An Untold Gratitude (Letter)

Rama Wulan
kakinetik
Published in
2 min readApr 1, 2020
Photo by Cathryn Lavery on Unsplash

Sejak sebulan lalu, kamu belajar rutin menuliskan benang-benang kusut dalam kepalamu menjadi buah pikiran dalam tulisan. Tulisan dalam sebuah halaman yang aku ingat nama alamatnya. Ya, aku mengingat alamatnya sejak pertama kali menemukannya dalam mesin pencarianku.

Kalau kamu tanya siapa saja yang membaca tulisanmu, maka dengan lantang aku ingin bercerita bahwa aku adalah salah satu orang paling menunggu ceritamu. Tapi tidak, aku lebih ingin kamu menulis semuanya dengan organik, tanpa tau bahwa aku (salah satu) pembacanya, membiarkanmu membagikan beberapa hal dari pikiranmu, karena aku yakin tidak semuanya kamu bagikan kan?

Kalau saja kamu bertanya apa yang ingin aku sampaikan, aku akan bilang rasa terima kasihku, sudah membiarkan aku (dan juga orang lain tentunya) tenggelam dalam alur berpikirmu. Berlayar pada arus-arus dan ombak yang kamu mainkan pada setiap kalimat yang kamu tuliskan dalam lautan kata-kata.

Entah kamu adalah salah satu yang membuatku jatuh hati dengan cara menunggu tulisanmu. Dengan cara seperti ini aku tidak perlu bertanya tentang apa yang kamu pikirkan, apa yang kamu rasakan, apa yang sedang kamu inginkan untuk dikerjakan. Cukup dengan membaca tulisanmu, maka aku akan sedikit tau tentang kabarmu, tentang perasaanmu.

“as a futurist, I see history, to make action in present”

itu kata-kata dalam laman pembukanya kan? aku menyukainya. Aku selalu berimajinasi pada tulisan-tulisanmu. Aku membaca beberapa rencanamu, membaca bagaimana caramu menyelesaikan hal-hal yang harus segera dituntaskan.

Mereka bilang aku bodoh? mungkin. Karena aku sendiri membiarkan diriku berlama-lama membaca tiap kalimat yang kamu tuliskan pada rumahmu, menerka apa yang akan kamu lakukan selanjutnya dengan rencana-rencanamu.

Kalau kamu tau bagaimana perasaanku, bagaimana pikiranku padamu, ya selanjutnya itu terserah padamu. Aku cukup paham bagaimana konsekuensi atas perasaan yang sedang jatuh hati dengan cara demikian. Aku cukup bertanggung jawab dengan perasaanku sendiri. Kamu kepadaku? itu urusanmu, sebab sudah sejak lama aku mulai pandai mengatur ekspektasi atas keputusan yang aku ambil, termasuk urusan perasaan.

Namun, aku tetap berterima kasih kepadamu (meski tak kusampaikan secara langsung), kepada tulisanmu yang membakar rindu menjadi sebuah semangat, bahwa kamu akan bangkit, bahwa ekspektasiku juga tidak akan bikin aku jatuh sakit, nanti kita akan bisa bertemu dalam situasi yang tidak lagi rumit, meski aku tau mungkin sedikit sulit.

Tapi kalau nanti kamu bilang kamu punya rasa yang sama, bisakah nanti kita bicarakan dengan menyeduh teh di sore hari bersama-sama? mendengarkan nyanyian alam dalam sebuah irama, dalam hitungan waktu yang kita rasa cukup lama bersama.

Lalu aku ingat kembali, ini hanya ‘An Untold Gratitude’.

--

--

Rama Wulan
kakinetik

I give my dreams a strength called faith, a power called hope, and an energy called spirit.