(Foto: Annas Radin Syarif / AMAN)

Kesederhanaan pada Sehelai Kain

Filosofi Kajang dalam Menjaga

Cass Grant
Kain Kita
Published in
10 min readNov 25, 2019

--

Oleh Nursida

Saya adalah perempuan adat.

Saya mewakili generasi pemuda adat. Saya adalah penenun. Saya adalah bagian dari Masyarakat Adat Kajang.

Saya (paling kanan) berkumpul bersama dengan para penenun Kajang. (Foto: Nursida)

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengetahuan dan juga pandangan mengenai Masyarakat Adat Kajang dan juga tradisi tenun yang kami miliki secara turun temurun. Tenun memainkan peran penting yang merekam filosofi kami. Ada sebuah prinsip yang melekat. Orang Kajang bilang:

Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’lingkako nu kamase-mase, a’meako nu kamase-mase.

Artinya, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara pun engkau sederhana. Bagi kami, kesederhanaan punya makna yang mendalam dan mendasari kehidupan kami sebagai Masyarakat Adat Kajang.

Mengenal Kajang dan Hutan Adatnya

Komunitas Adat Ammatoa Kajang terletak di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan. Kehidupan kami sehari-hari bergantung dari kelestarian hutan. Hampir seluruh kebutuhan hidup kami berasal dari hutan di wilayah adat kami. Rumah-rumah kayu kami berasal dari pohon yang kami tanam dan rawat sendiri. Begitu juga dengan apa yang kami makan. Semuanya bersumber dari ladang dan sungai yang kami kelola bersama dengan hutan yang terus kami jaga.

Dalam mengelola hutan, kami memiliki prinsip yang kami pegang teguh. Dalam bahasa Kajang, kami bilang: “Jagai linoa lollon bonena nasaba injo boronga pallekona linoa.” Prinsip itu dapat diterjemahkan sebagai suatu keharusan bagi kami untuk menjaga hutan yang kami anggap selayaknya “selimut dunia.” Leluhur kami berpesan bahwa kami dilarang menanam di dalam hutan. Sebab, kelak di kemudian hari, kami tak ingin orang yang menanam itu mengklaim hasil dari apa yang ditanamnya dan malah menimbulkan peluang pada konflik atau hutan yang dapat rusak.

Bagi Masyarakat Adat Kajang, hutan terbagi ke dalam dua macam, antara lain Borong Karamaka (Hutan Keramat) dan Borong Battasaya (Hutan Batas). Hutan keramat merupakan hutan terlarang yang fungsinya hanya untuk ritual adat Andingingi atau mendinginkan bumi. Tentang itu maupun ritual adat lainnya terkait Hutan Keramat, ada pantangan bagi kami untuk tidak menuliskan atau mempublikasikannya. Sementara itu, hanya orang-orang tertentu atau mereka yang dituakan saja yang boleh memasuki Hutan Keramat. Sedangkan Hutan Batas sendiri, adalah kawasan hutan yang diperbolehkan bagi kami untuk mengambil kayu atau menebang pohon sesuai dengan kebutuhan dan syarat-syarat tertentu yang sudah diatur dalam hukum adat kami.

Meski begitu, seperti halnya wilayah adat lain di Indonesia. Ancaman kehilangan wilayah adat maupun tantangan pada potensi konflik, justru bisa timbul dari Pemerintah Indonesia sendiri terkait dengan klaim dan tumpang tindih kawasan dengan izin-izin yang diberikan kepada perusahaan (konsesi) untuk perkebunan dan pertambangan. Dari situlah, persoalan dapat timbul, mulai dari persekusi hingga kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat dalam mengakses hutan adatnya.

Tahun 2016 lalu, perjuangan kami dalam mempertahankan wilayah adat akhirnya berbuah manis. Hal tersebut terwujud pada Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan №6746/MENLHK-PSKL/ KUM.1/12/2016 tentang Penetapan Hutan Adat Ammatoa Kajang dengan luas mencapai 313,99 hektar. SK itu terbit tak lama setelah Masyarakat Adat Kajang bersama AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), organisasi masyarakat yang berbasiskan pada anggota komunitas adat di Indonesia, memperjuangkan keluarnya Peraturan Daerah (Perda) №9 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Pangukuhan, dan Perlindungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, Presiden Joko Widodo resmi menetapkan dengan menyerahkan langsung Surat Keputusan (SK) kepada Labbiria Adat Kajang A Buyung Saputra. (Foto: Tribun Bulukumba)

Kesederhanaan Atas Kemakmuran

Masyarakat Adat Kajang memang identik dengan kesederhanaan. Kehidupan kami bisa dikatakan jauh dari modern. Gaya hidup atau penampilan kami sangat berbeda dari orang-orang yang tinggal di perkotaan. Warga Kajang atau siapa pun yang bertamu di wilayah adat kami, harus mengenakan pakaian berwarna hitam dan tidak boleh menggunakan alas kaki. Kami sendiri sebagai bagian dari Masyarakat Adat Kajang hanya memakai pakaian yang kami tenun sendiri.

Hitam adalah warna yang menyimbolkan kesederhanaan dan kebersahajaan. Semua orang memakai baju dan warna yang sama sebagai wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Dan bagi kami, tidak ada warna hitam yang lebih baik dari yang lain. Semuanya dianggap sama. Itu menandakan kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turie Ara’na (Sang Pencipta).

Seorang penatua Kajang mendemonstrasikan pemakaian penutup kepala dan pengesahan pengetahuan kepada generasi berikutnya. (Foto: Annas Radin Syarif / AMAN)

Kesamaan itu pun bukan hanya dalam wujud lahir, tetapi juga dalam menyikapi keadaan lingkungan, terutama hutan kami. Sehingga, dengan kesederhanaan yang demikian, kami tidak dimungkinkan untuk memikirkan atau memperoleh sesuatu yang berlebih dari hutan. Hutan harus kami jaga kelestariannya. Bagi kami, tidak ada kemakmuran di kawasan adat Ammatoa (anre kalumanynyang kalupepeang, Rie’ Kamase-masea), melainkan hanya kebersahajaan. Bahkan, ada pepatah yang biasa kami ucapkan:

Punna kalumanyyang kalupepeang ngasei taua rilino nuribokoa kalumanyyang Ammatoa.

Itu berarti kalau terdapat keharusan bahwa semua manusia di dunia ini harus kaya, maka yang terakhir kaya adalah Ammatoa (pemimpin adat). Hal tersebut mencerminkan pandangan hidup Ammatoa yang menganggap kehidupan ideal itu adalah kehidupan yang sederhana (cukup). Kemakmuran bukanlah nilai dari kehidupan kami sebab makmur diartikan sebagai kehidupan yang berkelebihan.

(Foto: Annas Radin Syarif / AMAN)

Tradisi Tenun Kajang

Kami menyebut tenun dengan attanung’ dalam bahasa kami. Budaya menenun merupakan warisan leluhur Masyarakat Adat Kajang yang hingga kini masih dilakukan oleh perempuan. Perempuan adat Kajang akan dikatakan dewasa dan siap menikah apabila sudah mahir menenun. Alat-alat dan bahan yang digunakan untuk menenun diambil dari Hutan Batas. Begitu pun dengan pewarna hitam yang terbuat dari tanaman indigofera yang kami sebut dengan tarung (tarum atau nila atau indigo). Tarung biasanya kami tanam di pinggir hutan atau di kebun sendiri yang berada dekat dengan rumah. Tentu saja, ada ritual-ritual khusus yang perlu dilakukan untuk mengambil sesuatu dari hutan, termasuk kayu atau materi lain untuk kegatan atau pembuatan tenun pertama yang hendak dilakukan oleh anak perempuan.

Daun indigo digunakan untuk mewarnai dan rumah-rumah tradisional di desa Kajang. (Foto: Annas Radin Syarif / AMAN)

Saat ini, diperkirakan ada sekitar dua ribu orang dewasa yang menjadi warga adat di Kajang. Dari jumlah itu, lima ratusan perempuan yang masih aktif dalam proses menenun dengan pewarna alam. Hal itu sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa perempuan mewarisi kepandaian dalam membuat pewarna alam dan bertenun. Meski tak sedikit anak perempuan dan pemuda perempuan yang mengikuti sekolah modern dan pergi ke kota, namun keterampilan tenun hampir dimiliki oleh setiap perempuan Kajang.

Saya sendiri berkuliah di kota dan kini bekerja di Bogor dan Jakarta, tetapi kalau pulang kampung, saya selalu menenun bersama kerabat dan teman-teman perempuan saya. Menenun adalah bagian dari identitas saya sebagai perempuan adat Kajang.

Filosofi dan Proses Pembuatan Tenun Kajang

Seperti telah saya singgung, Masyarakat Adat Kajang memegang teguh hidup sederhana dalam berpakaian dengan warna hitam hitam (tope le’leng). Warna hitam itu bersumber dari pewarna alam nila yang kami buat dengan tambahan ramu-ramuan yang difermentasi, sehingga menghasilkan warna biru pekat yang nyaris hitam.

Selain berupa helaian kain tenun, ada juga kain tenun yang kami jahit berupa sarung. Sarung dipakai sehari-hari sekaligus menjadi syarat dalam upacara-upacara adat. Ada juga ikat kepala (passapu) yang juga ditenun. Di Kajang, pria-perempuan dan tua-muda memakai tenun hitam yang sama.

Kiri: Penatua Kajang mengenakan sarung dan penutup kepala. | Kanan: Perempuan di desa Kajang. (Foto: Annas Radin Syarif / AMAN)

Tenun Kajang masih dibuat dengan alat tenun duduk dengan teknik tenun sederhana. Pada kreasi tenun kontemporer sekali pun kami masih menggunakan benang kapas dengan warna nila kehitam-hitaman. Hanya saja, kami kerap membubuhkan sedikit corak berupa garis-garis sederhana menggunakan benang warna pabrik. Hiasan motif itu hanya sebagai penghias dan tampak sangat samar agar tidak menghilangkan makna kesederhanaan.

Saat ini, kain tenun bukan hanya punya fungsi sakral dan tradisi, namun juga menjadi aset keluarga. Maksudnya, kain tenun selalu dipersiapkan untuk dibawa kepada pihak keluarga mertua apabila anak gadis menikah di kemudian hari. Perempuan Kajang harus mahir menenun sebelum dewasa sebab itu menjadi salah satu syarat untuk berkeluarga. Perempuan di kampung juga menguasai keterampilan dalam berkebun, memasak, dan sebagian ada yang pandai berdagang.

Menurut kami — para perempuan Kajang — menenun adalah ikatan batin. Maka, tanpa diminta untuk belajar bertenun, anak perempuan sejak kecil akan meminta sendiri untuk mulai menenun. Begitu juga ketika kelak perempuan Kajang tumbuh dewasa, tak ada paksaan untuk ia harus terus menerus bekerja sebagai penenun. Jadi, ikatan batin itulah yang sesungguhnya membuat peran perempuan adat sebagai penenun, sangat strategis di kampung.

Kiri: Jaho (kanan) dan Umang (kiri) sedang berduet dalam menenun di kolong rumah. | Kanan: Saya sedang menenun di kampung. (Foto: Nursida)

Saya sendiri banyak menghabiskan waktu di luar Kajang atau di kota untuk menempuh pendidikan dan bekerja. Tapi, setiap kali pulang di masa liburan, alat-alat tenun (suru’) warisan nenek, adalah hal pertama yang saya cari. Saya menenun di halaman rumah. Nenek saya sudah tua dan matanya pun telah rabun, jadi saya dan adik-adik perempuanlah yang biasanya meneruskan aktivitas tenun di rumah.

Meski begitu, perempuan-perempuan lansia masih banyak yang cekatan dalam menenun. Tangan-tangan, terutama jari kuku mereka, umumnya berwarna kehitaman sebagai penanda bahwa mereka masih aktif melakukan proses pembuatan warna alam untuk tenun.

Jaja Sumigi’, seorang penenun senior di Kampung Kajang, sedang menenun di bawah rumah adat. (Foto: Nursida)

Proses pewarnaan

Proses pewarnaan bukanlah tahapan yang mudah. Dibutuhkan waktu dan kerja yang panjang untuk membuatnya. Itu dimulai dari memanen daun tarum sebanyak dua sampai tiga karung (10–30 kilogram). Kemudian, daun-daun itu direndam air sebanyak 10–20 liter. Selama satu sampai dua hari, rendaman perlu diperas serta dicampur kapur (aporo) dan air fermentasi arang (ahu’). Lalu, ramuan diendapkan lagi satu malam.

Pewarna alam indigo yang telah dicampur ramuan dan difermentasi. (Foto: Nursida)

Pelan-pelan, air yang tampak jernih dari rendaman itu dibuang dan bagian yang kental dipindahkan ke wadah atau tempayan yang terbuat dari tanah liat. Jika seluruh proses dilakukan dengan benar, akan tampak warna biru pekat kehitaman. Nenek saya menyebutnya tekke yang kemudian dipakai untuk merendam benang-benang kapas.

Proses perendaman benang dilakukan berulang-ulang selama dua sampai tiga jam setiap subuh dan sore selama 14 hari. Benang-benang yang direndam itu terus dicuci dan dikeringkan, lalu direndam lagi dan terus berulang sampai warna hitam yang diinginkan, akhirnya muncul.

Proses penjemuran benang-benang yang telah direndam warna. (Foto: Nursida)

Setelah pewarnaan, benang-benang berwarna pekat itu akan dipintal (nipaturung). Untuk membuat satu sarung tenun, dibutuhkan waktu dua hari untuk mempersiapkan benang-benang. Proses selanjutnya adalah memasukkan atau menyusun benang-benang ke alat tenun (ngane). Tahapan tersebut banyak dilakukan oleh perempuan muda karena membutuhkan ketajaman penglihatan. Proses itu membutuhkan waktu satu hari. Tetapi, tak boleh dilakukan kalau ada kabar duka. Setelah ngane selesai, barulah aktivitas menenun dimulai.

Alat-alat yang digunakan dalam proses pemintalan (nipaturung) dan Jaja Sadi‘ menyiapkan benang pada alat tenun (ngane). (Foto: Nursida dan Annas Radin Syarif / AMAN)

Biasanya, pada hari pertama menenun, benang-benang akan terasa kasar, sehingga perlu dibubuhkan pelembab yang terbuat dari nasi basi yang dibuat jadi mirip krim lotion. Adonan nasi basi (pati) itulah yang dibubuhkan dengan sisir yang terbuat dari sabut kelapa, sehingga punya fungsi melicinkan sekaligus merekatkan benang-benang.

Aktivitas menenun pun jadi semakin lincah. Dibutuhkan waktu dua sampai empat minggu untuk menghasilkan satu kain tenun yang bisa dibuat jadi sarung. Setelah selesai ditenun, kain dicuci bersih, lalu dijemur dan dihentakkan menggunakan alat berat ukuran sekitar lima kilogram untuk membuatnya lurus.

Kiri: Menggosok kain (garusu) | Kanan: Tampilan dekat tope le’leng yang sudah jadi. (Foto: Gerai Nusantara / AMAN)

Keunikan lain dari tenun Kajang adalah aksen hitam yang mengkilat. Biasanya, setelah kain-kain selesai ditenun, kami akan menggosok kain dengan batu karang. Penggosokan ini disebut garusu dan proses itulah yang memberikan kesan berkilau dari kain tenun kami. Khusus untuk penggosokan, boleh dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Penggosokan biasanya membutuhkan waktu satu hari untuk satu helai kain. Mereka yang terbiasa dan punya fisik kuat, bisa menggosok dua helai kain dalam sehari. Usai menuntaskan tahap garusu, kain pun siap dijahit, lalu dikenakan atau disimpan.

Para penenun Kajang dan anggota Koperasi Turikale. (Foto: Nursida)

Koperasi Tenun

Saat ini, kami para perempuan penenun sudah memiliki koperasi yang menampung dan mendistribusikan kreasi tenun-tenun Kajang yang kami buat. Penjualan kain-kain tenun diperbolehkan sesuai kebutuhan saat ini untuk ditukar dengan uang. Tenun punya nilai ekonomi. Biasanya, uang-uang hasil penjualan kain tenun itu lebih banyak digunakan untuk biaya sekolah anak.

Koperasi tersebut kami dirikan tahun 2015 lalu dan prosesnya difasilitasi oleh AMAN. Nama yang kami musyawarahkan untuk koperasi adalah Turikale. Kata “turikale” dalam bahasa Kajang berarti keluarga dekat. Awalnya, Koperasi Turikale hanya beranggotakan 20 perempuan, tapi jumlahnya semakin hari kian bertambah.

Para perempuan penenun pun bekerja dengan AMAN untuk bisa mengembangkan pemasaran tanpa mengubah nilai-nilai adat kami. Proses tenun juga tak berubah dan seluruh bahan masih kami peroleh dari hutan adat kami. AMAN melalui Gerai Nusantara — outlet yang menjadi penghubung untuk produk-produk dari Kajang dan Masyarakat Adat lainnya — boleh mengembangkannya menjadi bentuk yang berbeda, seperti tas atau baju.

Kiri: Warung Koperasi Turikale. | Kanan: Barang siap pakai yang dirancang oleh Gerai Nusantara. (Foto: Nursida dan Gerai Nusantara)

Perempuan adat Kajang juga pernah menerima bantuan dari Dinas Pariwisata setempat. Kami diberikan sekitar 40 paket alat tenun. Kami sangat menghargai dukungan tersebut. Tapi sayangnya, banyak perempuan penenun di Kajang tidak merasa puas menenun dengan perkakas pemberian pemerintah setempat karena kualitas hasilnya tak sebagus dengan perkakas tenun tradisional kami.

Lagipula, dengan menggunakan perkakas tenun kami sendiri yang berasal dari hutan adat kami, membuat kami punya keterikatan untuk meneruskan amanah leluhur (pasang), yaitu menjaga hutan sebagai selimut dunia.

Nursida adalah perempuan adat Kajang sekaligus penenun. Nursida kini tinggal dan bekerja di Kota Bogor dan Jakarta. Namun, ketika ia pulang ke kampung halamannya di Kajang, ia kembali bekerja sebagai penenun.

--

--

Cass Grant
Kain Kita

Sydney born, Phnom Penh based, nusantara made.