Lawan Kata Cinta

Rama Wulan
kakinetik
Published in
4 min readOct 29, 2019

Suatu sore ditemani sinar jingga dilangit, aku menantikan pergantian warna di ufuk barat, fase golden hour yang kunanti. Aku masih di depan meja kerjaku, di balik jendela kaca yang menghadap ke barat tempat yang tepat menghadap arah matahari terbenam. Seperti biasa aku menikmati pemandangan pergantian warna dari terang menuju gelap.

Lalu, sebuah pemberitahuan masuk, menjadi pemberitahuan teratas pada telepon pintarku.

someone mentioned you on a post

“hah, siapa?” pikirku, aku merasa sedang tidak ada kegiatan hari itu yang bisa di jadikan bahan berswafoto di sosial media.

Ku sentuh layar bagian pemberitahuan, dan masuklah ke sebuah postingan milik seorang laki-laki. Sebuah unggahan lama yang sempat di-archive saat dia memulai cerita dengan perempuan yang kini menjadi istrinya. Foto seorang laki-laki tampak dari belakang dengan tas ransel dan tripod kamera di punggung di antara tebing sisa tambang batu kapur yang kini dikomersialkan menjadi tempat foto. Kuingat kembali memori dalam foto itu. Foto candid yang aku ambil saat dia jalan duluan beberapa meter di depanku, menggambarkan sebuah ekspresi kejujuran karna diambil dalam waktu yang singkat.

Photo by Michael Shannon on Unsplash

Aku masih ingat betul momen itu, momen bersama laki-laki yang kini sudah menjadi suami orang. Aku hanya ingin menertawakan diri sendiri bila mengingat cerita hari itu. Hari dimana laki-laki itu menyatakan cintanya dengan cara yang paling tidak romantis (menurutku), tapi aku mengapresiasi bagaimana dia menyampaikan perasaannya karna kutahu perasaan itu tidak mudah diungkapkan olah laki-laki pendiam sepertinya, ya kami memang memiliki karakter yang berseberangan jauh.

Pagi itu kami bersepakat untuk menempuh perjalan bersama, karena aku tahu waktunya tak lama untuk segera berpindah mengejar impiannya di ibu kota lain kala itu, aku pikir bahwa momen ini akan menjadi momen terakhirku, people comes and go.

Di tengah makan makanan bekal kami dia membuka sebuah percakapan.

“Aku akan pergi ke ibu kota, aku mendapatkan posisi baru di kantor, ya sejalan dengan kemauan orang tuaku yang ingin aku ke jakarta, karena papa disana, sembari bekerja aku sembari menempu misi untuk mendekati papaku, aku akan belajar banyak hal” katanya.

“Ya bagus dong, kamu sudah paham apa yang harus kamu lakukan, sebagai lulusan baru kamu cukup beruntung mendapatkan posisi itu di kantor, dan semoga menjadi awal yang baik untuk karirmu kedepan, aku cuman bisa bantu doa dari sini” kataku untuk menyemangatinya.

“ya nanti kamu gimana?” tanyanya.

people comes and go, aku punya banyak mimpi yang menunggu untuk di wujudkan, aku ndak mau semuanya menungguku terlalu lama. Kamu fokus sama mimpimu lah, dah bagus itu tinggal di kejar” timpaku, yang sebenarnya curiga dengan kata-katanya yang mengandung kekhawatiran padaku, padahal aku siapa? teman saja kan?

Kulanjutkan makanku, sedikit mual karena bersantan dan pedas, aku salah pesan nasi uduk untuk makan pagi kami. Aku tau dia memandangiku, tapi aku pura-pura melanjutkan makan. Lalu dia lanjutkan percakapan. ditemani angin yang membawa terbang daunan kering di sekitar tempat kami duduk.

“Aku tau karirku akan dimulai setelah ini, tapi aku maunya menemani kamu” katanya sedikit pelan, dia menatapku lekat.

Makanku terhenti. Aku kembali menatap matanya, karena aku tidak menemukan unsur bercanda pada nada bicaranya.

Dihari itu, pagi itu dia menyatakan cintanya, dan aku hanya memberikan syarat bahwa jika dia serius, dia harus bertemu bapakku, karena wujud dari keseriusan laki-laki adalah pertanggung jawaban atas kata-katanya, tidak hanya bisa menjawab, tapi juga menanggung konsekuensi atas jawaban yang dia sampaikan.

Aku kembali tersenyum, sembari menghela nafas, masih menerka apa maksud dari semua ini. Bukankah dia sudah menikah dengan perempuan lain? bukankah dia sudah memulai cerita baru bersama istrinya?

Ku-capture foto yang di akhir caption-nya menyebutkan username sosial mediaku. Kukirimkan pada seorang sahabatku.

“aku nggak tau apa maksudnya” kutulis dan centang dua ke sahabatku.

picture just sent

Aku masih berpikir, itu kan hanya sebuah foto lama, aku juga sudah merubah username lamaku menjadi username yang sekarang karena aku tidak suka menjadi orang yang di trace kisah lalunya (terlebih soal romansa). Termasuk dalam postingan foto lama, karena aku berharap pergantian username akan membuat akun sosial media baruku tidak mudah ditemukan. Ya kita tahu bahwa sosial media bisa menjadi sumber fitnah, haha.

Sebuah pemberitahuan masuk.

“sudah, biarin aja, ndak usah di tanggepi” balas sahabatku.

Tentu saja, mengurusi memori masa lalu hanya akan menguras waktu, akan ada banyak hal yang lebih penting dikerjakan dari pada kembali dengan kilas balik cerita lama. Aku kembali menyadari satu hal nilai dalam hidup, bahwa lawan kata cinta bukan lagi benci, melainkan tidak lagi peduli.

Mungkin dulu pernah ada cerita diantara kita, aku pernah sebegitu kehilangan seseorang yang pernah mengisi waktuku, memberikan pemanis pada kisah hidupku dengan cerita romansa, tapi kini ku sudah memilih untuk tidak peduli. Aku dan kamu sudah memilih jalan masing-masing.

--

--

Rama Wulan
kakinetik

I give my dreams a strength called faith, a power called hope, and an energy called spirit.