Perjalanan Berpulang

Rama Wulan
kakinetik
Published in
3 min readMay 29, 2019

Rasanya seperti baru kemarin, kau mengenalkanku pada seorang laki-laki yang kini kau sebut dengan suami. Tentu saja aku bisa bilang beruntung sekali pernah menjadi salah seorang yang kau percaya sebagai saksi perjalanan kisah cinta yang manis itu.

Aku masih ingat betul bagaimana matamu berbinar kala bercerita tentang laki-laki baik yang menjadi distraksi terbesarmu, dan tentunya kau memang juga tidak akan menerima laki-laki yang tidak baik kan?.

Tentang kali pertama kalian bertemu, tentang kebaikannya, kesabarannya, kedewasaannya, dan bagaimana dia menjaga diri dalam sholatnya yang mengusahakan tepat waktu berjamaah. Laki-laki yang kupikir sudah layak dan siap dijadikan pendamping hidup.

Kau bertanya tentang bagaimana pendapatku tentangnya? tentu kujawab bahwa dia adalah laki-laki baik yang bertanggung jawab dengan dirinya, semua tergambar jelas dalam perhatiannya, dalam memperlakukan perempuan sepertimu, dan bisa memposisikan diri juga bagaimana dia berusaha mengenal temanmu (termasuk aku). Kalau boleh aku bilang kau mungkin satu dari sekian perempuan beruntung yang bisa memilikinya, meski kepemilikan hakiki tetap padaNya.

Beberapa hari lalu, belum sempat nyawaku bangun dari tidur, aku membaca kabar mengenai kepulangannya, kepulangan suamimu. Mataku mendadak terbuka lebar yang langsung nyawaku terkumpul lengkap. Aku membaca berulang kali agar aku yakin benar dengan berita itu. Ada telepon dari teman lain yang ku telepon balik untuk kutanyai kebenaran kabar ini. Kutanya dengan bicara terbata, dengan sebagian pikian yang tak mampu berkata, aku masih tidak percaya bahwa berita itu benar adanya.

Tepat dua hari lalu aku melihat senyummu dan suamimu merekah diantara wajah lainnya dalam sebuah foto acara makan malam keluarga. Aku tersenyum melihat senyuman-senyuman itu, melihat kebahagiaan terpancar dalam kebersamaan. Sebab sepanjang perjalanan pernikahan, kalian menjalani hubungan jarak jauh karna pekerjaan dan tanggung jawab, sehingga pertemuanmu dengannya adalah hal langka yang patut di syukuri.

Aku tidak percaya, hingga aku menemuimu, melihatmu dengan wajah pucat, mata sembab.

Dalam pelukan, kau bisikan lirih ditelingaku “Terimakasih sudah datang, kalo suamiku pernah punya salah tolong di maafkan ya”

Pikiranku melayang entah dimana, menelan kenyataan ini, bahwa laki-laki baik yang menjadi suamimu sudah berpulang. Kau lepas pelukanku, tak ada lagi isak tangis terdengar, hanya sesekali tetesan air mata.

Kau bercerita bagaimana dia disampingmu pada akhir nafasnya. Pada jeda ceritamu, diceritakan oleh kakakmu bahwa semalam lalu kalian berbahagia karena akan ada laki-laki kecil yang menambah lengkapnya keluarga kalian. Bayi laki-laki lima bulan dalam perutmu masih membutuhkan separuh perjalanan lagi sebelum sampai kedunia.

Kakakmu bilang bahwa kamu adalah perempuan tegar yang pernah ia temui, meski dalam balut kesedihan itu kamu berusaha tegar, menjadi seorang istri yang melakukan pengabdian terakhir secara raga, memandikan sekujur tubuh yang kaku dan mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kau perempuan hebat.

Photo by Aziz Acharki on Unsplash

Dari perempuan itu aku belajar banyak hal, aku ingin ia menjadi abadi dalam bentuk cerita. Kubuka gawaiku, dan kumulai menuangkan apa yang sedang dalam pikiran ini.

Pada rasa cinta yang begitu dalam, kita akan diajarkan pemahaman tentang bagaimana wujud kecintaan itu sendiri adalah melepaskan dengan ikhlas

Pada sebuah perjumpaan, yang mengajarkan kita tentang bagaimana permulaan dari sebuah kepergian

Pada sebuah rumah, yang bukan sekedar tempat singgah memberikan pelajaran tentang kepulangan, bahwa tujuan perjalanan paling akhir adalah pulang

Hari ini ada seorang perempuan yang sangat tegar, kabarnya dia sedang memahami makna-makna diatas, menerima kenyataan bahwa rasa cintanya diuji olehNya, kesabarannya ditempa, ketegarannya dicoba rasa sabar karena seseorang yang manjadi penyempurna separuh jiwanya telah dipanggil menghadap sang Ilahi.

Tapi suatu hari nanti akan ada anak laki-laki yang bercerita pada dunia tentang seorang ibu yang begitu bijaksana dalam ujian hidup. Anak laki-laki itu bercerita bahwa yang membentuk dirinya menjadi seorang yang demikian adalah buah atas meneladani kesabaran, ketegaran, keikhlasan, dan kebaikan lain sepanjang hidupnya ia meneladani seorang perempuan, ibunya.

Kujadikan ini sebuah cerita tentang perempuan hebat, perempuan pilihan yang dipercaya Allah menjalani takdir yang tidak banyak orang mampu menjalani itu dengan hati yang lapang. Semoga kami yang membaca kisah ini belajar menjadi manusia yang lebih tangguh, agar tidak mudah rapuh meski dunia runtuh.

Aku teringat kembali sebuah kalimat dalam buku yang pernah aku baca “hidup manusia hanya sementara, hidup keluarga itu selamanya”, dan aku belajar memaknainya. Semangat menjalani peran dan tanggung jawab!

--

--

Rama Wulan
kakinetik

I give my dreams a strength called faith, a power called hope, and an energy called spirit.