Belajar Isu Rasisme dari Sastra, Minnesota, dan Papua
“the one thing that doesn’t abide majority rule is a person’s conscience”
-Harper Lee
Minnesota Membara
“Please, I can’t breathe” raung George Floyd, yang kemudian meregang nyawa beberapa menit kemudian setelah seorang polisi menindih lehernya. Lagi-lagi ini menambah daftar panjang sejarah kelam kekerasan rasial di Amerika Serikat (AS). Floyd diringkus kepolisian diduga karena bertransaksi dengan uang palsu senilai $20 di sebuah toko di Minneapolis (sebuah kota di negarabagian Minnesota).
Yang lebih ironis lagi adalah pemilik toko pun bahkan tidak mengetahui apakah Floyd sebenarnya melakukan dengan sengaja atau tidak. Kejadian tersebut menimbulkan kecaman dari banyak pihak. Demonstrasi besar besaran kemudian melanda Minneapolis dan 40 kota lainnya di AS, tak ketinggalan di depan Gedung Putih, Washington DC.
Peristiwa tewasnya George Floyd pada 25 Mei lalu menimbulkan pertanyaan di benak penulis. Apabila yang diringkus kepolisian pada saat itu adalah seorang Floyd yang lain, yang bukan berkulit hitam, bukan seorang Afrika Amerika, apakah lantas mendapatkan perlakuan yang sama? Apabila pada saat itu seorang Floyd yang lain berkata bahwa dia tidak bisa bernafas karena lehernya ditindih dan meraung-raung meminta tolong, apakah polisi tersebut tetap tidak akan mengangkat lututnya?
Ya, ironis memang pada akhirnya George Floyd tewas di negara yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.
Kejadian tewasnya Floyd tempo lalu mengingatkan penulis pada sebuah karya sastra Harper Lee, yang berjudul To Kill a Mockingbird yang menjadi salah satu buku favorit penulis. Buku klasik american literature yang terbit pada enam dekade lalu, namun pesan moralnya hingga kini masih relevan dan/atau mungkin akan selalu relevan?
Berlatar pada sebuah kota kecil di Alabama era 1930an yang menceritakan tentang rasisme, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan yang dialami penduduk berkulit hitam. Bicara isu rasisme memang pelik, ibarat persoalan waktu yang tak ada ujung. Terlebih lagi di AS, isu rasisme bak sebuah roda yang terus berputar yang entah kapan akan berhenti.
Di Minneapolis, sekitar 20 persen orang Afrika-Amerika menyumbang populasi kota. Namun, berdasarkan data kepolisian Minneapolis mereka lebih cenderung diperlakukan tidak adil, ditangkap, dan diperlakukan secara semena-mena dibanding penduduk kulit putih. Lebih ironisnya lagi, data tersebut juga menunjukkan bahwa penduduk kulit hitam tercatat lebih dari 60 persen menjadi korban penembakan polisi Minneapolis sejak akhir 2009 hingga Mei 2019 (Furber dkk., 2020).
Maka tak heran, apabila The Twin Cities (Minneapolis dan St.Paul & Bloomington) mendapat predikat keempat kota metropolitan paling tidak layak huni bagi penduduk kulit hitam di AS berdasarkan temuan 24/7 Wall St .
24/7 Wall St. memeringkatkan wilayah metropolitan di Amerika Serikat berdasarkan disparitas rasial dalam pendapatan, kesehatan, incarceration, dan achievement gaps penduduk kulit hitam dan putih. Penelitian ini menggunakan data dari Biro Sensus, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, dan Biro Statistik Keadilan AS.
Hasil dari penelitian tersebut adalah teridentifikasinya 15 wilayah metropolitan paling tidak layak huni bagi penduduk kulit hitam di AS. Dimana posisi tiga teratas ditempati oleh Milwaukee-Waukesha-West Allis, Racine, dan Waterloo-Cedar Falls.
Di Minneapolis, masih berdasarkan temuan 24/7 Wall St., rumah tangga penduduk kulit hitam memiliki median pendapatan sekitar $34.174 per tahun. Ini hanya 43% dari median pendapatan rumah tangga penduduk kulit putih yang sebesar $78.706 per tahun, dan $4.000 lebih sedikit tinimbang median pendapatan rumah tangga penduduk kulit hitam secara nasional.
Selain itu, unemployment rate penduduk kulit hitam lebih tinggi 6,7% daripada penduduk kulit putih dan hanya 82,2% yang memiliki ijazah setara sekolah menengah atas tinimbang penduduk kulit putih yang di angka 95,9%. Tak hanya perihal diatas saja yang membuat kita mengelus dada, persoalan rasisme juga berimplikasi pada mortality rate.
Sebuah studi dari Rutgers University menemukan bahwa 1 dari 1000 pria dan anak laki-laki berkulit hitam di AS bertendensi meregang nyawa di tangan polisi (Edward dkk., 2019). Ini membuat mereka 2,5 kali lebih rentan meninggal tinimbang pria dan anak laki-laki berkulit putih saat berhadapan dengan polisi. Analisis dari studi tersebut juga menunjukkan bahwa pria dan anak laki-laki latin dan native american lebih rentan meregang nyawa saat berhadapan dengan polisi. Kendatipun demikian, kerentanan pria dan anak laki-laki berkulit hitam lebih mencolok.
Berkaca pada Papua
Bisa dikatakan bahwa isu rasisme yang terjadi di Minnesota mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada masyarakat Papua. Juli 2016 lalu, di Yogyakarta, yang mana kita tahu adalah ‘kota percontohan keberagaman untuk dunia dan asia’, namun malah terjadi tindakan rasisme yang patut untuk dikecam dan disesalkan. Para mahasiswa Papua ditangkap secara paksa, asramanya dikepung oleh ormas reaksioner, dan salah satu mahasiswanya dikriminalisasi (Obby Kogoya).
Kejadian tersebut bermula dari mahasiswa-mahasiswa Papua di Yogyakarta yang akan menyuarakan aspirasinya di jalan untuk mendukung United Liberation Movement for West Papua (UILMWP) bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG). Namun, aksi tersebut kemudian dihentikan oleh aparat keamanan dan ormas, bahkan sebelum mereka memulai aksi.
Ada satu peristiwa yang membuat publik semakin mengecam dan marah. Obby Kogoya yang kala itu pulang dari pasar setelah membeli singkong hendak masuk asrama, namun aparat menghadang dan menangkapnya, dengan tuduhan bahwa Obby ingin menyusupkan senjata tajam ke dalam asrama.
Tubuhnya dibanting ke tanah, diteriaki dengan kata-kata rasis, lehernya diapit siku, kemudian seorang aparat mengaitkan dua jari ke dua lubang hidungnya lalu menariknya bak binatang. Obby meraung kesakitan, namun aparat tak menghiraukannya dan langsung memborgol serta menginjaknya.
Apabila kita menyandingkan foto kejadian Obby Kogoya dengan video George Floyd di penghujung kematiannya akan terlihat serupa. Bagaimana terlihat arogansi, kesewenang-wenangan, dan tindak rasisme yang membabi-buta.
Bukan itu saja, pada Agustus 2019 silam di Surabaya terjadi hal serupa. Beberapa aparat TNI menyergap asrama mahasiswa Papua dan menangkap paksa 43 mahasiswa dengan dalih ditemukannya bendera merah putih yang dipasang oleh Pemkot Surabaya jatuh ke selokan.
Lambat laun satpol PP dan organisasi masyarakat berdatangan lalu mengepung selama 24 jam. Berbagai umpatan bernada rasisme diteriakkan sambil melempari batu ke arah asrama. Sehari kemudian, 43 mahasiswa papua yang ditangkap dibebaskan karena tidak cukup alat bukti atas kasus penghinaan lambang negara. Cukup sampai disini? Tentu tidak.
Kita mungkin masih ingat kasus Eden Bebari, anak muda yang tewas ditembak aparat keamanan Indonesia saat mencari ikan di sebatang sungai areal PT Freeport Indonesia. Hingga kini belum terungkap dan diadili siapa pelaku pembunuhan Eden.
Belum lagi tentang situasi krisis kemanusiaan di Nduga. Selama 2019, tercatat 37.000 orang mengungsi dan 241 orang tewas. Sejak peristiwa kekerasan bersenjata TPNB/OPM pada 2 Desember 2018, operasi militer oleh pemerintah Indonesia malahan telah mengirim lebih banyak kematian tinimbang kedamaian. Warga Nduga bahkan merayakan dua kali Natal dalam duka.
Beberapa kejadian ironis di atas bak fenomena gunung es yang terjadi pada masyarakat Papua. Sudah cukup lama masyarakat Papua mengalami tindak rasisme dan menjadi warga kelas dua di Indonesia. Menyamakan mereka seperti monyet, melanggengkan stigma primitif, tidak memperlakukan mereka sama dan sejajar dalam status sosial, hukum dan peradilan, bahkan hingga persoalan yang meregang nyawa masyarakat Papua.
Sastra sebagai Relevansi Penyadaran
George Floyd melengkapi daftar panjang kekerasan berdasarkan sentimen ras yang menghiasi sejarah Amerika Serikat, negara yang mengaku menjunjung tinggi HAM dan demokrasi. Tindakan rasisme dan krisis kemanusiaan yang dialami masyarakat Papua pun seakan-akan terpelihara dengan baik di Indonesia, negara yang mengaku pancasilais dan menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Hal ini tentunya ironis dan menyedihkan sehingga membuat semakin menggemanya gerakan #BlackLivesMatter dan #PapuanLivesMatter. Lalu siapa yang pantas disalahkan?
Daripada terlalu sibuk saling menyalahkan, mengapa kita tidak mulai dari diri sendiri untuk memperbaiki keadaan? Isu rasisme akan selalu ada dan kita tidak bisa mengelak, selama kita masih berpikir bahwa orang yang berbeda warna kulit, bahasa, suku, dan adat layak untuk diperlakukan berbeda.
Mari belajar memanusiakan manusia, mari belajar memetik pelajaran dari setiap kejadian. Jangan bungkam dan diam ketika ada tindak rasisme, kesewenang-wenangan, dan masalah kemanusiaan di hadapanmu. Kendatipun tidak mampu bersuara lantang, setidaknya mengutuk dalam hati dan akal sehat itu pun sudah cukup. Seperti yang dilakukan sosok Atticus Finch dalam To Kill a Mockingbird.
“They’re entitled to full respect for their opinions. But before I can live with other folks I’ve got to live with myself. The one thing that doesn’t abide by majority rule is a person’s conscience” Ujar Atticus Finch, salah satu tokoh kunci dalam To Kill a Mockingbird karya Harper Lee (1960).
Dia berkata demikian setelah putrinya, Scout, memberi tahu Atticus kebanyakan orang di kota itu berpikir bahwa membela pria berkulit hitam yang dituduh adalah sebuah kesalahan. Sebagaimana kita ketahui, Atticus Finch dalam buku itu dikisahkan membela seorang pria berkulit hitam dengan tuduhan palsu memperkosa wanita berkulit putih. Atticus adalah sosok progresif yang hidup dengan hati nurani dan prinsip kemanusiaannya.
Harper Lee sudah wafat empat tahun yang lalu. Namun karyanya abadi dan tetap nyaring menyuarakan kaum yang tertindas dan termarjinalkan. Sudah enam dekade usia To Kill a Mockingbird, namun pesan moralnya hingga kini masih relevan dan/atau mungkin akan selalu relevan?
Begitulah sastra, hadir bersama kebenaran dan kejujuran yang dibuat dan ditujukan untuk menggugah nurani dan empati manusia. Kehadirannya bisa menggetarkan, memantik pikiran, dan memberi keleluasaan kepada hati dan akal sehat. Alhasil, sastra mampu mengajarkan kita untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.”
- Pramoedya Ananta Toer
Referensi
Furber, M., Eligon, J., & Burch, A. (2020). Minneapolis Police, Long Accused of Racism, Face Wrath of Wounded City. Diakses dari https://www.nytimes.com/2020/05/27/us/minneapolis-police.html%20(
Comen, Evan. (2019). The Worst Cities for Black Americans. Diakses dari
https://247wallst.com/special-report/2019/11/05/the-worst-cities-for-black-americans-5/
Khan, Amina. (2019 ). Getting killed by police is a leading cause of death for young black men in America. Diakses dari https://www.latimes.com/science/story/2019-08-15/police-shootings-are-a-leading-cause-of-death-for-black-men
Tude, Rico. (2020). Standar Ganda Orang Indonesia Sikapi Rasisme . Diakses dari https://suarapapua.com/2020/05/29/standar-ganda-orang-indonesia-sikapi-rasisme/#disqus_thread
Briantika, Adi. (2020). Kisah Kematian Eden Bebari, Anak Muda Papua Diduga Ditembak TNI. Diakses dari https://tirto.id/kisah-kematian-eden-bebari-anak-muda-papua-diduga-ditembak-tni-eNHp
Widhana, Dieqy Hasbi. (2019). Siklus Rasisme terhadap Mahasiswa Papua. Diakses dari https://tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4
Prabowo, Haris. (2019). Nestapa Nduga Selama 2019: 37.000 Orang Mengungsi, 241 Orang Tewas . Diakses dari https://tirto.id/nestapa-nduga-selama-2019-37000-orang-mengungsi-241-orang-tewas-epPx
Edward, F., Lee, H., dkk. (2019 ). Risk of being killed by police use of force in the United States by age, race–ethnicity, and sex. Hlm 1–4 E.W. (2016).
How “To Kill a Mockingbird” shaped race relations in America. Diakses dari https://www.economist.com/prospero/2016/02/22/how-to-kill-a mockingbird-shaped-race-relations-in-america
Patel, Sona. (2016). How ‘To Kill a Mockingbird’ Changed Their Lives. Diakses dari https://www.nytimes.com/2016/02/19/books/how-to-kill-a-mockingbird-changed-their-lives.html
Allan, David. (2016). What To Kill a Mockingbird can teach parents. Diakses dari https://www.bbc.com/culture/article/20140613-what-would-atticus-finch-do
Lee, Harper. (2010). To Kill a Mockingbird. UK : Roller Hockey United Kingdom
Prasetya, Rizki. (2020). George Floyd Meregang Nyawa di Tangan Polisi dan Naiknya Sentimen Ras Sejak Trump Menjabat. Diakses dari
https://mojok.co/rzp/ulasan/pojokan/george-floyd-meregang-nyawa-di-tangan-polisi-dan-naiknya-sentimen
-ras-sejak-trump-menjabat/
Abifathe. (2019). Sastra Melawan (Apa?). Diakses dari:
https://kalamkopi.wordpress.com/2019/02/02/sastra-melawan-apa/