Yang Aku Ingat Darimu

Rama Wulan
kakinetik
Published in
4 min readJan 27, 2020

Dia sedang mengetik….

Beberapa saat kemudian terdengar nada pesan masuk.

hidup itu ada pada responmu menghadapi hidup
all, it’s your fight, not everyone else
Semua orang hanya porsi memberikan semangat dan telinganya

Hampir setahun yang lalu, setahun berlalu saat pertama kali aku menemuinya. Pukul tujuh malam, di sebuah tempat umum di kota tempatku tinggal sekarang, karna dia bilang jangan tempat makan, tempat ngopi boleh, tapi kubilang bahwa aku tidak sedang bisa minum kopi. Akhirnya kupilih sebuah tempat co-working space milik pemerintah kota, ku bilang tempatnya asik, dia akan menemukan secuil sisa peradaban kota karena dilantai dasar ada museum, lalu di atas akan bisa melihat pemandangan jalan pusat kota dari atas dengan hiasan lampu dari taman gantung.

Pukul tujuh kurang, kupastikan lagi bahwa aku tidak akan terlambat, sesuai janji. Waktu kurang semenit, pesan singkat masuk. Darinya, menanyakan aku sampai mana?. Kubilang naik saja sampai lantai tiga, cari arah taman gantung, nanti temui aku di pintu masuk.

Aku di depan meja resepsionis, sedang menukarkan KTP dengan ID card sebagai tanda pengenal pengunjung co-working space -disamping karena faktor keamanan-.

Telepon genggamku berdering, ternyata telepon darinya, kubilang aku di depan meja resepsionis,langsung masuk saja. Kuputar badanku kearah jam sembilan, laki-laki menutup teleponnya, mendorong pintu kaca, mengenakan kaus warna maroon dengan jaket merah hitam ditangan, berkacamata. Kenapa warna baju kami senada? pikirku. Aku menghela nafas, kepalaku muncul sebuah kalimat ‘sepertinya dia laki-laki baik’. Dia mengulurkan tangannya, seraya berkata.

“hallo”

Seperti perkenalan pada umumnya, tentu dia mengenalkan dirinya. Seorang tamatan kampus berlambang gajah, engineer yang memilih jalan hidupnya di dunia start up. Dia sedang dalam perjalanan bisnis saat dia berada di kota tempatku tinggal. Dia bercerita apa yang dia kerjakan ditempat kerjanya, termasuk perjalanannya saat itu. Obrolan kami tersambung karena aku sendiri pernah belajar ekonomi dan bisnis, pernah terlibat pula dalam dunia start up (meski hanya sebentar). Dia bercerita bagaimana dunia digital banyak mengubah model bisnis, dan tantangan di era disrupsi membuat kita manusia harus siap untuk merespon perubahan yang cepat.

“jalan yuk?” katanya.
“hah, jalan kemana? katanya udah makan..”
“jalan beneran jalan, kita jalan kaki sebentar, ajak aku keliling daerah sekitar sini, sepertinya kamu cukup hafal dengan daerah sini” balasnya.

Aku mengajaknya jalan kaki sekitar tempat kami bertemu tadi, kuceritakan beberapa hal yang aku tau tentang jalan-jalan dan bangunan sekitarnya. Kuberikan opsi rute kami jalan kaki. Tentu saja, dia memilih rute berputar dan terjauh (menurutku). Masuk dan keluar dari pusat perbelanjaan, menyeberangi jalan menggunakan jembatan layang, melewati pusat kuliner sari laut di tengah kota, masuk toko oleh-oleh dan membeli beberapa jajanan, melintasi jalanan pinggir sungai dengan taman, berbelok jalan di trotoar depan taman budaya dan gedung pertunjukan hingga kembali ke tempat semula.

Aku? tentu saja langkahku lebih lamban darinya, beberapa kali dia menengok kebelakang karena aku kurang bisa jalan cepat dengan rok cupet. Kubilang aku sama sekali tidak marah atau kesal di ajak berjalan, hanya saja sedikit terhambat dengan baju yang ku kenakan.

Dia bercerita bahwa dia seorang atlet basket, bila tidak ada keperluan kerja pada weekend dia menyempatkan olah raga, meski bukan basket. Selain sebagai stress release juga sebagai bagian dari menjaga stamina dan postur tubuh. Iya, kan atlet, menjaga masa otot itu perlu, kebutuhan (katanya).

Sampai lagi di tempat semula, aku mencari tempat duduk untuk meneruskan sedikit topik pembicaraan. Aku menawarkan sekotak minuman, karena aku hanya bawa itu dan sebotol air.

Hampir setahun lalu, rasanya masih kuingat jelas. Sesaat setelah kami berpisah, aku menghadiahkannya sebuah gambar diri dari cat air yang aku punya.

Painting by Rama Wulan for F

“ijin aku pake untuk sosmed ya?” katanya dalam sebuah pesan.

Setahun sudah berlalu, hingga hari ini aku hanya bertukar pikiran melalui pesan-pesan. Setahun yang membuat aku rasanya tidak bisa bilang ‘tidak’ pada beberapa pesannya. Aku sering bercerita dan bertanya padanya, dan seringkali berakhir dengan aku menyetujui sarannya. Setahun yang tidak cukup untuk menata puzzle tentang siapa dirinya, karena tersimpan rapi. Tapi ada satu hal yang kuingat darinya, tentang pesan terakhir atas apa yang kuminta sebelumnya, sebuah pesan yang berisi kalimat untuk terus membersamai diri sendiri bagaimanapun dunia terhadapku.

Kubaca sebagian percakapan antara aku dan dirinya setahun lalu.

“May i try to dive into your mind? im interested to your bio.” kataku
“what things crossed your mind?” balasmu.
“An introvert with a deep mind”
“so?”
“i would like to dive and measurements, is your mind deeper than ocean?”

Setahun berlalu, aku dan dia masih jauh. Mengingatkan diri sendiri bahwa aku dan dia hanya seseorang dan orang lain yang bukan siapa-siapa. Setidaknya itu yang bisa aku ingat darinya.

--

--

Rama Wulan
kakinetik

I give my dreams a strength called faith, a power called hope, and an energy called spirit.