Penenun Toraja menenun (Foto: Nurdiyansah Dalidjo)

Tenun dari Negeri di Awan

Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita
Published in
7 min readApr 2, 2019

--

Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Selalu ada yang menarik untuk mengeksplorasi masyarakat adat Toraja yang tinggal di pucuk-pucuk dataran tertinggi di Sulawesi Selatan. Di masa lalu, penduduk Bugis menamakan mereka dengan sebutan “to-riaja” yang berarti orang-orang yang mendiami negeri di atas.

Selain alam yang memanjakan mata dengan panorama perbukitan kars-nya, Toraja juga memiliki keunikan tradisi dan budaya. Di sanalah kita dapat melihat Tongkonan sebagai bagian dari sistem kekerabatan yang hadir dalam bentuk rumah besar. Atapnya serupa bahtera yang membumbung tinggi. Tanduk kerbau dan rahang babi menjadi dekorasi. Dindingnya pun penuh dengan ukiran tangan yang menyimpan banyak teka-teki.

Foto: Cassandra Grant

Tongkonan adalah semesta atau mikrokosmos bagi orang Toraja. Kalau mau tahu segala sesuatu dari Toraja, harus melihat Tongkonan,” ungkap Arnold, pemuda lokal yang sekaligus pula bekerja sebagai guru. Ia juga menyinggung tentang agama asli masyarakat adat Toraja, yaitu Aluk To Dolo yang terkait dengan seluruh kehidupan masyarakat di sana, meski sebagian besar mereka kini penganut Kristen.

Foto: Cassandra Grant

Dari kejauhan, panorama pegunungan atau perbukitan tampak dikelilingi rimbun pepohonan hijau. Sekumpulan awan dan kabut menyelimuti pemandangan pada pagi hari. Tetapi begitu siang tiba, ada yang lain saat kita melihatnya lebih dekat. Di antara cerug-cerug gua di bukit berbatu itulah tersimpan jasad leluhur yang telah abadi. Rumah peristirahatan terakhir bagi para leluhur dan mereka yang mati. Adalah suatu kehormatan bagi orang Toraja untuk merayakan kematian dan membaringkan tubuh anggota keluarga dan kerabat di tempat yang tinggi. Upacara dan pesta Rambu Solo’.

Kuburan tua di bukit berbatu (Foto: Nurdiyansah Dalidjo)

Masyarakat Toraja percaya bahwa hewan yang dikorbankan pada ritual Rambu Solo’, terutama kerbau, akan menjadi kendaraan bagi arwah orang mati menuju dunia para roh. Selain ratusan, bahkan ribuan ekor persembahan (kerbau, babi, ayam, dan lainnya), kain tenun juga menjadi bagian penting dalam keseluruhan rangkaian upacara besar tersebut.

Salah satu kain tenun ikat yang sakral itu memiliki warna dominan oranye terang dan biru. Motif geometris bercorak belah ketupat, anak panah, dan wajik (diamond shape), menghiasi helai kain. Corak itulah yang merepresentasikan atau mengabstraksikan leluhur Toraja. Namanya Rongkong dan Galumpang.

Kedua nama itu bisa jadi berbeda di tempat lain mengingat kini masyarakat adat Toraja di Sulawesi Selatan terbagi secara administratif ke dalam beberapa kabupaten. Selain Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara, Rongkong dikenal dan umum dibuat di Kabupaten Luwu, sementara Galumpang di Kabupaten Mamuju. Penamaan kain tenun di Toraja tak selalu menegaskan nama motif, tetapi dapat pula merujuk pada tempat, teknik pembuatan, dan fungsi. Menurut Suwati Kartiwa, (2007) Rongkong dan Galumpang digunakan sebagai porisitutu atau penutup (peti) jenazah.

Foto: Nurdiyansah Dalidjo

Karena Rambu Solo’ membutuhkan persiapan (dan biaya) besar, maka orang Toraja memiliki tradisi menyimpan dan mengawetkan tubuh orang mati dengan ramuan tertentu dan membebat jasadnya dengan berlapis-lapis kain tenun selama menunggu waktu bagi keluarga mengumpulkan segala kesiapan. Selain memiliki makna spiritual, kain-kain yang terbuat dari benang kapas dan pewarna alam itulah yang sesungguhnya menjadi material utama mumifikasi.

Jasad yang belum diupacarakan dianggap sebagai “orang sakit.” Ia ditempatkan di dalam rumah dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti diajak mengobrol dan diberikan kopi atau hidangan. Persiapan Rambu Solo’ bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Hanya perempuan yang menenun kain di Toraja. Mereka mewarisi keterampilan dan pengetahuan yang diajarkan oleh nenek atau ibu. Sejak kecil, anak-anak perempuan telah dilibatkan dalam proses pembuatan kain, dimulai dari merajang kapas atau menggulung benang. Sedikit demi sedikit mereka belajar tahapan kompleks dari menenun. Menenun adalah aktivitas penting dan dihormati oleh orang Toraja.

Foto: Nurdiyansah Dalidjo

Di Sa’dan, salah satu kecamatan di Toraja Utara yang dilintasi oleh sungai besar dengan nama yang sama, para penenun — tua maupun muda — masih aktif menenun kain dengan perkakas tradisional (di Jawa dan Sumatera disebut gedogan/pelantai). Ada dari mereka yang menenun secara berkelompok di Tongkonan (rumah besar) atau di kolong alang (lumbung padi). Tentu saja terdapat kesamaan atau kemiripan antara motif pada Tongkonan dan kain tenun yang saling menginspirasi.

Tidak hanya untuk kebutuhan sendiri dan upacara, kain juga dijual sebagai sovenir bagi wisatawan. Kain buatan perempuan-perempuan adat di Sa’dan pun telah dikenal dalam industri fesyen, salah satunya Toraja Melo. Menenun menjadi kegiatan yang mengalami transformasi terkait ekonomi. Selain masih dianggap sebagai kegiatan spiritual, menenun turut menopang pendapatan keluarga, termasuk biaya sekolah anak.

Pada awalnya, kain tenun ikat Toraja menggunakan benang kapas pintal tangan serta pewarna alam yang ditanam di sekitar kebun/ladang dan hutan. Salah satu pewarna itu adalah tanaman indigo atau tarum yang menghasilkan warna biru. Pewarna lain yang sering digunakan adalah akar mengkudu dan kunyit. Tetapi jauh ke masa yang lebih lampau, Toraja mengenal warna hitam yang pewarnaannya menggunakan daun bilangte dan lumpur (mud-dyeing). Lumpur yang dimaksud adalah kubangan kerbau di sawah atau ladang. Menurut seorang warga Toraja, proses pewarnaan akan lebih baik jika kubangan itu telah bercampur dengan air kencing atau kotoran kerbau yang akan mengunci warna. Pote adalah sebutan untuk kain tenun berupa kerudung atau ikat kepala yang pewarnaannya menggunakan lumpur. Kain berwarna gelap itu dipakai oleh kerabat orang mati yang telah diupacarakan sebagai simbol berkabung.

Kini di Sa’dan terdapat beragam warna, teknik, dan motif kain tenun. Variasi kain terus berkembang seiring dengan perubahan. Bagi penenun di sana, kain tenun merupakan wujud dari kebebasan ekspresi dan mewakili selera seni individual perempuan adat. Secara tradisional, tenun juga menegaskan otoritas terhadap Tongkonan dan wilayah kelola kolektif perempuan adat di ladang atau hutan di mana tanaman kapas dan pewarna alam ditanam.

Maa’ engan motif yang terinspirasi dari kain Patola (Foto: Nurdiyansah Dalidjo)

Corak teknik dan motif kain tenun Toraja yang dikreasikan oleh kelompok perempuan adat di Sa’dan, terdokumentasikan dengan baik pada dua publikasi Toraja Melo yang berjudul Untanun Katuoan: Cerita Kehidupan Sehari-hari Penenun Sa’dan Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia (2014) dan Untanun Kameloan: Wastra Toraja, Mamasa, Kalumpang, Rongkong, Sulawesi, Indonesia (2014).

Aktivitas menenun sempat mengalami keterpurukan di Sa’dan. Arus modernisasi dan semakin banyaknya orang Toraja yang merantau ke kota-kota besar membuat pemakaian kain tenun tak lagi diminati. Peralihan dari material benang kapas pintal tangan dan pewarna alam ke benang-benang pabrikan yang berwarna sintetis, awalnya menjadi alternatif pilihan untuk menenun dengan waktu yang lebih mudah dan cepat serta menghasilkan kain dengan harga yang relatif terjangkau. Turis-turis mancanegara adalah para pembeli kain tersebut. Maka peristiwa krisis di tahun ’98 dan Tragedi Bom Bali turut membuat kondisi tenun melesu. Toraja Melo kembali membangkitkan gairah itu dengan memulai kerja-kerja pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan adat di Sa’dan tahun 2008.

Kini, seiring dengan pesatnya pertumbuhan pariwisata, wisatawan domestik dan mancanegara dapat kembali menikmati pesona kain-kain tenun kreasi perempuan Toraja. Di Sa’dan kita dapat menemukan, bukan hanya kain tenun ikat Rongkong dan Galumpang, tetapi pula kain dengan teknik sederhana (plain weave with warp-float patterning) dengan corak garis warna-warni, antara lain Parramba’, Pamiring, Pa’bunga-bunga, Mata Papa’, dan lainnya. Ada juga Maa’ yang berbentuk persegi panjang dengan motif serupa kain Patola dari India serta Sarita yang berukuran panjang dengan motif yang menampilkan sosok leluhur, hewan ternak, dan corak geometris pada Tongkonan. Kedua jenis kain itu dibuat dengan teknik lukis tangan dan cap kayu atau bambu (resist dyeing, hand painting, and dyeing with bamboo/wood stamps).

Salah seorang tokoh seniman kain tenun itu adalah Nenek Panggau. Wajahnya penuh kerutan halus. Tanpa kacamata, sepasang matanya masih cekatan memintal benang kapas dan menenun. Ketika ditanya berapa usianya, ia dengan enteng akan menjawab 80 tahun, tetapi ia lupa tahun berapa ia lahir.

Nenek Panggau. (Foto: Cassandra Grant)

“Anak nenek yang pertama sudah mulai belajar pintal benang kapas. Tapi ia belum lancar dan masih putus.” Maksudnya masih sering memutuskan benang saat proses memintal gumpalan kapas menjadi benang. “Saya bilang ini kalau besok atau nanti saya mati, punahlah ini (keterampilan)!” katanya. Anaknya yang ia maksud itu pun telah berusia separuh abad.

Apa yang dikatakannya menegaskan harapan terhadap kondisi tenun Toraja ketika perempuan-perempuan adat — tua dan muda — di Sa’dan kembali mau terus belajar ketika terbuka peluang pada berbagai akses dan dukungan.

***

Referensi:

Achjadi, Yudi dan Kusakabe, Keiko (2014) Untannun Kameloan: Wastra Toraja, Mamasa, Kalumpang, dan Rongkong, Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan: Yayasan Toraja Melo.

Jusuf, Dinny, dan Melati, Trisa (2014) Untannun Katuoan: Cerita Kehidupan Sehari-hari Penenun Sa’dan, Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan: Yayasan Toraja Melo.

Kartiwa, Suwati (2007) Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

--

--

Kain Kita (Kain by Indonesia)
Kain Kita

Telling stories through the indigenous and traditional textiles of Indonesia.