijual, jadi tanpa harus ada ritual dan doa-doa. Sementara itu, saya hanya menatap nanar tak tega membeli kain yang begitu sulit dibuat, mengetahui saya akan jarang menggunakannya. Meskipun demikian, saya senang mengetahui ada lagi kain menarik yang menambah daftar kain tradisional dan menjadi bagian dari cantiknya budaya Indonesia, bahkan dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Saya kemudian pamit kepada istri Bli Wayan dan kembali melanjutkan tur melihat desa Bali Aga tersebut. Sambil mendengar kisah-kisah ritual dari Bli Wayan, saya diam-diam berdoa agar kelak bisa kembali untuk mengetahui lebih banyak tentang Desa Tenganan Dauh Tukad yang dibalut kain gringsing.

Sesaji berupa aneka bunga yang dipersembahkan kepada tuhan atau dewa-dewi dan leluhur (Foto oleh Nurdiyansah Dalidjo)

Murni Ridha bekerja sebagai penulis lepas. Ia telah mulai menulis cerita perjalanan dan menggemari pengonsepan konten sejak 2009 melalui blognya, Indohoy.com. Dalam beberapa tahun terakhir, ia juga terlibat aktif dalam pengembangan konten promosi pariwisata, termasuk Wego dan IWasHere. Dengan blogging, perempuan yang akrab disapa Mumun itu, mengaku telah memperkaya pengetahuannya terhadap perspektif yang berbeda tentang negara-negara yang dikunjungi, termasuk Indonesia. Dan ia memiliki kelemahan pada perjalananan berkeliling Indonesia ketika ditemuinya kain-kain dengan beragam teknik, pola, dan cinta yang dimiliki orang-orang terhadap tradisi kain tradisional maupun kain adat mereka.

--

--

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita

Telling stories through the indigenous and traditional textiles of Indonesia.