Fast Fashion: Sumber Derita Buruh dan Bumi

Departemen Kajian dan Aksi Strategis
Kastrat Times
Published in
13 min readMay 15, 2021

That’s the fashion. Fast as the speed of light, they say. Ha! It’s got no soul, sir, no heart.”

― Terry Pratchett, Going Postal

Jika kalian sering mengunjungi dan pernah membeli pakaian di pusat perbelanjaan, besar kemungkinannya kalian pernah membeli pakaian dari merek Zara, H&M, UNIQLO, GAP, atau Forever 21. Jika demikian, selamat! Kalian telah bersentuhan langsung dengan industri fast fashion. Di Indonesia, masih banyak orang yang belum memahami benar apa itu fast fashion — ironis memang, karena sesungguhnya Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang mengalami dampak paling parah dari fast fashion.

Sungai Citarumsumber air utama Jawa yang sayangnya dikenal sebagai salah satu sungai terkotor duniamisalnya, adalah korban dari limbah bahan kimia beracun dari produksi pabrik tekstil yang terafiliasi dengan GAP, Banana Republic, dan Old Navy. Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu sumber terbesar tenaga kerja murah bagi pabrik fast fashion — bersama dengan Bangladesh, Cina, Vietnam, dan Honduras. Banyak merek-merek fast fashion yang telah dikritisi karena mengeksploitasi buruh Indonesia, salah satunya Uniqlo yang pada tahun 2017 diprotes karena pabriknya tidak membayar upah kepada 4.000 pekerja di berbagai tempat.

Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami dampak terburuk fast fashion. Namun, apa sebenarnya fast fashion itu?

Bayangkan skenario ini: seorang remaja melihat unggahan Instagram Jennie Blackpink berpose mengenakan setelan Chanel dari koleksi terbarunya. Jennie terlihat sangat cantik, wajar jika si remaja tersebut menginginkan pakaian yang sama. Jika ia adalah anak seorang miliarder, mungkin saja ia akan segera pergi ke gerai Chanel terdekat dan membeli pakaian yang persis dikenakan Jennie, namun kemungkinan besar ia bukanlah anak miliarder. Kemungkinan besar, ia adalah seseorang dengan pendapatan rata-rata yang tidak bisa pergi membeli pakaian branded. Kebetulan sekali, setiap kali ada tren baru dari merek mahal, merek sejenis Zara dan H&M akan segera merilis pakaian yang sama dengan harga yang jauh lebih murah. Tanpa pikir panjang, ia pun membelinya. Secara tidak langsung, ia dan jutaan orang lain yang berperilaku sama dengannya telah menyiram minyak pada api yang kita sebut sebagai fast fashion.

Fast fashion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan komoditas fashion yang cepat tersedia dengan harga murah pada masa sekarang ini. Kata fast mengacu kepada kecepatan pengecer dalam menyalin desain dari catwalk ke toko sehingga dapat terus mengikuti permintaan model baru yang konstan dari pembeli (Bick, Halsey, & Ekenga, 2018). Kesuksesan fast fashion sebagian besar datang dari dua faktor, yakni keinginan konsumen untuk mengikuti gaya selebritas atau tren desainer fashion dan proses produksi pakaiannya yang sangat cepat.

Dahulu, merek-merek fast fashion menghadiri peragaan busana untuk mendokumentasikan dan menyalin desain yang sedang menjadi tren. Kini, para desainer fast fashion hanya perlu masuk ke media sosial seperti Instagram dan melihat unggahan para selebritas untuk menemukan desain terbaru yang dapat dibuat tiruannya. Setelah menetapkan desain-desain pakaian yang dianggap akan menguntungkan untuk dijual, merek fast fashion memanfaatkan pabrik-pabrik di negara berkembang penghasil tekstil seperti Cina, Indonesia, dan Bangladesh untuk memproduksi jutaan produk tiruan yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh dunia dalam jangka waktu yang sangat cepat.

Pada umumnya, sebuah label desainer membutuhkan waktu 6 bulan untuk mendesain, memproduksi, dan menjual koleksi baru. Oleh sebab itu, merek high-fashion biasanya merilis dua koleksi setiap tahunnya. Namun, tidak demikian halnya dengan merek fast fashion. Desainer fast fashion dapat meniru pakaian yang sedang trending di acara seperti Fashion Week dan menjualnya ke publik dengan harga yang jauh lebih murah dalam kurun waktu mingguan. Zara dapat mendesain, memproduksi, dan merilis pakaian baru dalam 2 minggu, Forever 21 butuh 6 minggu, dan H&M 8 minggu (Cline, 2012, p. 99). Merek-merek tersebut rata-rata merilis 52 koleksi pakaian setiap tahunnyasatu koleksi setiap minggunya.

Fast Fashion: Cepat Beli, Cepat Buang

Selain proses produksi yang cepat, harga yang hampir keterlaluan murahnya juga mendorong konsumen untuk meningkatkan kecepatan pembelian pakaian mereka. Pada tahun 1950-an di Amerika Serikat, seorang wanita bisa menghabiskan $72 untuk membeli sebuah gaun (disesuaikan inflasi). Kini, kita bisa membeli gaun seharga $12, tidak sampai seperempatnya. Kombinasikan harga yang murah tersebut dengan fakta bahwa pada zaman modern ini, tren yang berganti adalah kiblat, maka konsumsi yang berlebihan sudah pasti menjadi norma.

Dengan adanya media sosial yang secara tidak langsung mengabadikan pakaian-pakaian yang pernah kita kenakan, tampil mengenakan pakaian yang sama dianggap tabu. Maka dari itu, tidak heran bahwa membeli dan membuang pakaian baru sudah seperti tidak ada harganya bagi sebagian besar orang.

Hukum supply and demand mengatakan bahwa jika terjadi kelebihan supply, harga akan turun. Hukum yang sama mengatakan bahwa harga yang turun akan meningkatkan demand. Hukum itu terwujud dalam fast fashion. Menurut riset yang dilakukan Euromonitor International Apparel & Footwear pada tahun 2016, industri fashion memproduksi lebih dari 100 miliar unit pakaian setiap tahunnya, meningkat dua kali lipat atau 50 persen dalam 15 tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan populasi yang hanya bertambah 20% dalam kurun waktu yang sama, dapat disimpulkan bahwa kita memproduksi jauh lebih banyak pakaian daripada yang kita butuhkan. Produksi yang berlebihan ini juga berdampak pada permintaan atas pakaian.

Seiring dengan meningkatnya produksi pakaian dan harga pakaian yang kian memurah, manusia yang dahulunya memperlakukan pakaian sebagai aset jangka panjang kini memandang pakaian seperti bungkus plastik makanan yang sekali pakai. Riset yang sama dari Euromonitor menunjukkan clothing utilization atau rata-rata jumlah pemakaian pakaian sebelum dibuang sudah turun 36% dibanding 15 tahun sebelumnya. Di Cina, penurunannya sudah mencapai 70%. Riset pun menunjukkan bahwa rata-rata seseorang hanya mengenakan 20% dari pakaian yang dimilikinya, dan 60% warga Jerman dan Cina pun mengakui bahwa mereka memiliki lebih banyak pakaian daripada yang mereka butuhkan. Rata-rata, pakaian hanya dikenakan tujuh sampai sepuluh kali sebelum dibuang. Satu hal yang jelas: dampaknya mengerikan bagi lingkungan.

Pakaian Murah, Alam yang Membayar

“Call it eco-fashion if you like, I think it’s just common sense.” — Livia Firth

Sebagian besar pakaian fast fashion terbuat dari serat sintetis, yakni bahan plastik seperti nilon dan poliester. Layaknya plastik lainnya, nilon dan poliester terbuat dari minyak atau batu bara, dan setelah diproduksi, bahan tersebut tidak akan membusuk sampai ratusan tahun. Setiap kali pakaian yang terbuat dari nilon atau poliester dicuci, air bekas cuciannya akan mengandung partikel-partikel plastik yang kemudian mencemari sumber air dan laut. Saat ini, industri pakaian menggunakan 98 juta ton minyak untuk membuat serat sintetis, dan limbah pewarna beracun yang digunakan berkontribusi kepada 20% dari total polusi air di dunia. Industri pakaian juga menghasilkan 1,2 miliar ton atau 5% dari total gas rumah kaca (yang mengakibatkan efek rumah kaca, yakni menahan panas keluar dari bumi).

Dampak negatif dari industri fast fashion tidak berhenti pada periode produksi saja. Karena kualitas serat sintetis jauh lebih buruk daripada serat alami, kemungkinan besar pakaian yang dibeli konsumen akan rusak setelah beberapa kali pakai (tambahkan ini ke daftar alasan mengapa angka pemanfaatan pakaian atau clothing utilization sangat rendah). Baik karena rusak atau ketinggalan jaman, pakaian-pakaian itu kemudian akan berakhir di satu tempat: alam. Amerika Serikat sendiri membuang 21 miliar pounds pakaian setiap tahunnya. Selain itu, 20% dari total pakaian yang diproduksi bahkan tidak terjual dan akhirnya langsung dibuang. Mengingat sebagian besar pakaian modern terbuat dari serat sintetis, pakaian tersebut tidak akan mengurai.

Tentu saja, negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Bangladesh tidak membuang pakaian sebanyak dan secepat negara maju seperti AS, mengingat bahwa warga negara berkembang memiliki lebih sedikit pendapatan dan cenderung tidak mampu menghabiskan uang untuk terus menerus mengganti pakaian. Sayangnya, hal itu tidak berarti negara-negara berkembang terbebas dari dampak mematikan fast fashion. Sering kali, negara-negara tersebut malah terdampak lebih burukkarena proses produksi yang mematikan tersebut terjadi di negara mereka.

Low Prices, Low Wages, Low Workplace Quality

“Demand quality, not just in the products you buy, but in the life of the person who made it.” — Orsola de Castro

Sebelumnya kita sudah membahas bagaimana harga murah dari produk fast fashion mendorong konsumen untuk lebih sering membeli dan membuang pakaian mereka. Namun, bagaimana merek-merek fast fashion bisa menghasilkan produk dengan harga yang sangat murah tersebut? Selain dari penggunaan material yang murah seperti serat buatan (poliester, nilon, dan sejenisnya), jawabannya terletak pada praktik outsourcing buruh yang dilakukan perusahaan fast fashion kepada negara-negara berkembang. Hal ini dilakukan karena negara berkembang seperti Bangladesh dan Indonesia memiliki tingkat gaji yang rendah serta hukum perlindungan buruh yang lebih lemah.

Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi penurunan drastis dalam jumlah pakaian buatan Amerika yang terjual di negaranya sendiri dari tahun 1991 sampai 2012. Pada tahun 1991, 56,2% pakaian yang terjual di Amerika adalah buatan Amerika, namun pada tahun 2012 angkanya hanya mencapai 2,5%. Sisanya diproduksi oleh buruh di negara-negara berkembang, dan tidak sedikit dari mereka yang bekerja di dalam sweatshops.

Sweatshops adalah pabrik dengan situasi kerja yang sangat buruk atau bahkan ilegal, yang mana pekerjanya sering kali diberi jam kerja yang tidak manusiawi dan digaji dengan sangat rendah tanpa tunjangan karyawan apa pun. Biro Tenaga Kerja AS mendefinisikan sweatshop sebagai pabrik yang melanggar lebih dari satu hukum tenaga kerja yang mengatur upah minimum dan lembur, buruh anak, pekerjaan rumah industri, kesehatan dan keselamatan kerja, kompensasi pegawai, atau pendaftaran industri. Sweatshop biasanya dibangun di negara dengan hukum perlindungan pekerja yang lemah sehingga tidak jarang pegawai yang bekerja di sana mengalami kecelakaan atau eksploitasi berlebihan.

Pada tahun 2016, Clean Clothes Campaign melaporkan bahwa pabrik supplier H&M di Bangladesh masih memiliki lingkungan kerja yang berbahaya, yang ditandai dengan kekurangan perlengkapan pekerja dan pintu darurat kebakaran. Setahun sebelumnya, Uniqlo menghadapi protes atas kondisi pabriknya yang keras dan berbahaya di Cina. Sayangnya, peristiwa-peristiwa ini bukanlah insiden yang terisolasi. Data dari EOS Intelligence menunjukkan bahwa 97% dari produk fast fashion diproduksi di negara berkembang dengan hukum perlindungan buruh yang buruk, yang mana 85% dari mereka adalah wanita yang bekerja di lingkungan pabrik yang beracun dan berdampak negatif terhadap kesehatan mereka.

Fakta ini juga didukung oleh riset dari BMC International Health and Human Rights yang meneliti pekerja wanita di Bangladesh. Para responden riset tersebut menyampaikan bahwa jam kerja yang lama dan kondisi kerja yang tidak memadai mengakibatkan banyak pekerja mengalami sakit pada seluruh tubuh, iritasi mata, gangguan pernapasan, dan penurunan berat badan akibat kurangnya kesempatan untuk beristirahat dan makan. Dokter pada klinik yang terdapat di pabrik tersebut menyampaikan bahwa para pekerja menderita batuk kering dan kesulitan pernapasan akibat menghirup debu kain, luka-luka akibat tusukan jarum, dan sakit pada otot dan sendi akibat terlalu lama duduk atau berdiri. Suara nyaring ratusan mesin dalam satu ruangan dan penerangan yang kurang juga mengakibatkan sakit kepala bagi pekerja. Selain debu kain dan bunyi bising, pekerja juga menghadapi risiko kesehatan akibat penggunaan zat-zat berbahaya dalam proses produksi, yang sering kali dipadu dengan perlengkapan perlindungan yang tidak memadai.

Faktor lain yang menambah risiko tanggungan para buruh fast fashion adalah kondisi bangunan pabrik yang tidak aman dan kurangnya perhatian manajer akan keamanan para pekerja. Pada tahun 2013, pabrik kain Rana Plaza di Shavar, Bangladesh runtuh dan menewaskan 1.138 buruh pabrikkecelakaan pabrik kain terbesar dalam sejarah. Sehari sebelum bangunan tersebut ambruk, stasiun TV telah menayangkan adanya retakan pada bangunan, yang mendorong toko-toko dan bank di lantai bawah Rana Plaza untuk menutup operasi. Manajer pabrik tetap memaksa para buruh untuk bekerja dengan ancaman potongan gaji sebulan bagi mereka yang menolak untuk datang pada hari berikutnyahari ambruknya bangunan tersebut. Keputusan pemilik pabrik untuk memaksa para buruh tetap bekerja sebagian besar diakibatkan oleh tuntutan dan deadline padat yang ditetapkan oleh perusahaan fashion yang memproduksi barangnya di Rana Plaza, antara lain Mango, Prada, Gucci, dan Versace. Bencana ini menunjukkan sejauh apa pabrik rela mengambil risiko membahayakan nyawa pekerja demi proses produksi.

High Risk, Low Return

Mengingat besarnya risiko yang dihadapi oleh pekerja di sweatshop setiap harinya, baik dari paparan konstan terhadap zat berbahaya, jam kerja yang berat dan lama, serta bangunan yang tidak aman, sudah sepantasnya membuat kita bertanya-tanya: sebesar apa kompensasi yang diterima oleh para pekerja ini? Jawabannya: yang jelas, kurang dari cukup.

Cambridge Dictionary mendefinisikan living wage sebagai besar pendapatan minimum yang dibutuhkan oleh seorang pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Living wage berbeda dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah, karena besar upah minimum bisa saja gagal mencukupi kebutuhan dasar pekerja. Seorang pekerja sudah seharusnya sanggup membiayai kebutuhan makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, pakaian, transportasi, dan juga tabungan mereka. The International Labour Organisation (ILO) sudah mendefinisikan living wage sebagai hak asasi manusia dalam Artikel 23 Universal Declaration of Human Rights.

Menurut riset yang dilakukan oleh Clean Clothes Campaign pada tahun 2014, terdapat perbedaan besar antara upah minimum yang ditetapkan suatu negara jika dibandingkan dengan tingkat living wage menurut Asia Floor Wage. Ternyata, upah minimum yang ditetapkan pemerintah negara-negara penghasil tekstil terbesar seperti Bangladesh dan Indonesia hanya mencapai 19% dan 31% dari living wage yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa upah minimum saja tidak mencukupi kebutuhan hidup seorang pekerja. Hal ini diperparah lagi dengan statistik dari Katadata yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% pekerja tidak dibayar sesuai upah minimum.

Dalam usahanya untuk menekan harga dan biaya produksi serendah mungkin, eksploitasi anak sebagai buruh sudah tidak menjadi hal yang aneh lagi pada industri fast fashion. International Labor Organization (ILO) mengestimasi bahwa terdapat 85 juta anak yang bekerja sebagai buruh pada tahun 2012, banyak dari mereka bekerja dalam industri fashion yang membutuhkan tenaga kerja berketerampilan rendah serta dapat diupah murah. Riset oleh Centre for Research on Multinational Corporations (SOMO) dan India Committee of the Netherlands (INC) menunjukkan bahwa perekrut buruh pabrik di selatan India meyakinkan orang tua dari daerah miskin untuk mengirimkan anaknya bekerja di pabrik pakaian dengan jaminan upah tinggi, akomodasi yang nyaman, makanan sehat tiga kali sehari, serta kesempatan pelatihan dan pendidikan. Kenyataannya, anak-anak mereka dipaksa bekerja dalam situasi yang sangat buruk — menyerupai perbudakan pada era modern ini.

Jika pekerjaannya berbahaya, risikonya tinggi, dan upahnya rendah, lalu mengapa para buruh tersebut tetap bertahan bekerja di pabrik? Kenyataannya, sering kali bekerja di pabrik sweatshop adalah alternatif yang lebih baik daripada bekerja sebagai asisten rumah tangga, yang mana bayarannya lebih rendah dan mereka tidak mendapatkan libur. Setidaknya ketika bekerja di sweatshop, mereka memiliki identitas profesi dan bisa mencari upah tambahan melalui lembur. Situasi inilah yang sering kali menjadi dasar argumen pro-sweatshop. Menjadi buruh pabrik sering kali merupakan pilihan terbaik yang tersedia bagi pekerja yang sangat miskin untuk meningkatkan kehidupan mereka dan kehidupan keluarga mereka (Powell and Zwolinski, 2011, p. 449). Argumen ini juga ada benarnya: di Bangladesh, pendapatan buruh tekstil masih lebih tinggi daripada pekerja dari bidang lainnya, seperti agrikultur. Meskipun sweatshop tidak menyediakan living wage, masyarakat di negara berkembang masih tetap memilih untuk bekerja di sana karena sweatshop menyediakan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi daripada alternatif lain.

Slowing Fast Fashion

Dari sisi konsumen, fast fashion menyediakan alternatif pakaian murah bagi mereka yang tidak sanggup membeli pakaian high-end. Sayangnya, pakaian tersebut dihasilkan melalui proses yang mengeksploitasi dan mencemari alam. Pakaian tersebut juga cepat rusak karena menggunakan material murah dan kemudian sulit terurai. Dari sisi produsen, fast fashion memberikan alternatif mata pencaharian bagi buruh di negara-negara berkembang yang kesulitan mencari pekerjaan dan membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Sayangnya, kondisi pekerjaan yang dihadapi buruh sangatlah buruk dan berbahaya, dan upahnya tidak mencukupi biaya hidup.

Hanya ada satu solusi agar lingkungan dan manusia tidak terus menderita: fast fashion harus melambat, one step at a time.

Perusahaan fast fashion harus berkomitmen untuk mengurangi material beracun dalam produksi pakaian dan meningkatkan upah buruh. Laporan sustainability tahunan H&M mengeklaim bahwa per tahun 2030, H&M hanya akan menggunakan material yang ramah lingkungan, dan per tahun 2040, seluruh produksinya akan bersifat climate positive. Meskipun komitmen ini belum menjamin aksi nyatapraktik greenwashing atau memalsukan citra ramah lingkungan masih sering terjadi di antara merek fast fashion — satu langkah yang sangat penting bagi perusahaan fast fashion adalah mengakui kerusakan lingkungan yang mereka hasilkan dan merencanakan bagaimana cara mengeliminasi kerusakan tersebut ke depannya.

Perusahaan fast fashion juga harus berkomitmen untuk meningkatkan upah buruhnya dan meningkatkan kualitas lingkungan, keamanan, dan kesehatan kerja di seluruh pabriknya di seluruh dunia, serta mengeliminasi pengerjaan buruh anak. Meskipun raksasa fast fashion seperti Zara dan H&M mungkin tidak terhubung langsung dengan pabrik produsen mereka di negara-negara berkembang, mereka seharusnya tetap memiliki kewajiban legal dan moral untuk memastikan dan menginformasikan kepada pembeli bahwa tidak ada eksploitasi buruh maupun anak pada setiap tahap produksi mereka. Tahap pertama dapat dilakukan dengan melakukan pendataan supplier oleh masing-masing perusahaan. Setiap perusahaan biasanya memiliki lebih dari 200 supplier. Perusahaan harus mengenal setiap supplier-nya dan melakukan kunjungan secara berkala.

Sebagai konsumen, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah meminimalisasi konsumsi pakaian kita dan menginvestasikan uang untuk membeli pakaian berkualitas yang tahan lama. Selain itu, kita juga dapat mendonasikan pakaian lama kita sambil terus mengedukasi sekitar kita mengenai bahaya fast fashion. Setiap pembelian, kata, dan donasi berarti dalam perjuangan memperlambat fast fashion.

There is no beauty in the finest cloth if it makes hunger and unhappiness.” Mahatma Gandhi

Referensi

Akahata, S. (2017, Juni 23). Fast fashion, small paychecks: UNIQLO’s sweatshop labor practices. People’s World. Diakses dari: https://peoplesworld.org/article/fast-fashion-small-paychecks-uniqlos-sweatshop-labor-practices/

Akhter, S., Rutherford, S., & Chu, C. (2019). Sewing shirts with injured fingers and tears: exploring the experience of female garment workers health problems in Bangladesh. BMC International Health and Human Rights, 19(1). https://doi.org/10.1186/s12914-019-0188-4

Bick, R., Halsey, E., & Ekenga, C. C. (2018). The global environmental injustice of fast fashion. Environmental Health, 17(1). https://doi.org/10.1186/s12940-018-0433-7

Circular Fashion — A New Textiles Economy: Redesigning fashion’s future. (2018, November 28). Ellenmacarthurfoundation.org. Diakses dari: https://www.ellenmacarthurfoundation.org/publications/a-new-textiles-economy-redesigning-fashions-future

Cline, E. L. (2012). Overdressed: The shockingly high cost of cheap fashion.

Ferguson, B., & Ostmann, F. (2018). SWEATSHOPS AND CONSUMER CHOICES. Economics and Philosophy, 34(3), 295–315. https://doi.org/10.1017/s026626711800010x

Greenpeace reveals int’l fashion brands involvement in Indonesian toxic water problem. (2015, April 17). Citarum.org. Diakses dari: http://citarum.org/en/citarum-info/news-articles/1739-greenpeace-reveals-intl-fashion-brands-involvement-in-indonesian-toxic-water-problem.html

Intelligence, E. O. S. (2020, Agustus 20). Beyond the Low-cost Price Tags — the Real Price of Fast Fashion. EOS Intelligence — Powering Informed Decision-Making. Diakses dari: https://www.eos-intelligence.com/perspectives/consumer-goods-retail/beyond-the-low-cost-price-tags-the-real-price-of-fast-fashion/

Kabir, H., Maple, M., Islam, M. S., & Usher, K. (2019). The Current Health and Wellbeing of the Survivors of the Rana Plaza Building Collapse in Bangladesh: A Qualitative Study. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(13), 2342. https://doi.org/10.3390/ijerph16132342

Maha Rafi Atal. (2013, April 29). The Bangladesh factory tragedy and the moralists of sweatshop economics | Maha Rafi Atal. The Guardian; The Guardian. Diakses dari: https://www.theguardian.com/commentisfree/2013/apr/29/bangladesh-factory-tragedy-sweatshop-economics

Mirjam. (2017, Maret 30). Pressure mounting for UNIQLO to pay Indonesian workers compensation. Clean Clothes Campaign. Diakses dari: https://cleanclothes.org/news/2017/03/23/campaign-pressure-mounting-for-uniqlo-to-pay-workers-legally-required-compensation

Moulds, J. (2015). Child labour in the fashion supply chain. Theguardian.com. Diakses dari: https://labs.theguardian.com/unicef-child-labour/

Nelson, D. (2013, April 24). Bangladesh building collapse kills at least 82 in Dhaka. Telegraph.co.uk. Diakses dari: https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/bangladesh/10014778/Bangladesh-building-collapse-kills-at-least-82-in-Dhaka.html

Ourgoodbrands. (2017, Desember 2). The real impact of the fast fashion industry on the world. Ourgoodbrands; Ourgoodbrands. Diakses dari: https://ourgoodbrands.com/real-impact-fast-fashion-industry-world/

Powell, B., & Skarbek, D. B. (2020). Sweatshops and Third World Living Standards: Are the Jobs Worth the Sweat? | Benjamin Powell. The Independent Institute. Diakses dari: https://www.independent.org/publications/article.asp?ID=1369

Saxon, K. (2021, April 7). This Is What Fast Fashion Really Means (Definition, Problems, Examples). WTVFOX. Diakses dari: https://wtvox.com/fashion/fast-fashion/

Starck, M. (2021, Januari 31). Zara and H&M: Can Sustainability and Fast Fashion Coexist? | Attire Media. Attire | Conscious Fashion, Events & Resources. Diakses dari: https://www.attiremedia.com/articles/zara-and-h-and-m-can-sustainability-and-fast-fashion-coexist

Stitched Up: Poverty wages in the garment industry in Eastern Europe and Turkey. (2014). Clean Clothes Campaign. Diakses dari: https://cleanclothes.org/file-repository/resources-publications-stitched-up-1/view

Three years after signing Bangladesh Accord, H&M factories still not safe. (2016, Mei 2). Clean Clothes Campaign. Diakses dari: https://cleanclothes.org/news/2016/05/02/three-years-after-signing-bangladesh-accord-h-m-factories-still-not-safe

TOWNER, A. (2019, November 26). Fast Fashion May be Cheap, but it Comes at a Cost. Earth Island Journal. Diakses dari: https://www.earthisland.org/journal/index.php/articles/entry/fast-fashion-may-be-cheap-but-it-comes-at-a-cost/

--

--