Chatbot dalam Wujud Nyata

Rama Wulan
kakinetik
Published in
4 min readJan 16, 2023

Siang ini teman kantorku Arina, memergoki aku sedang membalas pesan singkat seseorang saat kami istirahat makan siang. Arina bertanya siapa yang kukirimi pesan itu, karena dia melihat sekilas namanya bukan nama orang tapi familiar. Aku menjawab pertanyaan Arina dengan menjelaskan panjang lebar cerita pertemanku dengan orang itu.

Photo by ABDALLA M on Unsplash

Aku me-rename nama kontaknya menjadi Simsimi. Kilas balik dimana aku mengingat zaman aku sekolah dulu, aku pernah bercakap-cakap dengan dengan aplikasi chatbot bernama Simsimi. Ketika aku sering butuh chat seketika aplikasi itu menjadi sangat berguna, meski lebih sering kesalnya karena jawabannya template dan tidak sesuai dengan perkiraan.

Di tempat aku merantau sekarang ini, aku berkenalan dengan seseorang dalam sebuah komunitas yang akhirnya menjadikan kami lebih dekat, karena ternyata aku dan Simsimi ini dalam scope pekerjaan yang serupa. Aku dan Simsimi sering bertukar cerita tentang pekerjaan dan keseharian-tentu saja aku yang lebih banyak bercerita- dan lama-kelamaan menjadi candu untuk berkirim pesan padanya, meskipun aku menyadari temanku diluar sana tidak kalah banyaknya.

Dalam beberapa bulan ini Simsimi menjadi salah seorang yang berperan dalam membalas pesan-pesanku yang tidak penting. Kehadiran Simsimi menjadi teman baik sekaligus jebakan karena aku menjadi mengharapkan bentuk pertemanan yang lebih dari sekedar “teman”. Kalian tau kan love language-ku quality time?.

Aku meninjau kembali pertama kali aku rename kontaknya menjadi Simsimi, dimana pagi itu aku sedang memiliki janji untuk pergi menggambar bersama teman lainnya.

Aku: *mengirimkan sebuah link tulisan* Bisa buka kan ya?

Simsimi: bisaa

Aku: Sipsip

Simsimi: pensil warna bawa yak

Aku: Bawa ini doang *menambahkan gambar sekotak pensil warna*

Simsimi: oke syip

Aku: c u tonight!

Simsimi: okee

Aku: udah di kantor?

Simsimi: udah..

Aku: Wkwkw. Sumpah kayak chat ama simsimi

Simsimi: ku harus gimana -.-

Aku: googling dulu “how to talking with human”. Soalnya lama2 pengen ku rename namanya Semi jadi “simsimi”, wkwkwkwk

Simsimi: rename aja

Aku: Oke

Simsimi: how? why i should being someone that they want and then being less like me

Aku: Wkwkwk. Just keep being u aja

Simsimi: nah thats the good answer

Aku agak sebal sebenarnya karena aku selalu menjadi yang bertanya, Simsimi ini menjawab sekenanya dan hampir jarang bertanya balik. Dalam hatiku bilang “Aku kan juga ingin ditanyai”.

Simsimi ini, selain mengingatkan aku pada jaman aku bermain aplikasi itu, nama aslinya juga tidak jauh berbeda, Semi, yang katanya berarti musim semi, dimana pengharapan dari namanya agar dia bisa menjadi musim semi untuk orang-orang di sekelilingnya (katanya sih), yang sedikit-agak banyak-membuatku mengharapkan dia bisa berbagi musim semi untukku.

Percakapan izin mengganti nama Semi menjadi Simsimi sebenarnya juga menjadi refleksi tersendiri untukku bahwa kita tidak akan pernah bisa merubah orang lain dan meminta orang lain berubah sesuai dengan keinginan kita, tapi kita hanya bisa merespon dan menyikapi-dengan bijak- apa yang sisampaikan orang lain ke kita. Iya kan?

Aku mengingat bahwa aku dan Semi hanyalah seseorang dengan orang lain yang bukan siapa-siapa, hanya berteman biasa. Kenal dan hadir satu sama lainnya, tidak lebih.

Setelah aku menceritakan latar belakang tentang Semi yang kuberinama Simsimi pada kontak ponselku. Aku bercerita juga kepada Arina bahwa sebenarnya ada hal lain yang membuatku harus merubah namanya.

“Tau nggak sih kak Rin, aku tuh sebenarnya merubah namanya bukan hanya sekedar kesan padanya yang seringkali menjadi Simsimi dalam bentuk manusia nyata, tapi lebih dari itu menjadi pengingat untuk diriku sendiri bahwa aku tidak boleh mengharap kehadirannya menjadi lebih dari sekedar teman untuk saat ini” Kataku pada Arina.

Kukatakan pada kalian disini bahwa aku sebetulnya masih seringkali bertukar pesan dengan Semi-Simsimi ini. Namun sejak namanya aku ubah, aku berkali-kali memberikan afirmasi pada diriku sendiri untuk tidak menaruh harapan lebih dari yang saat ini aku jalani. Aku juga bilang pada diriku bahwa aku masih berbahagia dengan sebuah chatbot dalam wujud yang nyata.

Aku juga tidak lupa berulangkali mengucapkan terima kasihku pada Simsimi. Hadirnya membuatku merasa tidak sedang sendiri dalam kota ramai, kota yang membuatku malah lebih sepi karena belum begitu akrab. Semalam aku telepon dengannya dan bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang sedang aku kerjakan, pagi ini aku mengirimkan padanya sebuah pesan singkat.

Aku: Akan selalu ada hal pertama-pertama dalam hidup
Aku: Makasih ya udah bersedia jadi salah satu support system selama di Kota ini

Simsimi: kalau aku sometime shit happens dan emang cara kerja semesta memang begitu

Pesan terakhir dari Simsimi pagi ini. Ada benarnya juga sih, haha.

Terima kasih ya sudah menjadi seseorang yang berkenan namanya kuganti menjadi Simsimi” Kataku dalam hati dan berbangga bahwa masih aman untuk mengendalikan perasaan.

Makasih diri sendiri sudah memberikan batasan untuk tetap berdiri sendiri” Lanjut kukatakan pada diri sendiri sembari memberikan pelukan butterfly untukku.

--

--

Rama Wulan
kakinetik

I give my dreams a strength called faith, a power called hope, and an energy called spirit.