Dewan Moneter: The Opposite Polar of “Here Comes The Sun”
“..kita harus tahu politik. Politik membentuk hukum. Menentukan kehidupan semua orang. Juga nasibku, juga nasib komedi stambul-mu..” — Stella
“Wait, what?”. Demikian reaksi penulis ketika sedang asyiknya mendengarkan here comes the sun nya The Beatles, tapi diinterupsi oleh headline berita daring yang menyebutkan akan ada wacana pembentukan Dewan Moneter.
Ditengah krisis pandemi covid-19 ini, DPR tengah menyusun RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu yang diatur dalam RUU adalah pembentukan Dewan Moneter untuk menetapkan setiap kebijakan moneter yang ditempuh.
Sepemahaman penulis yang juga kebetulan seorang mahasiswa ekonomi, bukankah Bank Indonesia adalah bank sentral yang independensinya dijamin undang-undang dan bebas dari intervensi pihak manapun?
Mengancam Independensi Bank Sentral
Bank Indonesia (BI) mempunyai tugas penting dalam menjaga stabilitas harga (inflasi) dan sistem perbankan. Pasal 9 dalam UU No. 23 Tahun 1999 yang berlaku saat ini menyebutkan bahwa “pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI”.
Dalam RUU yang sedang dibahas DPR, pasal 9 tersebut akan dihapuskan dan digantikan dengan pasal 9a yang akan menambahkan badan baru bernama Dewan Moneter. Tugasnya adalah untuk “memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian”
Dewan Moneter ini nantinya akan diketuai oleh Menteri Keuangan, dengan anggotanya terdiri dari: Menteri Perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner OJK.
Dilansir dari Reuters, selain hal diatas, terdapat beberapa hal penting yang diusulkan tim badan legislatif yaitu: Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan mempunyai hak suara dalam Rapat Dewan Gubernur BI; dan wewenang BI diperluas untuk mencakup penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Apabila Dewan Moneter ini terbentuk, sudah jelas akan mengancam independensi BI. Lantas, mengapa independensi BI atau bank sentral begitu penting?
Pertama, bank sentral yang lebih independen lekat akan tingkat inflasi yang lebih rendah (Bade & Parkin, 1988). Menempatkan kebijakan moneter ke tangan seorang gubernur bank sentral yang notabene teknokrat, dan mendasarkan keputusan pada data dan evidence adalah dapur dari ekonomi yang sehat. Imbasnya yaitu inflasi yang rendah dan stabilitas ekonomi terjaga.
Alesina & Summers (1993) melakukan sebuah studi komparasi keterkaitan Central Bank Independence (CBI) dengan performa makroekonomi. Studi tersebut mengacu pada berbagai ukuran kinerja ekonomi beberapa negara dalam kurun waktu 1955–1988.
Hasilnya, terdapat hubungan negatif antara CBI dengan tingkat inflasi. Negara seperti Jerman dan Swiss yang memiliki indeks CBI tinggi, tingkat inflasinya lebih rendah dibandingkan Selandia Baru dan Spanyol yang indeks CBI nya rendah.
Kedua, bank sentral adalah sebuah institusi powerful dalam memasok uang melalui suku bunga rendah, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek.
Bank Sentral memiliki sebuah fast tool menggiurkan bagi kepentingan politik atau pemerintah. Fast tool tersebut adalah menurunkan suku bunga. Hal lainnya adalah kemampuan menambah jumlah uang beredar melalui kebijakan moneter ekspansif. Imbasnya, pemerintah akan terbantu karena pos-pos anggaran defisit tertutupi dan mendanai program belanja baru, atau bahkan dengan harapan mendapatkan lebih banyak suara pada Pemilu.
Para ekonom menyebut kemampuan untuk membendung tekanan politik seperti itu dan menjaga sisi keuangan ekonomi secara konsisten sebagai “kredibilitas moneter”. Upaya untuk memanipulasi suku bunga atau untuk mendapatkan kembali kendali atas kebijakan moneter demi keuntungan politik secara efektif merusak kredibilitas ini.
Harga Mahal Ketika Politik Intervensi
Politik itu sarat akan kepentingan. Pemerintahan yang mengontrol kebijakan moneter mungkin tergoda untuk untuk menggunakan kekuatan ini untuk tujuan elektoral (Hibbs, 1977; Alesina & Stella, 2010). The Great Inflation 1970 di AS adalah kasus nyata yang mungkin dapat mengilustrasikannya.
Singkat ceritanya begini. Banyak pandangan tertuju pada naiknya harga minyak, spekulan mata uang, rakusnya usahawan, serta serikat yang tidak becus, yang pantas disalahkan. Namun, kebijakan moneter yang membiayai defisit besar-besaran dan didukung oleh para pemimpin politik adalah penyebabnya.
“Inflation is always a monetary phenomenon” terang Milton Friedman dalam bukunya Money Mischief: Episodes in Monetary History.
Setelah pelantikannya di tahun 1969, Nixon mewarisi resesi dari Lyndon Johnson yang banyak mengeluarkan uang untuk Great Society dan Vietnam War. Nixon bukannya merubah haluan, tapi tetap terus mendanai perang dan meningkatkan pengeluaran kesejahteraan sosial yang juga diamini oleh Kongres. Efeknya? Ya, defisit anggaran.
Menjelang pemilu untuk menggaet konstituen, perhatian Nixon bukan berkutat pada defisit anggaran atau inflasi. Melainkan takut akan terjadinya resesi dan menginginkan ekonomi berkembang pesat. Caranya? Menekan Federal Reserve (bank sentral Amerika) agar suku bunga rendah. Suku bunga yang rendah ini memang memicu pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lebih banyak lapangan kerja untuk sementara.
Akan tetapi dampaknya pada tahun 1973, inflasi meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 8,8%. Kemudian dalam dekade itu menjadi 12%. Pada tahun 1980, inflasi AS mencapai 14%. Upaya Federal Reserve menahan kenaikan inflasi pun berakhir karena AS kembali resesi untuk kedua kalinya.
Kasus tersebut merupakan salah satu kasus nyata yang terjadi. Masih banyak kasus di belahan bumi lain yang menjelaskan betapa bahayanya apabila intervensi politik bermain dan mengancam independensi bank sentral. Dilansir dari Bloomberg, tercatat ada 17 negara di dunia yang independensi bank sentralnya terintervensi kepentingan politik
India adalah contoh yang menarik. Raghuram Rajan adalah Gubernur Reserve Bank India (RBI), atau bank sentralnya India, yang menjabat dalam kurun waktu 2013–2016. Rajan berhasil menekan inflasi dari sekitar 11% menjadi 3%. Track record ini harusnya membuatnya mudah untuk terpilih kembali.
Namun, tekanan dari PM Narendra dan Menkeu Arun Jaitley terhadap RBI untuk mendorong pertumbuhan bertentangan dengan prinsip Rajan dan membuatnya tidak terpilih kembali. Tekanan politik ini bahkan berlanjut hingga gubernur RBI setelahnya.
Dampaknya? Berbagai indikator ekonomi bergerak ke arah yang salah. Defisit pemerintah India semakin membesar. Imbasnya yaitu menyedot impor yang berakhir dengan meningkatnya defisit neraca berjalan. Sejak Januari 2018 rupee telah jatuh sebesar 12,5% terhadap dolar. Foreign exchange reserve RBI yang telah meningkat, kini mulai turun (figure II).
Dalam suatu negara yang bergantung pada investor internasional seperti Hungaria, keputusan Hungaria mencabut independensi bank sentralnya pada 2011 berakibat fatal. Peringkat kredit Hungaria turun kasta ke status junk, mata uangnya jatuh, dan membawa Hungaria ke ambang resesi.
Hal yang sama juga terjadi di Argentina, dimana campur tangan terhadap bank sentral telah membuat kenaikan inflasinya tidak terkontrol dan menyebabkan hampir sepertiga penduduknya dijerat kemiskinan.
Epilog
Berdasarkan paparan diatas, usulan perubahan RUU tentang BI yang didalamnya juga tercakup pembentukan Dewan Moneter hanya membuat kegaduhan yang tak berarti menurut pandangan penulis. Apabila terealisasi, konsekuensinya independensi BI terancam. Imbasnya? Kredibilitas kebijakan moneter akan menurun yang berbahaya bagi stabilitas ekonomi jangka panjang. Alih-alih menjadi Messiah dalam pandemi, namun justru menjadi bom waktu di kemudian hari.
Isu ini memang terlalu mengawang dan kurang populer bagi kebanyakan orang, terutama untuk grass root. Namun, apabila terealisasi berdampak luar biasa terhadap hajat hidup orang banyak. Kita pasti tidak mau di masa depan negara ini terjebak inflasi yang tak terkendali seperti di Argentina misalnya, yang kini inflasinya tak kurang dari 40%, hanya karena kepentingan politik sesaat.
Institusi yang ekstraktif, di mana keputusan dikuasai oleh oligarki, membawa kepada keruntuhan ekonomi (Acemoglu & Robinson, 2012). Sudah saatnya para membuat kebijakan mengerti betul dan berhati-hati akan kebijakan yang mereka buat, karena kebijakan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak.
Di tengah krisis pandemi Covid-19 yang memukul keras banyak sektor, alangkah baiknya jika para pemangku kebijakan mawas diri dan berfokus dulu menangani hal itu. Tak perlu lah membuang waktu untuk sesuatu yang tak perlu. Kita rindu akan keadaan normal saat pra-pandemi. Yang membuat kita saban hari dapat bersenandung,
“Here comes the sun, and I say . It’s all right.
Little darling, the smile’s returning to their faces
Little darling, it seems like years since it’s been here”
…tanpa cemas.
Referensi:
Acemoglu, Daron, and James A Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty
Adinda, P. (2020). Jika Ada Dewan Moneter di Atas Bank Indonesia, Apa Dampaknya? Retrieved September 10, 2020, from https://www.asumsi.co/post/jika-ada-dewan-moneter-di-atas-bank-indonesia-apa-dampaknya
Alesina, Alberto & Stella, Andrea. (2010). The Politics of Monetary Policy. National Bureau of Economic Research, Inc, NBER Working Papers. 3. 10.2139/ssrn.1577167.
Alesina, A., & Summers, L. H. (1993). Central Bank Independence and Macroeconomic Performance: Some Comparative Evidence. Journal of Money, Credit and Banking, 25(2), 152–159. doi:10.2307/2077833
Aziz, A. (2020, September 03). Wacana Dewan Moneter akan Membuat BI Jadi Subordinat Pemerintah. Retrieved September 10, 2020, from https://tirto.id/wacana-dewan-moneter-akan-membuat-bi-jadi-subordinat-pemerintah-f3fh
Bade, Robin & Parkin, Michael. (1988). Central Bank Laws and Monetary Policy.
Economist. (2018). India’s central bank faces a major test of its independence. Retrieved September 10, 2020, from https://www.economist.com/finance-and-economics/2018/11/03/indias-central-bank-faces-a-major-test-of-its-independence
Friedman, M. (1992). Money mischief: Episodes in monetary history.
Hibbs, D. A. (1977). Political Parties and Macroeconomic Policy. American Political Science Review, 71(04), 1467–1487. doi:10.2307/1961490
Kern, A. (2020, July 01). Why political meddling with central banks is a terrible idea — and the Federal Reserve is no exception. Retrieved September 10, 2020, from https://theconversation.com/why-political-meddling-with-central-banks-is-a-terrible-idea-and-the-federal-reserve-is-no-exception-115353
Kramer, L. (2020, August 28). The Great Inflation of the 1970s. Retrieved September 10, 2020, from https://www.investopedia.com/articles/economics/09/1970s-great-inflation.asp
Nag, A., Vollgraaff, R., & Brandimarte, W. (2018, December 07). The Political Heat Is On for Central Banks From U.S. to Asia. Retrieved September 10, 2020, from https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-12-07/the-political-heat-is-on-for-central-banks-from-u-s-to-europe
Reuters. (2020, August 31). Indonesia panel of experts recommends c.bank mandate include employment. Retrieved September 10, 2020, from https://www.reuters.com/article/indonesia-cenbank/indonesia-panel-of-experts-recommends-cbank-mandate-include-employment-idUSL4N2FX1A9